Selama pandemi, banyak dari kita merasakan langsung bagaimana seni membantu diri bertahan di tengah berbagai kecemasan dan ketidakpastian. Podcast keempat Ruang Usik-Usik yang tayang 19 Agustus 2020 ini membahasnya bersama seniman Hana Alfikih dan praktisi mindfulness Adjie Santosoputro. Sebelum mendengarkan podcast serunya, mohon dicatat bahwa beberapa topik yang dibahas bisa jadi pemicu (trigger) kegelisahanmu, misalnya patah hati, kekerasan, dan kecenderungan bunuh diri.
Jika tak sempat mendengarkan secara penuh, simak transkrip yang dibuat oleh Dinita Amanda berikut ini:
Waktu | Transkrip |
00-1:45 | Naomi:
Dampak positif seni banyak dirasakan oleh masyarakat bahkan berbagai inisiatif seni di nusantara mendorong kebebasan berekspresi dan inklusi sosial karena menyediakan ruang dialog serta refleksi terhadap lingkungan sekitarnya. Seni juga kerap kali dimanfaatin untuk menjaga kesehatan jiwa dalam bentuk terapi maupun rekreasi, dan hasil penelitian juga menunjukan kalau seni meredakan gejala kecemasan dan depresi serta mengurangi stress. Seni ini juga bisa membantu loh! Untuk mengatur sistem saraf lewat keterlibatan terpadu antara pikiran dan juga tubuh. Pakar art therapy menyebutkan, gerakan dalam seni yang terfokus misalnya saat melukis dan memainkan gitar membantu mengaktifkan parasimpatis sistem saraf, sistem ini lantas mengirimkan sinyal menenangkan keseluruh otak dan juga tubuh. Nah di episode kali ini seni untuk kesehatan jiwa kita bakal bahas tuntas pentingnya seni dalam kesehatan mental kita dan kali ini kita bareng dengan Hana Alfikih seniman yang akrab dengan Hana Madness dan juga Mas Adjie Santosoputro, praktisi mindfulness. Apa kabar? Mbak Hana, Mas Adjie, mudah-mudahan kita semua sehat ya. |
1:45-1:59 | Naomi:
Aku mau nanya sama Mbak Hana dulu nih. Mbak Hana ternyata kalau aku lihat itu dari beberapa artikel yang ada dari SMP sudah doodling ya, doodling art. Wow, boleh dong ceritain gimana ceritanya? |
01:59-3:24 | Hana:
Gimana prosesnya ya? Sebenarnya itu adalah responku terhadap tekanan internal yang aku rasakan sejak kecil sih, menimbulkan respon kreatif dalam merespon tekanan yang aku hadapi saat itu. Jadi bisa dibilang pada saat itu aku melakukan itu untuk menjaga kewarasanku. Karena pada saat itu keadaan mentalku cukup ekstrem, sangat ekstrem. Dan pada saat itu kurang edukasi keluarga akan kesehatan jiwa karena isunya masih tabu, terus mereka melihat aku secara fisik baik-baik saja dan ketika aku pertama kali melakukan vandalisme di dalam rumah mereka justru melarang keras. Karena mereka punya background agama yang cukup kuat, yang mana membuat itu semua jadi bertabrakan lah hingga akhirnya aku terus melakukan itu. Bahkan ada momen-momen saat aku pergi ke sekolah, di saat konflik yang terjadi antara aku dengan keluarga cukup intens. Aku cuma bawa tas kecil yang isinya cuma sketchbook, drawing pen sama baju ganti. Karena aku dari SMP udah sering banget kabur-kaburan dari rumah, malah sempat diusir dari rumah oleh orang tuaku. Karena mereka udah nggak tau cara meng-handle keadaanku seperti apa pada saat itu cukup parah. Jadi ya akhirnya berkelanjutan sampai sekarang dapet apresiasi yaitu di luar dari apa yang aku bayangkan sih! |
3:24-3:24 | Naomi:
