Tahun 2021, jagad seni Indonesia bergemuruh karena derasnya arus masuk NFT. NFT (Non-Fungible Token) menjadi cara baru berkesenian di masa pandemi. Fenomena ini turut menjadi sorotan berbagai pihak, termasuk Anggota Koalisi Seni seperti Yayasan Ganara Mari Berbagi Seni dan IndoArtNow.
Sebagai informasi, NFT merupakan teknologi kripto dalam blockchain yang berfungsi mirip sertifikat digital. NFT memiliki token berupa kode digital unik untuk digunakan pihak yang memiliki karya seni digital, baik berupa foto, video, gambar, bahkan meme. Pengguna seni NFT meningkat karena berbagai potensi keuntungan seniman di dunia blockchain tersebut.
Pendiri Ganara, Tita Djumaryo dan Ranald Indra, melihat NFT membuka kesempatan besar bagi seniman untuk menyebarluaskan karyanya. Di dunia seni rupa misalnya, seringkali akses menjadi tantangan seniman pendatang baru. Mulai dari sulitnya akses mendistribusikan karya, berjejaring, hingga adanya ketimpangan gender. Melalui NFT, batas tersebut nyaris tidak ada. Setiap orang bisa mengakses dan membeli karya seniman dari berbagai wilayah. Menurut mereka, “NFT dapat menjadi salah satu pilihan pelaku seni untuk memperbaiki kondisi keuangan di masa pandemi.”
Dalam skena NFT ini, Tita dan Ranald mengambil posisi sebagai edukator. Mereka ingin Ganara menjadi wadah seniman untuk belajar memahami NFT sebelum terjun ke dalamnya. Salah satu bentuk edukasi yang mereka lakukan ialah menjadi pembicara dalam diskusi daring, seperti talkshow Bank Mandiri bertajuk “Masa Depan Industri Seni dengan NFT” pada 23 September 2021.
Ganara juga berencana membantu seniman yang ingin masuk ke dunia NFT dengan melakukan digitasi karya mereka. Karena, penguasaan teknologi juga tantangan bagi banyak seniman. Digitasi dilakukan dengan mengubah karya fisik menjadi digital. Berbagai modifikasi — baik dari sisi gerakan, dimensi, dan format — pun dilakukan untuk membuat karya lebih menarik, sehingga kemungkinan terjual jadi lebih tinggi.
Tantangan lainnya terkait biaya awal yang harus ditanggung seniman. Biaya ini mencakup biaya minting (tokenisasi), listing (pencatatan), komisi, dan biaya transaksi. Tita dan Ranald sedang mengusahakan melibatkan lokapasar dan pihak ketiga untuk mengatasi tantangan finansial tersebut.
Sementara itu, IndoArtNow menggagas komunitas IndoArtNowNFT, jejaring bagi kreator dan kolektor NFT Indonesia. Administrator IndoArtNowNFT, Ditya Nurhakiki Subagja, menyetujui pernyataan Tita dan Ranald. Ditya pun berpendapat seniman yang sebelumnya kesulitan memasukkan karyanya ke galeri dapat menggunakan NFT sebagai jalan alternatif. Sebab, dengan NFT, seniman dapat meningkatkan citra dan kemampuan diri secara penuh serta tidak terbatas melalui karyanya. Untuk menjalin relasi dengan seniman senior, seniman pendatang baru dapat berkomunikasi melalui Twitter saat melakukan upaya untuk promosi (shilling). Beberapa lokapasar (marketplace) juga menyediakan fitur pengiriman pesan. Sehingga, seniman dari beragam latar belakang dapat saling mendukung dalam hal pengetahuan tentang NFT.
Kode Etik dan Plagiarisme NFT
Salah satu hal yang penting dipelajari seniman, menurut Ditya, adalah Kode Etik Kreator NFT. Ditulis Leonard Schoelch, kode etik tersebut berisi sepuluh poin yang bertujuan menciptakan relasi sehat antar kreator maupun antara kreator dengan kolektor. Pengetahuan soal Kode Etik sangatlah penting agar tak terjadi lagi kasus kreator menjual karya fisik lalu melego pula versi NFT tanpa sepengetahuan kolektor karya fisiknya. Kolektor menilai tindakan ini tidak sesuai dengan norma dalam pembelian karya fisik yang berkaitan dengan hak milik. Selain itu, karya seni adalah barang yang memiliki nilai jual, sehingga kolektor merugi ketika harga karya versi NFT jauh lebih rendah dibandingkan harga yang dibayarkan kolektor untuk karya fisiknya.
Terdapat juga kasus plagiarisme, yang dalam dunia NFT disebut copyminting. Untuk menghadapinya, Ranald menyarankan seniman memanfaatkan Smart Contract, sebuah perjanjian digital yang dibuat dalam blockchain. Kontrak tersebut memuat alamat dompet digital kreator, besaran royalti yang dikehendaki kreator dalam kisaran 10-25%, dan format yang dipilih sebagai aset yang nantinya didaftarkan di sebuah jaringan. Smart Contract akan terikat dengan karya ketika akan kreator melakukan minting. Karena mencantumkan video proses pembuatan atau bukti terkait karya, Smart Contract juga dapat memperkuat keabsahan orisinalitas karyanya.
Dengan adanya Smart Contract, sistem penjualan karya seni fisik pun berkembang. Kini NFT dapat menjadi bukti validasi karya. Caranya, minting karya versi NFT dan memberikan satu edisi tersebut kepada calon kolektor karya fisik. Menurut Ditya, sebaiknya galeri-galeri juga turut menggunakan Smart Contract NFT untuk menjaga keaslian karya-karya yang dimiliki.
Terkait tindak copyminting, IndoArtNowNFT memiliki cara lain untuk menanganinya. Sebagai sebuah organisasi, IndoArtNowNFT berfokus pada kreator dan kolektor. Kreator yang bergabung di aplikasi Discord IndoArtNowNFT dapat melaporkan tindak copyminting maupun perilaku tidak etis lainnya. IndoArtNow akan merespon dengan memberikan bantuan publikasi demi menggerakkan massa melaporkan karya yang telah diunggah oleh copyminter. Karya dengan banyak laporan akan diturunkan oleh lokapasar. Maka, menurut Ditya, komunitas perlu bekerja sama melawan tindakan copyminting.
“Seniman juga harus lebih teliti ketika menyelami marketplace NFT untuk mengetahui apakah karyanya telah di-minting ulang oleh pihak lain,” ucap Ditya menambahkan.
Di lokapasar NFT, segala macam karya seni rupa tidak dapat dideteksi menggunakan pencarian citra terbalik (reverse image search), maka kreator harus bekerja ekstra apabila ingin menjaga karyanya dari incaran copyminter. Jika seniman terhubung dan berjejaring dengan seniman maupun komunitas lain, upaya ekstra itu akan jadi lebih ringan.
Di Indonesia, upaya tumbuh bersama antar-pelaku seni cukup tinggi. Kekuatan kolektif dari berbagai komunitas bermanfaat bagi pegiat NFT, khususnya para kreator dan kolektor. Misalnya, kasus plagiarisme Twisted Vacancy terhadap karya-karya Kendra Ahimsa. Para kreator dan kolektor NFT melaporkan dugaan penjiplakan tersebut kepada Kendra, serta mengecam tindakan tersebut dan memposisikan Twisted Vacancy sebagai musuh bersama. Hal ini menyebabkan Twisted Vacancy menonaktifkan akunnya dengan tidak memproduksi karya NFT maupun mengunggahnya di akun Twitter dan Instagram. Upaya saling bantu seniman juga berlangsung di Hicetnunc (HEN), salah satu lokapasar NFT. Di lokapasar ini tumbuh budaya seniman saling mengkoleksi karya NFT, dan para kolektor turut membantu menyebarluaskan informasi soal karya NFT baru melalui platform Twitter.
Copyminting juga merugikan kolektor. Pasalnya, saat karya jiplakan yang telanjur dibeli kolektor dihapus dari lokapasar karena ketahuan, berarti kolektor kehilangan uangnya. Meski token yang ia dapatkan saat proses pembelian tetap ada, token itu tak dapat dijual lagi.
Ditya memberikan contoh kasus penanganan copyminting di Belanda yang sempat dibahas dalam panel Discord IndoArtNow NFT. Ia mengatakan, “Belanda adalah negara yang pasar kriptonya cukup teregulasi. Warga negara Belanda yang melakukan copyminting akan ditangkap. Di Indonesia, kripto masih dianggap sebagai aset, namun belum ada regulasi serupa itu.”
NFT Tak Mematikan Galeri
Tita, Ranald, dan Ditya sepakat memandang kemunculan NFT bukanlah pertanda kematian galeri seni. Ditya berpendapat galeri seni justru dapat memanfaatkan NFT untuk memunculkan galeri-galeri virtual. Tak menutup kemungkinan, pada masa mendatang Indonesia membuat pameran kolektif virtual dari karya dan seniman di NFT, sebagaimana yang terjadi di luar negeri.
Keuntungan lain dari kemunculan NFT, menurut Tita, juga terkait dengan upaya advokasi kebijakan seni Indonesia. Karena proses NFT terjadi di internet, semuanya tercatat secara digital sehingga dapat diolah sebagai landasan kebijakan.
“NFT memberi kesempatan kita semua mendata seni rupa Indonesia, hal yang sebelumnya sangat sulit dilakukan karena sangat massif. Ini berkaitan dengan big data (mahadata) yang dapat digunakan untuk maju melakukan advokasi ke pemerintah,” ucap Tita.
Sisi Lain NFT
Di balik seluruh keuntungan yang bisa diraup dari NFT, ada sisi lain yang perlu dipahami penggunanya. Pasalnya, NFT bergantung pada cryptocurrency, yang menuai kontroversi dalam hal dampak terhadap lingkungan maupun tudingan sebagai aset spekulatif.
Menurut seniman Perancis, Joanie Lemercier, seperti dikutip CBSNews.com, “Teknologi ini memiliki potensi untuk menjadi media yang berkelanjutan bagi seniman, namun harus dipahami pula terkait besarnya dampak lingkungan dari blockchain. Ini adalah sebuah bencana.” Sebab, blockchain memakan banyak energi, sedangkan proses transaksi NFT menghasilkan emisi karbondioksida yang memperparah krisis iklim.
Peringatan lain disampaikan oleh sejumlah otoritas keuangan, yang menyebut cryptocurrency sebagai aset yang sangat spekulatif. “Cryptocurrency tidak memiliki nilai intrinsik. Silakan beli cryptocurrency kalau Anda siap kehilangan uang,” kata Gubernur Central Inggris, Andrew Bailey, seperti diberitakan CNBC.
Di Indonesia, IDXchannel.com menuliskan Otoritas Jasa Keuangan telah menyatakan cryptocurrency bukan alat pembayaran yang sah. Aset kripto termasuk komoditi dengan fluktuasi nilai yang sewaktu-waktu dapat naik dan turun, sehingga masyarakat harus paham dari awal potensi dan risikonya sebelum melakukan transaksi aset tersebut.
NFT dapat menciptakan ruang tempat siapa saja bisa menjadi apa saja, namun ia bukannya bebas risiko. Apakah Anda berminat mengadu peruntungan di ladang baru ini? (Diva Oktaviana)
Ilustrasi: freepik