/   Kabar Seni

Seniman tidak melulu berkarya, kadang juga perlu berbagi cerita. Napak tilas proses kreatif punya daya tarik tersendiri di kalangan seniman, sebagai referensi baru maupun sarana memperkuat jejaring antara satu dan lainnya. Untuk memfasilitasi kebutuhan itu, Koalisi Seni mengadakan sesi berbagi anggota bertajuk “Cerita Kita, Koalisi Seni”. Sesi ini diadakan perdana pada 7 Juli 2020 melalui medium virtual.

Dwe Rachmanto (IVAA, Yogyakarta), Rizki Lazuardi (Indeks, Bandung), Novan Effendi (Damar Kurung, Gresik), dan Istiqbalul Fitria (Komunitas Hysteria, Semarang) menjadi pemantik diskusi yang melibatkan hampir 30 anggota Koalisi Seni itu. Aneka fenomena seni di berbagai wilayah dalam dunia kesenian kita terkini dibahas di dalamnya. Mulai dari jaringan antarseniman, urgensi pengarsipan, kiat membangun kerja sama dengan swasta maupun pemerintah, hingga kegiatan seni di kala pandemi.

Dari Semarang, Istiqbalul Fitria mengungkapkan Komunitas Hysteria mengubah format salah satu agendanya dari luring (offline) ke daring (online). Kendati terkesan mudah dalam bayangan, ada kesulitan membangun animo kegiatan agar tidak hanya berlangsung di lingkaran komunitas saja.

FX Harsono, pelukis dan kritikus seni, menilai kendala tersebut sebagai hal yang harus diatasi dalam pengelolaan sumber daya. Ia berpendapat perluasan jaringan komunitas perlu dilakukan tak hanya pada taraf satu wilayah, tetapi juga wilayah lain. Dengan begitu, seniman akan dipertemukan dengan komunitas lain, bahkan tidak menutup kemungkinan dengan pemerintah.

Dalam hal urgensi perluasan jaringan sekaligus pengarsipan, Rizki Lazuardi bercerita mengenai Indeks, platform yang membuka kesempatan bagi seniman untuk membangun website pribadi. Indeks menawarkan website sebagai sarana seniman untuk menggaet animo publik secara lebih luas. Para peserta sesi mengiyakan adanya kebutuhan seniman dalam mempublikasikan karyanya secara online. Apalagi, kata FX Harsono, “Kurator internasional agak susah untuk tahu seniman Indonesia karena jarang ada seniman yang punya website resmi.”

Sementara itu, Imas Sobariah, Manajer Teater Satu Lampung, menuturkan selain menggunakan website, pemberitaan di media juga penting untuk membangun jaringan. Keduanya tentu perlu beriringan dengan produktivitas lembaga dalam menghasilkan karya. “Dulu kami kampungan banget, boro-boro punya web. Karena pemberitaan soal kegiatan dan karya-karya Teater Satu, banyak pihak mengundang kami,” ucapnya.

Kiat-kiat membangun kerja sama seniman dengan swasta dan lembaga pemerintah pun dibagikan. Dengan pihak swasta, Rumata’ Artspace sebagai penyelenggara Makassar International Writer Festival (MIWF) rajin melihat open call yang sering dibuka oleh instansi. Bentuknya bisa kolaborasi atau program mandiri. Kadang Rumata; yang mengajukan proposal program, kali lain bisa pula mereka membuat programnya, kemudian baru diajukan ke perusahaan swasta. Di sisi upaya kerja sama dengan lembaga pemerintah, Tita Djumaryo, pendiri Mari Berbagi Seni, mengatakan sebisa mungkin kita menawarkan hal yang belum dikerjakan pemerintah. “Mari Berbagi Seni bergerak di pendidikan seni yang memperjuangkan toleransi, keberagaman, dan inklusi sosial. Kebetulan, itu yang dibutuhkan Ditjenbud (Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan),” ujarnya.

Kerja keras membangun jaringan juga dilakukan Yuyun Sulastri dari Dewan Kesenian Malang. Melalui pendekatan ke Walikota dan DPRD, Yuyun mengajukan berbagai program seni yang mampu memberdayakan masyarakat ke beragam kedinasan. Caranya, “Kita dekati dan sampaikan usulan ke pusat (Walikota/DPRD), baru kemudian ke dinas-dinasnya. Sehingga, kedua pihak tahu dan sesuai dengan apa yang kita tuju. Jadi, tidak ada salah turun dana.”

Tak cuma Hysteria yang mengalihkan acaranya ke ruang daring. Rumata’ juga menghelat agenda MIWF dalam bentuk daring, karena gairah mendiskusikan fenomena dalam dunia sastra tidak surut kendati melalui tatap muka di dunia maya. Dengan tajuk MIWF Memory Project, mereka mengadakan program diskusi seputar manuskrip dan alih wahana karya Sapardi Djoko Damono serta menerbitkan buku Museum Kehilangan (Wawan Kurniawan), Selama Laut Masih Bergelombang (Maryati Afka), Elang (Hamid Jafar), dan Bajak Laut (La Side). Begitu juga dengan dengan SERRUM yang tetap berkegiatan dengan turut mengadakan pameran virtual.

Selain membuka ruang bagi anggota untuk bercerita, Koalisi Seni juga membagikan kabar terbaru dari Sekretariat. Antara lain, memfasilitasi konsolidasi jejaring teater untuk menindaklanjuti KuMaHa, menerbitkan buku Seni Memberi Untuk Seni, mengadakan diskusi Filantropi Seni Pascapandemi, dan mengelola podcast Ruang Usik-Usik (RUU).

Karena antusiasme anggota dalam mengikuti agenda ini cukup tinggi, sesi berbagi ini direncanakan menjadi kegiatan berkelanjutan. Jadi, sampai jumpa di cerita selanjutnya! (Bari Mubarak)

Tulisan Terbaru

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.