Dan itu pertama kali kalau nggak salah pas SMA dilirik sama salah satu perusahaan korek api ya? |
3:24-3:33 | Hana:
Iya, itu satu tahun berselang aku lulus SMA. |
3:33-3:40 | Naomi
Wow, keren banget! Jadi apapun yang lagi dirasakan sama Mba Hana, Mba Hana tuangkan dengan doodling art itu sendiri ya? |
3:40-4:18 | Hana:
Ya aku suka nulis-nulis, journaling terus kayak mencaci apapun yang aku rasakan perasaannya pada saat itu. Dulu kan kita nggak tau ya cara memetakan itu karena bentuknya tuh masih abstrak “Nih gue kenapa sih?” “Kok gue selalu sedih berkepanjangan, ketakutan ketemu akan hari esok?” Terus nggak pernah bisa tidur, bahkan dari jaman smp insomnia ku cukup parah banget karena sering balik nggak pulang. Kadang pulang pagi terus akhirnya nggak tidur, tidur akhirnya di sekolah akademisnya jadi menurun, nggak punya temen jadi semua saling berkontribusi cukup besar terhadap pembentukan mentalku. |
4:18-4:25 | Naomi
Tapi dari kegiatan seni yang sangat berpengaruh dengan kejiwaan Mba Hana ini seperti apa, mbak? boleh ceritain sama kita dong. |
4:25-6:31 | Hana:
Dari awalnya sih aku nggak mengharapkan apresiasi ya karena aku melakukan itu untuk diriku sendiri. Boro-boro, maksudnya untuk mendapat dukungan keluarga pada saat itu juga nol besar bahkan respon yang aku terima sangat negatif. Bahkan di keluargaku nggak ada satu anaknya pun yang boleh jadi seniman pada saat itu hingga akhirnya aku melakukan itu untuk diriku sendiri untuk menjaga kewarasanku. Karena pada saat itu aku benar-benar kewalahan dan bahkan sampai ketika mereka melarangku, mengekangku untuk melakukan memproduksi karya seni untuk diriku sendiri, akhirnya aku lari untuk menyakiti diriku sendiri. Karena aku nggak tahu teknik coping apa yang aku lakukan. Karena aku belum dapat penanganan profesional pada saat itu, BPJS juga belum ada saat itu dan isunya masih tabu. Sampai akhirnya yang aku rasakan adalah kenyamanan apalagi ketika aku duduk berlama-lama di depan komputer. Dulu aku tuh ngulik photoshop banget! Sering nginep di warnet jaman-jaman sekolah sampai sering bolos sekolah juga, boleh dikatakan dan aku kayak nemuin “Oh my God” dunia art tuh selalu menarik buatku. Selalu ada hal yang nggak bisa kita ungkapkan dengan kata-kata, tapi bisa kita tuangkan itu kedalam sebuah goresan. Dari sejak aku eksplor-eksplor soal seniman-seniman yang mereka bisa besar dengan karya meskipun mereka punya background gangguan kejiwaan. Di situ aku berpikir, aku berfantasi cukup besar bahwa “Gue pingin banget bisa dikenal karena karya gua!” Itu memicuku pada awalnya, yang menjadi cambukku untuk “Ya udah deh, sekarang mau nggak mau gue melakukan ini buat diriku sendiri.” Pada saat itu ada platform bernama Deviantart, terus ada Myspace, ada Friendster juga. Aku coba upload semua karya-karya ku sampai akhirnya ketika teman-teman di sekolah, banyak kok yang jadi saksi dimana aku tuh dulu memang sering banget doodling di sketchbook ku dan akhirnya aku dapat commision dari teman-teman sekolah. “Han bikinin aku kaos dong design ini” dulu sempat ada usaha sablon kecil-kecilan. Dari situ perlahan mulai terbuka, mulai terlibat di pameran kolektif, jadi yah gitu lah. |
6:31-6:38 | Naomi
Tapi kalau menurut Mbak Hana, udah banyak belum sih masyarakat yang menggunakan seni ini untuk terapi kejiwaan mereka? |
6:38-7:33 | Hana
Kalau berbicara setahun dua tahun belakangan ini isunya kan semakin terbuka. Media mengangkat seniman-seniman dengan disabilitas, disabilitas juga banyak dibicarakan oleh publik. Aku rasa orang semakin aware, tapi untuk yang menerapkan itu atau tidak aku rasa belum banyak karena setauku tenaga art therapy sendiri di Indonesia kan sedikit ya. Bahkan memiliki sertifikat sebagai seorang art therapist itu kan juga dibutuhkan sekolah dan aku rasa jurusannya kayaknya belum ada deh di Indonesia. Itu penting tuh! Ya karena saat ini dibutuhkan banget kan. Orang sudah bisa speak up akan kondisi kejiwaan mereka jadi ya kurasa perlu banyak improvement sih yang dilakukan dan kita nggak bisa sendirian. Kita harus kerjasama dengan komunitas, individu, seniman, dan pemerintah harus jalan bareng. |
7:33-7:34 | Naomi
Jadi biar balance semuanya ya. |
7:34-7:35 | Hana
Iya betul! |
7:35-7:54 | Naomi
Nah, kalau kita ke Mas Adjie nih! Mas Adjie boleh tau dong pengalaman pribadi Mas Adjie sendiri nih kalau boleh di-share sedikit kalau ngelewatin, bahasanya tuh masa kelamnya jaman pada saat Mas Adjie masih kecil. Gimana tuh mas akhirnya Mas Adjie bisa seperti sekarang, boleh di-share sama kita kah? |
7:54-8:00 | Adjie
Iya boleh. Sebelum saya menjawab, saya itu juga ini loh follow Hana Madness ya, penggemar Hana Madness. |
8:00-8:08 | Hana
Eh, aku penggemarmu sekali loh! Aku ini deg-degannya luar bisa dari semalam karena aku nggak nyangka akan dihadapkan dengan dirimu. |
8:08-8:26 | Adjie
Oh gitu, terima kasih soalnya saya ini orang yang nggak bisa gambar. Mentok itu kalau saya disuruh gambar, gambarnya gunung dua ada sawahnya ada jalan jadi kalau lihat gambar-gambarnya Hana itu geleng-geleng kepala saya, keren. |
8:26-8:27 | Hana
Aduh, terima kasih loh Mas! |
8:27-12:32 | Adjie
Nah, berawal dari masa kecil saya yang suka gambar itu sebatas gambar itu tadi kan ya, gambar dua gunung pemandangan terus ada mataharinya. Waktu kecil itu saya lahir di keluarga tidak seperti pada umumnya. Saya lahir di keluarga yang broken home istilahnya gitu. Saya lahir tumbuh besar bersama ibu saya sejak kecil. Bapak saya sudah tidak serumah dengan saya, lalu jarak usia saya dengan kakak saya itu cukup jauh 6 tahun. Karena sebenarnya, saya ada kakak kandung yang meninggal dalam kandungan akibatnya saya berjarak usia dengan kakak saya yang masih hidup itu cukup jauh. Masa kecil saya itu akrab dengan kesepian, saya menikmati masa kecil dengan sendirian. Lingkungan rumah saya juga tidak ada anak kecilnya jadi long story short saya memang masa kecil itu penuh dengan rasa kesepian. Masa remaja, saya berusaha untuk mengatasi rasa marah dengan ngeband. Jadi salah satu seni yang saya pelajari yaitu seni musik ngeband. Lalu saya kuliah di Psikologi UGM, saya merantau dari Solo ke Jogja itu pun dalam rangka memulihkan batin saya, memulihkan kemarahan saya terhadap keluarga saya. Saya mengambil Jurusan Psikologi. Waktu saya kuliah juga salah satunya yang saya gunakan untuk memulihkan batin saya adalah teater. Saya sempat belajar teater bahkan saya itu pernah menekuni sulap, seni sulap. Jadi random sekali hidup saya dan saya juga nggak ngira sekarang ini, ya kegiatan saya seperti ini. Kalau melihat