Taufik Darwis, pegiat seni pertunjukan yang bergerak bersama kolektif Bandung Performing Arts Forum, berkesempatan mengikuti program Next Generation Producing Performing Arts (NextGen). Program ini diadakan di Sydney, Australia; Yokohama, Jepang; serta tiga kota Indonesia: Jakarta, Solo, dan Yogyakarta.
Sepanjang program ini, anggota Koalisi Seni Indonesia tersebut dipertemukan dengan pegiat seni pertunjukan kontemporer dari berbagai negara Asia Tenggara dan Jepang. Melalui interaksi dengan berbagai seniman berlatar budaya berbeda serta kunjungan ke Life Works Festival, ia menemukan sejumlah gagasan dan praktek kesenian yang membongkar asumsi umum mengenai seni pertunjukan kontemporer di Indonesia.
“Melalui Live Works Festival, saya bisa mengambil kenyataan lain. Bahwa sesuatu yang eksperimental tidak semua bisa diasumsikan tidak punya kontak dengan kenyataan sosial-politik,” sebut Taufik dalam catatan refleksinya mengikuti program NextGen. “Dalam melihat dan mengalami setiap pertunjukan di Live Works Festival yang saya hadiri, saya mendapatkan impresi hampir semua [karya seni yang ditampilkan] sangat politis…seperti sengaja ikut mengintervensi apa yang terjadi di Sydney atau Australia, seperti soal hak-hak LGBT/queer, imigran, dan masyarakat adat.”
Taufik membandingkan pengalaman di atas dengan temuan bahwa perbincangan mengenai seni kontemporer mirisnya masih tersekat pada problem tradisi dan regenerasi internal dalam ekosistem seni itu sendiri. Contohnya, ada peserta program yang dapat segera menunjuk sebuah material sebagai corak tradisi dalam semesta tari kontemporer. Komentar menggunakan dikotomi usang “barat-timur” ataupun “putih-berwarna” (white–colored) masih hadir kala peserta membandingkan situasi dan kondisi keberlanjutan antar lanskap seni yang berbeda.
Hal ini tidak berarti bahwa seni kontemporer secara inheren bersifat kontrapolitik. Menurut Taufik, asumsi ini dipengaruhi oleh penekanan aspek orisinalitas dalam sejarah kemapanan medium seni yang panjang.
“Padahal pada sejarahnya di Barat, di sekitar tahun 1950-60an anti kemapanan sendiri berkaitan dengan situasi dominan atau status quo politik dan sosial yang terjadi. Misalnya cita-cita konsumtif Amerika yang diberontak oleh Allen Ginsberg melalui pertunjukan puisi yang di luar aturan masyarakat dan aturan puisi,” tukasnya.
Dalam upaya mengembangkan seni eksperimental, Taufik mewanti-wanti agar tidak terjebak antara membangun ekosistem lokal atau terus memperluas titik hubung, juga jebakan antara jalan independen atau institusional. Pola pikir dikotomis inilah yang menurutnya perlu didekonstruksi. Sejumlah kata kunci seperti seperti ekosistem, konteks, khalayak, hingga tanggung jawab kerap mengemuka dalam sesi presentasi dan diskusi antarpeserta. Meski kata-kata ini memiliki relevansi yang berbeda bagi setiap peserta dengan latar mereka masing-masing, namun suara individu yang berasal dari lokasi lain justru dapat membantu kita menemukan resonansi yang lebih besar dari suara kita sendiri.
“Apa yang kita tidak punyai selalu menarik perhatian kita. [Kita berkata] ‘andai saja saya mempunyai hal ini!’. Lalu kita melihat kembali lingkungan di mana kita hidup dan bertanya: ‘kenapa terjadi hingga seperti ini?’ [dan] “apa yang perlu saya lakukan?’” tulisnya.
Pada akhirnya, Taufik menyarikan wawasan yang ia peroleh melalui program Next Gen ke dalam dua agenda. Pertama, bagaimana ia dengan potensinya secara kolektif maupun individu, serta dengan bekerja di ruang institusional ataupun independen, dapat memberi dampak untuk setiap ruang. Kedua, ia ingin menggagas sebuah platform seni pertunjukan dan pertemuan internasional yang diprakarsai oleh ekosistem lokal seni pertunjukan di Indonesia.
“Tapi bagaimana caranya melakukan dua agenda itu? Saya sekarang perlu memikirkannya,” ujar Taufik di akhir catatannya.
Laporan lengkap Taufik Darwis dapat diunduh dari tautan ini. Laporan tersebut disusun untuk Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta.