Perempuan dan kaum difabel adalah dua kelompok rentan yang kerap mendapat stigma, termasuk dalam bidang seni dan budaya. Fasilitas untuk berkarya bagi kalangan tersebut masih minim. Padahal, kebutuhan ini dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia: setiap orang tanpa terkecuali berhak ikut serta dalam kegiatan kebudayaan. Dua anggota Koalisi Seni, Fitriani A. Dalay (Makassar) dan Nalitari (Yogyakarta), adalah dua dari sedikit pegiat yang berjuang menggenapi mandat untuk seni inklusif tersebut.
Bongkahan benang rajut diurai perlahan. Hakpen satu persatu merajut helai benang menjadi aneka bentuk kerajinan tangan. Seketika, gerakan ritmis membuat tubuh dan pikiran para perempuan rileks. Sambil merajut, mereka dapat lepas menceritakan banyak hal: dari paceklik ekonomi, baby blues, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Bersama benang, ragam masalah perempuan ikut terurai.
Fitriani A. Dalay tak menyangka, merajut mampu berdampak besar bagi dirinya dan para perempuan di Makassar. Awalnya ia menjadikan seni merajut sebagai pengisi masa transisi pasca-melahirkan yang ternyata berdampak ajaib. Ia merasakan emosi, tekanan darah, dan detak jantung yang stabil setelahnya. Manfaat itu mendorong Fitriani berbagi pengalaman kepada para perempuan lainnya. Ia menyadari, di masyarakat patriarkis seperti di kampungnya masih jarang ditemui ruang publik bagi perempuan untuk berkumpul dan membicarakan banyak hal.
“Kenapa tidak sekalian membentuk komunitas yang terstruktur saja? Jadi tahu apa kebutuhan perempuan. Di sini, perempuan cenderung lebih mandiri tapi agama dan akses masih membatasi gerak perempuan,” katanya.
Pada 2011, mimpi aktivis yang akrab disapa Piyo ini terwujud. Komunitas merajut itu ia namakan Quiqui. Ia merajut bersama banyak perempuan dari berbagai latar profesi, mulai dari ibu rumah tangga, dokter, analis, hingga istri nelayan. Modal pengalaman itu membuatnya menyaksikan langsung dampak seni bagi masyarakat. Tak melulu soal estetika, tapi seni mampu merekatkan renggang antartetangga, memupuk empati, dan menjalin jejaring solidaritas perempuan.
“Ini menjadi tanggung jawab kita sebagai warga, kita punya tetangga dengan ekonomi dan masalah yang berbeda,” sambung Piyo.
Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) misalnya. Piyo bercerita, hal tabu itu terungkap saat ia merajut bersama para istri nelayan. Efek relaksasi saat merajut memantik mereka untuk curhat, yang lalu ditimpali oleh perempuan lainnya yang merasa senasib. Mereka bercerita saat “Musim Darat”, yakni ketika suami tidak bisa melaut, perekonomian rumah tangga jadi sulit dan potensi kekerasan meningkat. Dari takut dan malu, kini para penyintas KDRT berani maju dan mengadvokasi kasusnya ke ranah hukum dengan pendampingan LSM perempuan.
Beruntung, merajut bagi perempuan Makassar bukan hal baru. Sejak era kolonial Belanda, seni merajut telah akrab di sana. Karena itu, Piyo mengaku tak kesulitan saat mengajak para perempuan kembali merajut. Ia menyebut upayanya itu sekadar memanggil ingatan, bukan mengajari. Alhasil, aneka produk kerajinan tangan yang dihasilkan begitu beragam dan menarik minat pembeli. Inilah yang membuat mereka optimis memiliki opsi pemasukan saat suami tak bisa melaut.
“Ini secara tidak langsung menjadi solusi dari kekerasan dalam rumah tangga yang dipicu faktor ekonomi. Mereka yang tadi hanya punya satu-dua pilihan sekarang ada tiga, yaitu ditambah dengan rajutan,” kata Piyo dengan nada bahagia.
Sementara itu, dari Yogyakarta, Nalitari mengajak kita meliuk dengan teman-teman difabel. Mereka menggunakan metode tari inklusi yang diadaptasi dari lokakarya tari inklusi oleh penari profesional asal Amerika Serikat.
Menari sebagai terapi dirasakan oleh Nadya, penyandang mild autism/social disorder yang merupakan salah seorang penari Nalitari. Di sanggar sebelumnya, ia didiskriminasi guru dan teman menari. Di Nalitari ia merasa diterima dan dianggap setara, yang membuatnya kini tak ragu lagi untuk ikut menari. Lewat tarian, Nadya dan teman-teman penyandang difabel fisik maupun mental seolah meruntuhkan kata “disable” menjadi “able” untuk berkarya.
“Menari secara inklusi membawa perasaan bebas, bahagia, dan mampu mengubah cara kita melihat diri sendiri, orang lain, dan sekitar. Ini seharusnya bisa dirasakan banyak orang,” kata Yoana, pengurus Nalitari.
Namun seusai pentas, Yoana melihat penonton seringkali fokus pada cara penari difabel bisa menari dan ia yang non difabel justru dianggap hanya penari pendukung. Padahal, sebenarnya mereka setara di atas pentas, karena karya Nalitari adalah kolaborasi keduanya.
Harus diakui, ada stigma yang menempel pada kaum difabel, sehingga mereka sering dijadikan objek rasa iba. Karenanya melalui tari, Nalitari ingin mengajak masyarakat melihat sisi lain dari penari difabel yang punya talenta sama dengan penari pada umumnya.
“Salah satu kunci Nalitari adalah konsep “menerima”, baik itu dari penari atau keluarga mereka. Kami mengajarkan cara merasakan diri sendiri untuk bergerak dalam tarian dan menyesuaikan gerak-gerak individu tersebut dalam satu tarian besar yang terdiri dari bermacam orang dengan latar belakang berbeda-beda,” tutur Yoana.
Berkat konsistensi Nalitari dalam metode tari inklusi, karya mereka kini menjadi salah satu kiblat tari inklusi di Indonesia. Sejumlah acara seni pun mempercayakan Nalitari sebagai penyelenggara seperti Festival AsiaTri 2019 dan Pekan Budaya Difabel DIY 2020. Bagi Nalitari maupun Piyo, penghargaan hanyalah bonus. Jejaring seni inklusif yang kini mengakar kuat di masyarakat adalah bukti dari kontribusi seni pada perubahan sosial. (Dian Putri)
Ilustrasi: needpix