Apa sih pentingnya mengadvokasi kebijakan untuk ekosistem seni? Di episode Ruang Usik-Usik (RUU) perdana ini, dua anggota Koalisi Seni membahasnya: Cholil Mahmud, musisi Efek Rumah Kaca, dan Retha Dungga, Manajer Program Koalisi Seni. Podcast ini tayang pada 22 Juli 2020.
Berikut transkripnya, yang dituliskan Dinita Amanda:
Waktu | Transkrip | ||
00:00-01:26 | Naomi:
Halo, kamu mendengarkan podcast Ruang Usik-Usik. Ini kerja sama Koalisi dengan KBR saya Naomi Lyandra. Apa sih yang kita usik? Di episode pertama ini kita mengusik kebijakan seni di negeri ini. Advokasi kan biasanya sering kita dengar dalam kasus atau konflik hukum ya, tapi ternyata kebijakan seni itu perlu diadvokasi juga, kenapa dan bagaimananya ini akan kita obrolin bareng dengan Retha Dungga, yaitu Manager Program sekaligus Anggota Koalisi Seni. Koalisi Seni adalah lembaga nirlaba yang bekerja dalam advokasi kebijakan terkait ekosistem seni. Selain Retha Dungga biar rame nih kita juga mengundang ngobrol bareng dengan Cholil Mahmud, anggota Efek Rumah Kaca dan Anggota Koalisi Seni. Hallo Mas Cholil Mbak Retha apa kabarnya? Kalau kita ngobrolin di masa pandemi ini ya, untuk Mba Retha mungkin seperti kita lihat seni itu kan makin banyak kita konsumsi. Kaya misalnya 3 bulan kebelakang ini entah ada berapa puluh berapa ratus, oh lebay ya.. berapa puluh yang kita tonton dan juga sekian ratus lagu yang kita putar lewat macam-macam platform live streaming. Sebenarnya apa sih manfaat seni selain sebagai hiburan? |
||
01:26-2:53 | Retha:
Oke, dari sisi senimannya karya seni itu kan biasanya jadi sarana ekspresi diri ya, jadi segala macam emosi pengalaman, harapan, mimpi, itu bisa disampaikan lewat beragam bentuk seni. Buat masyarakat seperti Naomi tadi Naomi bilang, selain menikmati seni sebagai hiburan, banyak banget manfaat yang bisa didapatkan. Misalnya, bisa memberi dampak sosial positif, contohnya Sanggar Anak Akar itu merangkul anak-anak yang kebetulan hidup dijalanan dan mengajak mereka berkesenian. Seni juga bisa memberikan manfaat ekonomi, seperti kita lihat di festival Sastra Makassar dan Ubud atau festival yang merayakan adat seperti di Pasa Harau di Sumatera Barat, di Tour De Singkarak di Sumatera Utara. Seni juga dipakai untuk kampanye beragam isu yang efektif, mulai dari antikorupsi, hak asasi manusia, sampai isu lingkungan. Secara medis, seni juga sering dipakai terapi. Nah, kalau misalnya kita terlibat di seni kita bisa melatih diri supaya bisa lebih percaya diri, melatih imajinasi, belajar empati, kolaborasi, konsentrasi, melatih keahlian komunikasi publik, reduksi stres terutama di masa-masa pandemi sekarang. Karena seni itu bisa meningkatkan motivasi bisa jadi sarana ekspresi emosional dan refleksi, selain itu juga bisa bikin kita bugar, meningkatkan daya ingat, juga pastinya kita punya apresiasi lebih buat dunia seni budaya. Itu sih pentingnya. |
||
02:53-03:00 | Naomi:
Banyak banget dampak positifnya ya seni itu untuk masyarakat, tapi hubungannya dengan kebijakan tuh gimana nih Mba Reta? |
||
03:00-06:11 | Retha:
Hubungannya gini. Tahun 2018, Koalisi Seni sempat mengumpulkan 12 cerita tentang dampak seni. Jadi kita terbitkan sebagai buku Dampak Seni di Masyarakat tahun lalu. Nah, supaya seni dapat menimbulkan dampak positif lebih luas lagi kita perlu kebijakan untuk mendukung. Bukan cuma kebijakan pemerintah pusat, tapi juga perusahaan swasta dan lembaga masyarakat sipil. Misalnya, apakah kebebasan berekspresi seniman dijamin oleh pemerintah sehingga seniman bisa menggunakan kreativitasnya dalam karya. Mungkin kita masih ingat awal tahun 2019 ada RUU Permusikan draftnya waktu itu ada pasal yang mengancam kebebasan berekspresi akhirnya ditolak publik. Nah, kehebohan itu kan bikin DPR menarik draft RUU Permusikan tuh! Nah, kebijakan di dalam seni sebetulnya bukan untuk mengatur dari segi artistiknya, tapi justru untuk melindungi kebebasan ekspresi artistik-artistik itu. Dan memastikannya bertumbuh kembang dengan baik. Saya kira begitu. Nah, sebenarnya seni itu gimana ya, kalau kita dudukan dalam kebijakan publik dia itu jatuhnya jadi pendidikan. Jadi ada eksternal positif ya dimana keberadaanya sering kali tidak diperhitungkan manfaat sosial atau dampak positif yang muncul. Padahal dia dirasakan oleh setiap orang termasuk orang-orang yang menentang seni. Tentu kita mau masyarakat luas bisa terpapar ya keanekaragaman seni budaya. Karena dia akan membantu kita memahami bahwa masyarakat Indonesia ini beragam banget dan seperti yang saya bilang membantu kita mengasah empati. Misalnya, saya tuh selalu terbawa emosi misalnya kalo denger lagu Hena Masa Waya Glenn Fredly tuh sering menyanyi lagu itu, lagu dari Maluku. Alunan nadanya tuh membayangkan nuansa kebudayaan Maluku gitu, sementara konteks makna dibalik liriknya yang terdengar sangat indah gitu ya, bikin kita sadar setelah kita kulik lebih jauh, ternyata ada pergolakan identitas politik yang sangat besar. Dari situ kita belajar bisa berempati gitu, karena kita jadi bisa ngerasain semangat perjuangan rakyat Maluku. Nah sekarang ketidakpahaman banyak orang tentang pentingnya seni juga lemahnya penghargaan profesi seni, misalnya kita liat ya di masa pandemi ini kan salah satu masalah lain dari ekosistem seni juga gitu. Kita nggak pernah yakin kan kalo kita mau ambil jalur karir bidang seni misalnya. Banyak yang ngeh, kalo mau berkarir bidang seni ya jadi seniman gitu kan [Naomi: mindsetnya seperti itu ya] Iya, padahal di balik sebuah karya baik itu lukisan, film, atau lagu, ada sistem pendukungnya. Nah, mulai dari misalnya kalau di lihat di rantainya itu ya, reaksi, distribusi, pengarsipan, apresiasi dan juga pendidikan semua tuh ada yang melakukan. Misalnya, karya udah dibuat kemudian harus didistribusikan, kemudian karya masuk ruang pamer dia butuh kurator, lalu di arsipkan, nah di sini peran arsiparis jadi penting. Kemudian di bagian apresiasi perlu kritikus atau pengulas, di bagian pendidikan baik yang dasar maupun profesi butuh yang mumpuni seni. Jadi sepertinya banyak banget hal-hal yang bisa kita lakukan membantu mengembangkan seni. Itu orang sering luput ya, karena mungkin … |
||
06:11-6:22 | Naomi:
Kadang orang berpikir, seni itu tidak seperti yang Mbak Retha bicarakan begitu. Banyak seni itu adalah musik aja, gitu kan. Hanya satu doang gitu, hanya terpaku sama mereka, mungkin gitu? |
||
06:22-07:36 | Retha:
Terpaku pada apa yang terlihat, terpaku pada performernya aja. [Naomi: iya] Padahal di balik performer itu banyak pendukung [Naomi:betul]. Mungkin nanti Mas Cholil bisa bercerita lebih banyak ya. Kalau nggak ada stage crew kayak apa tuh sulitnya buat manggung, misalnya. Nah, yang kedua misalnya faktor-faktor fisik nih di dalam seni, di sini kita ngomong penunjang, fasilitas, alat. Misalnya, gedung pertunjukan di Indonesia yang layak untuk teater sedikit banget. Maksudnya gedung teater yang bener-bener memperhitungkan tata lampu dan akustik ruangan, misalnya ya, dan juga tempat duduk penonton yang nyaman buat kita nonton pertunjukannya, jadi dia nggak terlalu rendah, nggak terlalu tinggi, nggak terlalu jauh atau nggak terlalu dekat sama penonton yang ada di sekitar kita, Mas Cholil nanti juga bisa cerita tentang ini. Tempat pertunjukan musik tuh masih banyak yang pakai sarana olahraga, gedung-gedung olahraga, lapangan parkir, ini kan secara biaya produksi besar karena harus banyak yang ditambahi gitu, selain bikin panggungnya aman ya, kita harus mikirin pembatas buat crowd management, mikirin kios makanan dan minuman, toilet, ruang istirahat buat musisi dan crew, transportasi dan kendaraan pengangkut yang mau ditaruh dimana, yang gitu gitu. Tidak semudah atau langsung muncul aja gitu jeng-jeng di tengah lapangan ada panggung gitu. |
||
07:36- 07;42 | Naomi:
Tapi sejauh ini, kebijakan yang sudah mendukung supaya kasih dampak positif yang Mbak bilang itu apa aja? |
||
07:42-9:01 | Retha:
Kebijakan yang sudah ada salah satunya yang kita sering banyak omongin ada namanya Undang Undang Pemajuan Kebudayaan, dia Undang-Undang No.5 Tahun 2017, dia Undang-Undang yang menempatkan pemerintah menjadi fasilitator bukan tukang ngatur-ngatur ekspresi seni. Si UU ini yang mengatur bahwa usaha-usaha memajukan kebudayaan dimana seni adalah salah satu didalamnya, dia merupakan rangkaian proses yang terkait dan nggak bisa dipisahkan. Jadi seperti yang saya bilang ada perlindungan, perkembangan, kemudian pemanfaatan, serta dia mikirin juga si manusia-manusianya tadi tuh si SDM kebudayaannya juga dipikirkan gitu di dalam Undang-Undang ini. Jadi misalnya perlindungan itu terdiri dari adanya inventarisasi, ada pengamanan, pemeliharaan, ada publikasi. Pengembangan itu ada penyebarluasan, pengkajian, pengayaan tentang keberagaman gitu. Pemanfaatan itu misalnya, memikirkan gimana supaya si kebudayaan ini bisa berperan dan berpengaruh di level internasional misalnya. Pembinaan tentu kita ngomongin tentang peningkatan mutu SDM ya, dan butuh tata kelolanya juga. Ada beberapa Undang-Undang lain yang berhubungan dengan seni misalnya Undang-Undang film, kemudian ada juga Undang-Undang hak cipta. |
||
09:01-09:10 | Naomi:
Kalau Mas Cholil, sebagai seniman musisi udah pernah nggak Mas Khalil melihat kebijakan yang berpihak pada profesi Mas Kholil ini? |
||
09:10-10:36 | Cholil:
Kalau berpihak kepada.. Saya pekerjaannya musisi ya, sebenernya pemain musik Undang Undang Pemajuan Kebudayaan itu punya karakter yang berbeda dari apa misalnya contohnya kemarin kita musisi banyak menolak itu, rancangan UU Permusikan itu karakternya beda banget gitu kan, karena kalau Undang Undang Pemajuan Kebudayaan itu dia tau apa kebutuhan musisi, dan pemerintah ini mengatur bahwa bagaimana dia bisa memaksimalkan musisi atau seniman dan bagaimana kebudayaan itu bisa tumbuh, nggak dikekang-kekang tapi dia bisa mewarnai kehidupan masyarakat. Sebaliknya, yang rancangan UU Permusikan di tahun 2019 waktu itu kita banyak menolak, itu karena karakternya terbalik, ini kok dia justru banyak mengatur hal-hal yang nggak perlu diatur, misalnya kebebasan berekspresinya seniman, lalu musisinya itu harus punya sertifikasi segala macem itu yang kok karakternya beda jauh dari yang seharusnya dibutuhkan oleh musisi atau seniman itu. Akhirnya banyak penolakan di RUU Permusikan, sedangkan di Undang-undang Pemajuan Kebudayaan harusnya lebih didorong lagi dan disosialisasikan kepada para seniman ataupun musisi, termasuk juga kepada pemerintah kota, dan kabupaten ataupun provinsi untuk menjalankan amanat dari Undang-Undang pemajuan kebudayaan itu sih, karena baik gitu |
||
10:36-10:39 | Naomi:
Tapi, kita memang belum punya Undang-undang Permusikan, kan ya mas ya? |
||
10:39-10:43 | Cholil:
Undang-undang Permusikan belum sebenarnya, jadi waktu itu keinginan.. |
||
10:43-10:44 | Naomi: Sempat dibatalkan kan ya? | ||
10:44-12:10 | Cholil:
Iya dibatalkan, sebenarnya rancangan UUD Permusikan ini melihat bahwa musik ini bagian jadi termasuk salah satu, mungkin fokus ya di pemerintahan Pak Jokowi di 2014-2019 selain mungkin perfilman. Perfilman udah punya Undang-Undang perfilman, mereka punya Badan Perfilman Indonesia, mereka punya berbagai institusi gitu ya, dan di musik ini sebagai salah satu fokus juga mungkin mereka ingin memulai dengan mengadakan, membuat mengatur regulasi kebijakannya yaitu Undang-Undang permusikan. Tapi sayangnya sejauh dari apa yang diharapkan atau yang dibutuhkan oleh para musisi, Undang-Undang itu justru malah mengekang, mengatur dan tidak sensitif dengan perkembangan-perkembangan yang baru. Misalnya perkembangan digital nih baru ya. Kan pola konsumsinya berubah dan pola produksinya berubah, itu tuh nggak terlihat di rancangan Undang-Undang itu, sehingga “kok kaya kurang bisa menyerap kayak jaman sekarang gitu. Nanti jangan-jangan kalo udah jadi Undang-Undang, nih ketinggalan jaman ya nggak kepakai juga” gitu. Jadi memang butuh, tapi kalo kita ingin tahu apa yang sebenarnya dibutuhkan harus lebih menyeluruh lagi bikin naskah akademisnya. Sehingga benar-benar menangkap apa sebenarnya yang dibutuhkan musisi sekarang. |
||
15:24-12:18 | Naomi:
Nah Mas Cholil kan juga ikut menolak yang sempat terjadi di 2019 tentang RUU Permusikan yang sempat ada dan ditolak. Tapi bisa cerita nggak Mas prosesnya seperti apa kalau itu ditolak? |
||
12:18-15:16 | Cholil:
Sebenarnya ini saya kebetulan anggota Koalisi Seni juga dan mendapatkan akses untuk membaca draft rancangan Undang-Undang permusikan yang mungkin sudah belum diplenokan tapi sudah beredar di kalangan musisi dan juga beberapa pihak, di mungkin badan legislatif gitu ya. Lalu setelah membacanya kok karakternya, yang paling pertama banyak musisi yang meng-highlight itu adalah kebebasan berekspresi bisa sangat terkekang, lalu selain itu adalah butuhnya sertifikasi untuk seluruh musisi gitu. Padahal sebenarnya kalau mungkin sertifikasi perlu, siapa saja yang perlu sertifikasi gitu ya. Lalu dari situ, kita batasi aja kalau memang perlu dan dibutuhkan, kita nggak menafikan bahwa nggak perlu diadakan sertifikasi tapi boleh kita adakan tapi tidak seluruhnya bersifat kewajiban dan akses dari sertifikasi tuh mungkin nanti bisa ada diskriminasi. Jadi pemerintah atau regulasi itu harus bisa memastikan bahwa sertifikasi ini bukan membuat seorang jadi anak mas. Karena dia layak untuk mendapatkan proyek A, proyek B itu tadi nah kelanjutan dari sertifikasi itu. Dan sertifikasi itu bermacam-macam, ada sertifikasi untuk penyelenggaraan musik, sertifikasi untuk menerbitkan musik. Contohnya ya, sekarang kan musisi ini bisa bikin musik di laptop kemudian bisa menguploadnya, itu kan sudah mensosialisasikan karya mereka ya. Itu sudah begitu kayak nafas aja, gampang banget! [Naomi: dengan mudahnya ya] Dengan mudahnya. Nah dengan ketentuan rancangan Undang-Undang ini seperti ingin menghambat gitu, bukannya mengencourage atau membuat suasana jadi semakin riuh dengan adanya banyak karya ini justru di hambat harus ada izin yang bisa mempublikasikan sebuah karya adalah lembaga yang punya izin segala macem gitu. Sebenernya untuk beberapa hal skala yang besar mungkin perlu, misalnya gini penyelenggaraan festival gitu ya perlu izin. Yang kayak gimana dulu nih kita misalnya kita menyelenggarakan panggung memberi izin yang kayak gimana dulu. Kalau yang besar mengundang orang banyak, perlu keselamatan, perlu berbagai macam persiapan dan infrastruktur tambahan agar penyelenggaraan bisa berjalan damai, lancar dan aman. Itu memang perlu mungkin ada standar-standar tertentu yang harus dipenuhi oleh event organizer, tapi kalau sekedar 17-an gitu ya panggungnya kecil itu kan tidak perlu atau kawinan gitu yang mungkin protokol keamanannya sudah terpenuhi oleh gedung gitu ya dia nggak harus perlu ada izin itu. Nah, di rancangan Undang-Undang waktu itu nggak ada semangatnya kok.. justru kalau ini sampai goal bergulir gitu ya Undang-Undangnya disetujui justru ini menghambat perkembangan musik, bukan justru malah seperti yang diharapkan membuat musik menjadi bergairah. |
||
15:16-16:05 | [BREAK]
Naomi: Oke kita akan break dulu nanti kita akan lanjutin ngobrol bareng sama Mas Cholil dan juga Mbak Retha setelah yang satu ini. Ingin tahu lebih banyak lagi soal apa yang bisa kamu lakukan untuk mendukung seni? Unduh yuk buku Seni Memberi Untuk Seni, versi digital tersedia di website filantropi.or.id. |
||
16:05-16:33 | Naomi:
Hallo we’re back, kamu masih mendengarkan podcast Ruang Usik-Usik ini adalah kerja sama Koalisi Seni dengan KBR, saya Naomi Liandra. Kita lanjut lagi, tadi kita udah ngobrol sama Mas Cholil gimana prosesnya pada saat Mas Cholil juga ikut menolak RUU Permusikan tahun lalu ya, 2019. Nah kita mau tanya lagi nih ke Mbak Retha, Manajer Program Kebijakan dan Anggota Koalisi Seni. Sebenarnya kebijakan seperti apa yang Indonesia butuhkan untuk kebutuhan seni? |
||
16:33-21:11 | Retha:
Kebijakan yang dibutuhkan ya? Tadi kan kita sempet ngobrol sedikit tentang posisi pemerintah di Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan ya. Di mana posisi pemerintah adalah fasilitator yang mana ia memastikan ada koneksi antara cluster-cluster ada pegiat kebudayaan dan mendukung supaya kegiatan para pegiat ini berkembang pesat, baik di tingkat nasional maupun internasional. Jadi posisinya itu bukan konten, kira-kira begitu ya. Tapi memastikan supaya karya-karyanya banyak diproduksi, riuh, banyak pembicaraan yang terjadi di antar kegiatannya, diantara penontonnya, di para pengulasnya. Memastikan bahwa sistem pendukungnya juga disehatkan dan dimajukan dengan baik gitu ya. Sekarang ngomongin tentang si pemerintah, saya dapet cerita anekdot dari anggota Koalisi Seni juga, dia aktif di Badan Perfilman Indonesia. Jadi dia bilang, “ada gestur bagus dari mantan Gubernur DKI, dia kasih 5 persen pajak ke produser film.” Sementara sebenernya kalo liat di ekosistem film itu problemnya ada di distribusi bukan produksi. Film Indonesia sebelum masa pandemi kemaren itu bagus banget rate produksinya. Setelah banyak di produksi film-film ini butuh layar, dia butuh penonton tempatnya ada di gedung bioskop. Kalau misalnya insentif itu dikasih ke pemilik gedung bioskop, mereka akan jauh pilih memutar film Indonesia daripada Hollywood kan misalnya. Ini bikin kebijakannya jauh lebih tepat. Kemudian ada lagi cerita dari monev Undang-Undang kebudayaan tahun lalu. Undang-Undang pemajuan kebudayaan itu kan diketok di 2017, tahun kemarin 2 tahun setelah disahkan kita bikin monitoring evaluasi sudah sejauh mana pelaksanaannya. Kemudian salah satu temuannya adalah Dinas Kebudayaan di berbagai Pemda itu suka pada nggak punya power. Karena mereka eksistensinya itu tempel ke dinas lain, misal Pendidikan, Pariwisata, bahkan juga ditempel ke Dinas Telekomunikasi. Tentunya budgetnya jadinya kalah prioritas dan keleluasaan alokasi dana ini bikin jadi terbatas, kreativitas bikin program hampir nggak ada. jadi kalau tahun kemarin dan sebelumnya bikin festival, tentu tahun ini programnya festival lagi. Jadi mengembangkan program bareng senimannya sendiri secara partisipatoris itu hampir nggak terbayang bahwa itu bisa dilakukan. Jadi disini juga ada masalah kompetensi sumber daya manusia ya, dalam menangani sektor seni budaya. Nah, kalau misalnya kita lihat di masa pandemi, betul kita rasakan, kita lihat, kok seni jadi makin banyak dikonsumsi karena orang butuh hiburan. Tapi apa sebetulnya apa betul ini bikin konsumen dan perusahaan lebih peduli nasib pekerja kreatif, nasib seniman yang memproduksi berbagai karya-karya ini. Kan antara iya dan enggak gitu ya, kita lihat pemerintah kasih bantuan untuk pekerja seni dan pekerja kreatif yang terdampak, tapi itu mengikuti skema yang udah ada. Dan karena judulnya relief (bantuan), jadi sifatnya temporer untuk mengatasi emergency, dia nggak spesifik di bikin untuk sektor seni supaya lebih berkelanjutan lagi gitu. Jadi dari segi impact, kayaknya hanya menyentuh fragmen-fragmen aja dari penggiat seni secara keseluruhan. Kepikirannya gini, kenapa nggak fokus dukung inisiatif digital marketplace buat seni sih yang sudah ada? atau misalnya mau bikin sendiri yang baru yang lengkap dengan support systemnya. Kan ada juga temen-temen kita yang teriak “susah nih, konversi digital nggak semua bentuk seni itu cocok loh di konversi digital” gitu. Terus kemudian yang udah pindah pun belum tentu dapat audiens kan. Nah, kalau misalnya pemerintah mau kreatif misalnya sewa dan mengalihfungsikan ruang publik, atau ruang-ruang government owned jadi tempat produksi ke market ini sesuatu yang mungkin saja terjadi. Temen-temen yang punya bakat fotografi, kelompok teater, simfoni, pematung, pelukis semua bisa showcase karya gitu dengan baik dan dibantu dipertemukan dengan audiensnya yang lebih luas. Lintas provinsi, lintas negara, atau misal juga sediakan dana khusus untuk persediaan komunitas, untuk masyarakat semakin terhubung. Karena ruang-ruang kolaborasi antar komunitas ini sudah terbuka dan terjalin, karena komunitas biasanya cepet banget ya. Mereka terdepan bikin inovasi buat survive di masa sulit misalnya, kalau koneksi internet susah ya udah bikin sendiri aja dan udah terjadi tuh di Ciptagelar, ada satu anggota Koalisi Seni juga yang jadi fasilitator disana dan luar biasa sih jadi mereka nggak tergantung dengan kita terus cari-cari broadband dulu buat online gitu ya, mereka bikin sendiri, keren banget sih! |
||
21:11: – 21:21 | Naomi:
Kalau Mas Cholil, sebenarnya apa yang bisa dibilang pelajaran yang paling menarik untuk Mas Cholil dari proses advokasi RUU Permusikan waktu lalu itu? |
||
21:21-25:58 | Cholil:
RUU Permusikan itu sebenarnya buat kami sendiri dan banyak musisi ya, itu pertama kali terlibat aktif di dalam suatu kampanye untuk kalau saat ini untuk menggagalkan rencana Undang-Undangan yang berpotensi mengekang kebebasan berekspresi musisi. Nah itu kita pertama kali gitu yaa. Jadi kita setelah saya dapat draftnya dari Koalisi Seni, Koalisi Seni juga yang bantu untuk menganalisis apa saja pasal-pasal yang berbahaya, lalu kita rapat berdasarkan ini saya lihat dulu, kira-kira orang ini pandangannya terhadap rancangannya Undang-Undang yang beredar itu gimana? Jadi ketika ada penolakan, saya hubungi, gimana kalau kita melakukan sesuatu gitu ya untuk bersama-sama membahas ini, dan kalau