masa lalu saya itu begitu acak begitu random tidak ada polanya. Saya dulu tidak punya cita-cita, tidak punya passion untuk menekuni apa yang saya pelajari sekarang ini. Satu pelajaran penting terkait dengan pengalaman masa lalu saya, kebahagiaan kita, rasa menderita kita, baik yang sampai mentok, saya muncul ada keinginan untuk bunuh diri itu akibat dari pikiran saya. Pikiran saya yang nggak kreatif, pikiran saya yang kaku lagi-lagi, pikiran saya yang hanya mau senangnya tapi tidak mau sebelnya. Persoalan seni, saya melihat seni itu bukan hanya sebatas skill, ya. Bukan sebatas, misal saya dulu let’s say saya belajar ngeband, seni seni musik, seni teater atau Hana seni gambar, seni doodling atau seni menulis. Sekarang ini yang cukup sering saya tekuni itu adalah menulis, tapi saya melihat seni ini sendiri tidak sesempit itu. Saya melihat bahwa di hidup ini yang nggak seni itu apa sih? Kelihatannya sih semuanya itu seni sebenarnya, bahkan ketika pagi hari kita dengar burung berkicau itu adalah sebuah seni atau sesimple kita melihat daun gugur. Nggak usah gugur lah itu kan terlalu dramatis ya, daun yang sudah gugur di halaman kita lihat “It’s an art” kenapa itu seni? Karena itu tidak ada polanya. Hidup ini tidak ada polanya dan kita menjadi menderita karena kita berusaha mempolakan hidup ini. Makanya ada sebuah ungkapan kan kalau hidup ini, dunia ini, bumi ini tanpa art “Earth without art is become eh” jadi segala sesuatunya perlu seni untuk melenturkan pikiran kita. |
12:32-12:38 | Naomi
Nah, kalau dari pengalaman Mas Adjie sendiri menggunakan seni untuk memulihkan diri seperti apa? |
12:38-14:00 | Adjie
Saat-saat ini bisa dikata menulis ya meskipun saya sadar diri saya bukan penulis. Saya menulis ini dalam rangka bagian dari belajar. Ketika saya belajar memulihkan batin, belajar soal mindfulness, kesadaran diri, meditasi, belajar soal emotional healing, maka saya perlu mengajarkan itu ke orang lain. Karena saya percaya kita akan lebih belajar ketika mengajar karena dengan mengajar kita akan belajar lebih dalam. Nah, cara saya mengajar yaitu dengan menulis salah satunya karena dengan menulis, ternyata saya menemukan pola bagaimana saya mengatur pikiran saya. Contoh, simple-nya mungkin terlalu abstrak. Contohnya saya membaca buku, setelah baca buku selesai satu buku, dipikiran saya kan banyak sekali serpihan-serpihan ilmu yang saya dapatkan dari buku itu. Supaya lebih saya pahami maka saya perlu menuliskan dari apa yang saya dapatkan dari membaca buku itu. Nah menulis ini menjadi cara saya lebih memahami hidup ini dan yang terpenting buat saya dalam menulis adalah cara saya untuk menampar diri saya sendiri sih. |
14:00-14:11 | Naomi
Ya, tapi Mas Adjie gimana caranya Mas Adjie memanfaatkan seni ini dalam memanajemen energi yang sering banget diadakan gitu mas? |
14:11-16:31 | Adjie
