Jakarta – Para pegiat ekosistem musik mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengkaji ulang Rancangan Undang-undang (RUU) Permusikan. Sebab, RUU inisiatif DPR tersebut belum mengatur tata kelola industri musik untuk memastikan ekosistem musik berkembang lebih sehat.
“Pengaturan tata kelola industri musik sangat penting untuk memastikan perlakuan adil untuk semua pihak yang terlibat di dalamnya. Sehingga, kita dapat lebih memajukan musik di Indonesia,” ujar musisi Glenn Fredly, Senin, 4 Februari 2019.
Pada Senin pagi, penggagas Kami Musik Indonesia (KAMI) tersebut bersama puluhan orang pegiat musik yang terdiri dari penyanyi, pencipta lagu, manajer, produser, akademisi, hingga pengacara berkumpul untuk membahas RUU Permusikan. Isu-isu dalam draf regulasi tersebut dikupas tuntas, mulai dari pengembangan sumber daya manusia, musik tradisional, fasilitas, sampai kebebasan berekspresi.
Para pegiat ekosistem musik itu mengapresiasi inisiatif DPR menyusun RUU Permusikan, dan percaya ini saat tepat untuk memberi masukan agar peraturan tersebut sesuai dengan kebutuhan musik Indonesia.
“Jika RUU ini mau diteruskan prosesnya, maka harus dipastikan berkualitas baik dalam konteks tata kelola industri musik. Selagi RUU-nya masih dalam proses di DPR, semua orang, termasuk pelaku musik, berhak memberi masukan. Kami harap masukan ini akan diakomodasi DPR dan pemerintah saat pembahasan RUU Permusikan di Senayan,” tutur peneliti Koalisi Seni Indonesia, Hafez Gumay.
Untuk menciptakan ekosistem musik Indonesia yang lebih sehat, KAMI dan Koalisi Seni Indonesia menyarankan pembagian peran dan tanggung jawab pemangku kepentingan dalam ekosistem musik secara jelas. Misalnya, adanya pembedaan antara pencipta lagu, jasa studio rekaman, pengedaran musik, dan pengarsipan musik. Riset dan pengembangan juga bagian penting dalam ekosistem yang perlu diatur, agar karya musik baru dan berkualitas terus muncul secara berkelanjutan.
Para peserta diskusi hari ini pun berpendapat sejumlah hal tak perlu diatur dalam RUU Permusikan. Misalnya, hal-hal yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan lain seperti UU Hak Cipta, UU Pemajuan Kebudayaan, serta UU Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam. Larangan menodai nilai agama, mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum, membawa pengaruh negatif budaya asing, serta merendahkan harkat dan martabat manusia juga tidak perlu diatur RUU Permusikan karena berpotensi mengancam kebebasan berekspresi. Selain itu, larangan tersebut sudah cukup diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Saya menolak RUU Permusikan karena merepresi kebebasan berekspresi. Musik bukan hanya penghibur, tapi merespon situasi sosial politik budaya di masyarakat, dan itu tidak selalu indah. Pasal-pasal karet dalam RUU membuat musisi rentan dikriminalisasi,” kata musisi Kartika Jahja.