memang dirasa perlu kita perlu membuat suatu koalisi. Dari situ saya nggak cari orang yang nggak paham karena pasti pandangannya sudah jelas lalu itu akan membuat perdebatan yang saya rasa ngga terlalu diperlukan untuk saat itu ya, untuk membuat perdebatan makin lama, jadi makin lama lagi ngumpulnya untuk bikin aksinya gitu. Akhirnya setelah dapet yang kira-kira sejenis pandangan visinya lalu bikin grup whatsapp kalau nggak salah waktu itu, lalu ngebahas kira-kira pasal-pasal mana saja yang berbahaya dan akhirnya kita dibantu oleh Hafez dari Koalisi Seni, kita bikin kayak daftar isian masalah, kita bikin prosedur yang dilakukan oleh DPR jika ada masyarakat yang ingin memberikan pandangan terhadap rancangan Undang-Undang yang sedang dibuat. Dari 54 pasal yang menurut kami itu kurang tepat atau nggak perlu, atau menghambat itu ada 49 pasal. Jadi 5 pasal yang tidak kami sentuh itu pasal-pasal yang normatif aja sebenernya kaya Undang-Undang ini berlaku. Jadi hampir sebagian besar roh dari rancangan Undang-Undang itu menurut kami kurang tepat atau bisa membahayakan daripada justru menghidupkan proses berkesenian buat si musisi itu. Dari situ kita kampanye bikin petisi, bikin daftar isian masalah dan berikan ke DPR. Ada juga dateng waktu itu ada konfrensi pers antara musisi yang menolak, musisi yang setuju, yang revisi lalu ada juga pihak dari badan legislasi. Itu kita kampanye dan kalo nggak salah seinget saya kampanye lainnya itu petisi diadakan oleh Danilla kalo nggak salah ya yang menginisiasi petisinya Danilla, dan mungkin bisa mencapai ratusan ribu penandatangan petisi lalu kami juga akhirnya setelah di ribu-ribut itu sampai ke media massa nasional, lalu pihak Baleg mengundang kami untuk mendengar masukan. Lalu kami berikan bahwa sebenarnya secara keseluruhan rancangan Undang-Undang ini bukan yang kita butuhkan sekarang. Jika memang Undang-Undang musik diperlukan, kita mendengar pelan-pelan dan lebih banyak mendengar masukan dan dimulai dari naskah akademik yang kuat. jadi dari situ kita punya fondasi yang kuat untuk menyusun Undang-Undang musik yang memang tepat sasaran. Terutama soal yang paling banyak disorot orang adalah kita perlu ada tata kelola industri musik gitu yah, nah tapi itu nggak tergambar di Undang-Undang itu. Jadi ya pengennya apa tapi dapetnya apa. jadi kurang nyambung. Nggak bisa dibilang koalisi yang kita bentuk itu nggak membutuhkan Undang-Undang musik gitu. Tapi, Undang-Undang seperti apa sebenarnya dibutuhkan? Nah itu perlu mendengar masukan dari berbagai pihak. Jadi pelajaran berharganya adalah, kita kalau melihat sepintas ini pertama kali.. dan nggak tau yah, Alhamdulillah karena mungkin yang terlibat itu yang punya banyak followers musisi-musisi, jadi dukungan publik juga kuat. Karena dukungan publik kuat akhirnya DPR gerah juga kali ya, dan ngedrop rancangan Undang-Undang permusikan yang kemarin itu dari Program Legislatif Nasional, kalau nggak salah ya. Jadi ya kita cukup senang dan nggak menutup kemungkinan diajak untuk konsultasi kebijakan musik yang baru gitu itu kita sama sekali nggak anti sebenarnya. |
||
25:58-26:10 | Naomi:
Tapi kalau Mbak Retha, kira-kira siapa saja yang dapat mendorong advokasi ini? Apakah cuma seniman seperti Mas Cholil aja kah, gimana tuh Mbak Retha? |
||
26:10-28:09 | Retha:
Jadi sebetulnya kalau mau membantu advokasi gimana sih? Apakah hanya seniman saja? Saya akan bilang nggak. Advokasi bidang seni itu bukan berarti yang terlibat hanya seniman gitu justru kita perlu banget temen-temen yang latar belakangnya hukum, ekonomi, hubungan internasional, buat bantuin kita buat mengedepankan pentingnya nih mendukung seni ke pemerintah. Karena pemerintah sendiri kan ngobrolnya juga ada bahasa sendiri ya, bahasa yang lensanya ekonomi, bahasa yang lensanya politik banget gitu misalnya. Padahal mereka yang pegang powernya kan, nah kita butuh nih temen-temen bantuin. Kita juga butuh peneliti-peneliti, temen-temen yang doyan banget meneliti bidang yang kuantitatif gitu, hak, data dan analitik. Wah dengan senang hati kalau mau bantuin. Karena data-data inilah yang kemudian akan bikin inisiatif advokasi jadi lebih bumi. Membantu juga publik untuk lebih mengerti, sebetulnya problem di ekosistem seni itu seperti apa sih dan government bisa kasih apa? Karena government kan biasanya mereka mau yang praktis “Oke, lu butuhnya apa Lo maunya apa? Berapa banyak, berapa besar? Kalau nasional berarti levelnya berapa?” Jadi udah maunya obrolannya sudah jadi kuantitatif, gitu. Tapi juga bisa sih kalau misalnya teman-teman adanya yang tertarik dukung jadi anggota Koalisi seniman atau bukan bisa menjadi anggota, selama peduli sama ekosistem seni dan siap berkontribusi sumber daya. Misal mau berbagi pengetahuan atau berjejaring, mau support donasi juga oke. Infonya nanti bisa di lihat website Koalisi Seni ya, koalisiseni.or.id atau di instagram @koalisiseni. Terus kalau misalnya lagi ada kontroversi misalnya tadi tuh Cholil cerita tentang petisi yang digagas sama Danila, bisa banget bantuin tandatangani si petisinya dan sebarin ke jaringan yang lebih luas lagi. bantuin kita menyuarakan penolakan-penolakan atau dukungan-dukungan. Kira-kira begitu. |
28:09-28:22 | Naomi:
Kalau dari Mas Cholil apa nih Mas yang ingin Mas sampaikan buat yang dengerin podcast ini, yang bisa dibilang untuk ikutan membantu lah, saya dan juga temen-temen yang bisa membantu di podcast ini? |
28:22-29:26 | Cholil:
Sebagai masyarakat gitu ya, masyarakat mesti tahu dulu duduk perkara dari suatu misalnya kebijakan gitu kebijakan dikeluarkan karena apa, lalu dari kebijakan itu kira-kira masyarakat punya pandangan bahwa ini akan membantu kebijakan itu tepat atau nggak tepat misalnya buat musik bisa jadi berkembang dengan adanya kebijakan itu. Jika mendukung silahkan didukung, jika menolak Undang-Undang itu juga apa ya mengutarakan penolakannya itu dengan berbagai argumen gitu. Nah dari situ kita tahu sebenarnya dukungan publik kuat atau lemah terhadap Undang-Undang itu dan publik merasakan manfaatnya lebih banyak atau lebih buruk dari itu. Jadi mengerti masalah, mengutarakan, dan ikut kalau ada petisi itu tanda tangan, kalau ada hearing atau konferensi pers ikut menyimak, itu kayaknya sangat membantu proses, termasuk demokratisasi pembuatan kebijakan. |
28:09-30:18 | Naomi:
Jadi ternyata di balik karya seni keren dan juga ada dampak seni yang luas memang banyak banget ternyata harus ada kebijakan yang mendukung. Dari obrolan singkatan RUU ini Ruang Usik-usik ini, kita jadi tahu nih kebijakan seni perlu di advokasi. Thank you ya Mbak Retha dan Mas Cholil untuk sharing ceritanya, sukses terus. |
30:18-selesai | Retha:
Sama-sama, terima kasih. |
[Penutup]
Kamu suka podcast Ruang Usik Usik ini? Kami tunggu ya masukannya di podcast@kbrprime.id. Podcast ini bisa didengarkan kbrprime.id, juga di spotify, google podcast, dan platform mendengarkan podcast lainnya. Ikuti juga @koalisiseni di instagram dan twitter untuk update kebijakan seni di Indonesia. |
Simak juga transkrip lengkap dari rekaman podcast (sebelum diedit) di tautan ini.