Nggak terbatas menulis ya, lalu saya belajar bahwa seni itu tidak sesempit sebuah kemampuan seperti yang saya sampaikan tadi. Ada dua poin yang saya pelajari dari seni yaitu adalah kreatif dan mengalir “fluid”. Saya rasa Hana juga bisa bercerita tentang bagaimana proses menggambar. Saya rasa menggambar itu ada aturannya tapi seorang seniman itu adalah seorang yang berani mematahkan aturan itu. Jadi ilmuwan itu perlu seniman, seniman perlu ilmuwan di semua bidang. Karena kalau hanya ilmuwan saja itu hanya mengetahui aturannya saja dan mengikuti aturan itu, dan itu nggak asik. Nggak ada rasa kayak passionate gitu tapi, seniman itu berbeda. Seniman itu orang-orang yang berani untuk meruntuhkan tembok-tembok, aturan-aturan dan itu diperlukan di semua bidang karena dengan itu akan ekspan. Nah, balik dengan pertanyaan tadi seni itu saya gunakan untuk melatih diri saya untuk mengalir dan kreatif. Contoh misal dulu saya patah hati, lalu saya menganggap kalau patah hati ya harus mabuk. Misal jaman dulu ya waktu dulu lah ya masa muda, sekarang kan tidak muda lagi dan ini adalah sebuah pattern yang fix bahwa kalau patah hati ya mabuk. Ketika saya belajar seni apapun itu seninya, saya melatih diri keluar dari pola fix itu bahwa ketika patah hati pilihannya nggak harus mabuk. Patah hati bisa aja jogging, patah hati bisa saja menulis, patah hati bisa saya menyanyi, patah hati bisa saja menggambar. Nah, betapa sering kita ini terjebak dalam pola-pola kaku seperti begini, kalau A pasti B kalau saya mengalami ini pasti harus begini di seni kita meruntuhkan pola itu dan itulah yang meruntuhkan batin kita. |
16:31-16:37 | Naomi
Keren banget nih Mas Adjie dan Mbak Hana kita tahan dulu ya sabar, kita kembali setelah yang satu ini. |
17:19-17:38 | Naomi
Halo kita balik lagi! Kamu masih mendengarkan podcast Ruang Usik Usik. Ini adalah kerjas ama Koalisi Seni bersama dengan KBR, saya Naomi Liandra. Nah, kita mau tanya lagi ke Mbak Hana nih, cara mendorong semua orang itu untuk memanfaatkan seni untuk menjaga kesehatan mental tuh gimana menurut Mbak Hana? |
17:38-19:40 | Hana
Kolaborasi itu penting dan aku mungkin akan berteriak ini dengan kencang “we need more funding!” dari the government karena pelajaran yang aku pelajari dari seniman-seniman di UK, aku bertemu dengan banyak aktivis disabilitas baik mental maupun disabilitas secara general. Terus ketika aku menghadiri festival-festival yang mengangkat isu seni dan disabilitas pada umumnya, peran pemerintah, swasta, komunitas dalam memberikan ruang yang aman nyaman yang bersifat diverse, yang bersifat aksesibel untuk semuanya itu adalah yang kita butuhkan. Nggak hanya disabilitas mental ya tapi disabilitas semua ragam disabilitas karena selama ini kan kita kesulitan, selama ini kita selalu terkubur, kita tidak terlihat ketika.. gini aku punya pelajaran yang aku anggap sangat berharga. Ketika kolaborator ku yang dari UK itu dia adalah seorang seniman, aktivis, dan juga seorang penyintas. Dulu dia seorang homeless sebelum ia menemukan seni hingga akhirnya ia ditampung di Dinas Sosial dia sempat dirawat di rumah sakit jiwa, aku pun sempat direhab di bangsal psikiater. Jadi kita punya background yang sama dan sebelum kita melakukan proyek kolaborasi itu dia menyodorkan aku disability awareness document yang menjelaskan bahwa dia adalah seorang seniman dengan disabilitas mental berikut perinciannya. Apakah ia sedang melakukan terapi tertentu atau tidak, apakah itu akan memengaruhi timeline nanti project kita, dan nanti apa yang kita lakukan. Jadi itu ada hak dan kewajiban di dalamnya, itu adalah bentuk aktivismenya dia. Aku amazed banget sih “Oh my God”, justru this is what we really need in this country bahwa identitas itu menjadi penting karena terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi didalamnya. Jadi ya itulah kenapa apa yang aku kerjakan selalu relate sekali dengan art and activism. |
19:40-19:57 | Naomi
Ini menarik banget, tapi kalau dari Mba Hana ini kan memang lagi berusaha membuat apa namanya yang tadi mba sebutkan seperti isu kesehatan mental itu nggak tabu lagi kan. Banyak tantangan-tantangan yang mungkin sudah Mbak Hana alami, boleh cerita sedikit dari tantangan itu nggak? |
19:57-21:34 | Hana
Tantangan terbesar pertama kali ketika aku mencemplungkan diri dalam isu ini adalah stigma yang datang dari diriku sendiri. Jadi stigmanya bukan dari orang lain, bukan dari publik, tapi dari diriku sendiri bahwa “Ah, gue nggak bakal dianggep” apalagi aku besar di tongkrongan. Pertama kali di cengin habis habisan udahlah itu udah kenyang lah “Widih masuk ini nih” “Lu gila lu ya” kebal lah awal-awal kayak gitu, tapi aku merasa ini nggak ada artinya buat gue kalau gue nggak bisa merubah pandangan atau pola pikir orang dari circle terkecil gue dulu. Keluarga, temen, baru publik secara luas dan alhamdulillah seiring berjalannya waktu karena support yang aku dapat mungkin juga apresiasi terus datang, keluarga melihat impact-nya yang datang positif. Itu jadi doping yang tadi aku mention sih dan terlebih adalah banyaknya komunitas sekarang yang menyuarakan hal yang sama, itu jadi spirit sendiri buatku bahwa dulu gue sendirian, dulu gue menstigma diri gue, terus gue takut kayak pakde gue, budhe gue tahu, tapi sekarang kita berjalan berbarengan dan tidak ada yang salah dengan hal itu. Sudut pandang dan narasi yang media ciptakan saja yang harus diubah. Makanya itu tadi kita nggak bisa sendirian harus bareng-bareng untuk mengubah ekosistem seni yang lebih aksesibel lagi. |
-22:38 | Adjie
Sangat perlu karena seni itu akrab buat semua orang ya, bisa dikatakan begitu jadi tidak ada batasannya gitu bisa menembus sekat-sekat, bisa menembus batas, mungkin ada perbedaan dan sebagainya seni itu punya kelenturan untuk itu gitu maka kalau dikaitkan dengan upaya untuk menyehatkan mental di masyarakat indonesia itu sangat perlu perlu. |
-22:48 | Naomi
Oke, tapi ini kalau disambungi dengan menggunakan seni sebagai pelatihan seperti apa sih potensi seni untuk orang itu supaya lebih mindful? |
-23:25 | Adjie
Saya melihat ada dua ya proses seni, jadi kalau saya mengajak atau mengadakan pelatihan terkait dengan mindfulness pertama adalah karya seni apapun itu biasanya akan keren, akan jadi masterpiece kalau si senimannya itu menghasilkan karya dengan dia melebur di situ. Kalau misal seorang seniman sudah memikirkan laku atau tidaknya sebuah karya biasanya karyanya akan nggak bagus, betul begitu ya Hana? |
23:25-23:42 | Hana
Ya dan nggak, iya dan nggak sih haha. |
23:42-25:04 | Adjie
Karena seniman itu kalau sudah ada attachment apa yang dia tuju kadang malah karyanya itu tidak muncul. Nah, inilah kekuatan sebuah seni yang dihasilkan oleh seniman yang dia lenyap bersama karyanya. Dia egonya nggak ada disitu maka itu sampai ke hati yang mendengar atau hati yang melihat. Apa yang dihasilkan dari hati akan sampai ke hati, itu benar sekali! Dan ketika saya mengadakan pelatihan misal dengan memperdengarkan musik ke peserta, mereka akan lebih mudah untuk masuk ke kondisi meditatif, kondisi tenang dan bukan hanya seni secara sempit. Karena ada kalanya saya mengajak peserta dengan duduk diam dan nggak ngapa-ngapain jadi the art of doing nothing berdiam diri itu adalah sebuah seni. Mendengarkan suara angin, mendengarkan suara pikirannya sendiri, mendengarkan nafas, itu pun adalah seni dan itu mempunyai kekuatan luar bisa untuk memulihkan batin atau menyehatkan batin dan mental. |
25:04-25:24 | Naomi
Ini pertanyaan untuk Mbak Hana dan juga Mas Adjie ya. Kalau dikasih kesempatan untuk mengubah kondisi sekarang apa yang perlu dilakukan pemerintah, terus yang dilakukan sekolah, swasta dan masyarakat untuk bisa penggunaan seni ini untuk merawat jiwa kita? Monggo Mas Adjie dulu atau Mbak Hana dulu. |
25:24-28:43 | Hana
Jadi mungkin kayak misalnya di sekolah ya kita kan cuma diajarin sama guru seni kita gambar, teknis udah mungkin. Guru tenaga pengajar harus dibekali lagi akan pentingnya seni terkait kesehatan jiwa dan contohnya adalah misalnya nih, dulu di institusi sekolah aku sangat-sangat akademis ku cukup berantakan ya karena gangguan kejiwaan dan ketika kita pergi ke guru BK Bimbingan Konseling, kita kan berharap untuk mendapat tempat yang nyaman untuk kita bercerita masalah entah itu dirumah, entah itu di sekolah, entah itu bullying dalam kelas, tapi ternyata yang kita dapatkan adalah judgement. Biasanya seperti itu dan aku merasakan kayak kurikulum akan pentingnya kesehatan jiwa itu penting banget loh! Karena percaya nggak sih, banyak banget orang-orang yang mengalami gangguan mental di kemudian hari dan kontribusi utamanya yang hal-hal terjadi ketika dia masih kecil, ketika dia di sekolah, ketika di keluarga, ketika dia mengalami domestic violence, tanpa ia sadari itu membentuk monster di dalam dirinya. Jadi sebenernya nggak hanya di sekolah, tapi di kantor menciptakan lingkungan yang lebih sehat, lalu untuk pemerintah kan kalau membicarakan kesehatan jiwa kita nggak hanya bicara untuk teman-teman di kota besar ya, bisa mengakses podcast, bisa mengakses media, lalu gimana saudara-saudara kita yang di desa sana yang bahkan mereka tidak ada psikiater disana. Boro-boro apa itu seni dan kesehatan jiwa? The struggle is real kan. Jadi apa yang perlu kita lakukan? Advokasi. Lalu yang aku pelajari ketika kunjunganku ke UK adalah kayak di Children Hospital mereka punya itu meskipun nggak semua nya ya, tapi kebanyakan lalu di pusat rehabilitasi di rumah sakit jiwa mereka menerapkan namanya art therapy dan nggak melulu mengikutsertakan art terapist yang bersertifikasi, tapi juga banyak yang mental health workers yang ada disana tuh mereka berkolaborasi dengan seniman. Mengadakan kayak weekly visit dan biasanya di rumah sakit, mereka merespon itu dengan membuat proyek agar membuat rumah sakit less clinical. Karena kan biasanya mental kita masuk rumah sakit “Oh gue sakit nih” apalagi lo masuk ke rumah sakit jiwa, “Waduh nih orangnya kusut semua nih pasti” imejnya begitu negatif semua, tapi dengan hadirnya seni dengan adanya tadi yang aku singgung, kenapa kita butuh funding? Untuk kita membuat seni accessible supaya bisa lebih dirasakan semua kalangan kita. Harus kerja bareng-bareng, jadi yang perlu dilakukan adalah kolaborasi, terus membuka ruang untuk bertukar pikiran. Karena nothing about us without us kan. Jadi ketika kita membicarakan kesehatan mental, kita harus ajak mereka apa yang mereka butuhkan untuk proses pemulihan mereka. Itu juga jadi salah satu hal yang penting, tapi sebenarnya banyak banget tapi ya itu poin-poin yang ingin aku sampaikan sih |
-28:47 | Neomi
Oke thank you Mbak Hana, gimana kalau Mas Adjie? |
28:47-31:28 | Adjie
Kesehatan dan seni ya di Indonesia ini ya PR kita masih jauh sih. Jangankan kesehatan mental dan seni, kesehatan mental saja atau kesadaran akan kesehatan jiwa itu masih kurang. Ya memang akhir-akhir ini seperti yang Hana sampaikan tadi, saya sepakat bahwa akhir-akhir ini sudah mulai muncul kesadaran di berbagai pihak dibanding dulu jauh, cuma kalau apakah sudah banyak? Ya belum. Jadi sebelum kita bicara kesadaran jiwa terkait seni, fondasinya dulu yang perlu kita tingkatkan, yaitu kesadaran pentingnya kesehatan jiwa di sekolah. Ajarilah di sekolah TK, SD, SMA mata pelajaran atau pendidikan soal kesehatan mental itu masih sangatlah kurang. Nggak usah rumit ngomongin kesehatan jiwa, apakah kita semua waktu sekolah pernah diajarin gimana caranya mengelola emosi kita? Atau kita tarik ke simple lagi ke ranah keluarga di rumah, apakah orang tua kita atau orang tua semuanya lah ya, sudah mulai ngajarin anaknya nggak? Terkait misal kalau kamu sedih kamu begini, ya kalau kamu nanti gembira, gembira kamu begini loh. Kita tidak punya fondasi ilmu literasi, ilmu kesehatan mental kita sangatlah kurang sehingga nggak heran sekarang ini cukup banyak orang yang kebingungan mengelola emosi marah, misalnya. Makanya jangan heran kalau di sosial media banyak yang ngegas, banyak yang nyinyir, karena kemampuan untuk itu tidak kita punyai. Maka mulai bareng-bareng menyadari betapa pentingnya kesehatan jiwa. Terkait pemerintah, itu penting sekali! Nggak tau cuma ini personal ya kadang capek juga ya kalau terus-terusan berharap ke pemerintah, makanya mungkin kita perlu gerak inisiatif secara sendiri pelan-pelan. Mulai apa yang bisa kita lakukan kita lakukan karena kalau terus terusan nunggu pemerintah mungkin nggak akan terealisasi-terealisasi jadi mulai dari kita, mulai bergerak mulai dari diri sendiri dulu aja, mulai kita renungkan apakah kita benar-benar menyadari betapa pentingnya kesehatan jiwa kita. |
31:28-31:33 | Hana
Kolektivitas ya, bisa berasal dari kolektivitas yang penting.. |
31:33-31:57 | Adjie
Ya ya. Kolektivitas sangat penting sangat penting sekali dan kolektivitas itu pun perlu diimbangi dengan kesadaran diri. Kolektivitas tidak akan terjadi kalau tidak ada kesadaran diri perindividu, kesadaran individu. Jadi dua-duanya penting ya secara individu penting, secara kolektif penting. |
31:57-32:30 | Naomi
Keren banget Mbak Hana, Mas Adjie aku sampai ternganga disini, tapi setelah kita ngobrol bareng di podcast RUU episode kali ini kita memang tahu ya kalau kesehatan mental itu bisa terjaga dengan baik terutama dengan aktivitas yang kita lakukan. Misal dengan kegiatan seni-seni itu sendiri gitu ya mbak dan juga mas. Thank you untuk Mbak Hana, Mas Adjie untuk sharing di RUU podcast kali ini mudah-mudahan kita bisa ketemu di next episode ya. |