Katanya, orang Indonesia gemar menyumbang dan menolong orang tak dikenal. Tapi kok jarang ya memberi untuk seni? Kita obrolin yuk bareng Sophia Rengganis, senior tax manager PWC Indonesia, dan Yuli Andari Merdikaningtyas, penerima Hibah Seni Kelola dan penggagas Festival Film Sumbawa 2019 yang saat ini sedang studi di Polandia. Podcast ini tayang pada 5 Agustus 2020.
Berikut transkripnya, yang disusun Dinita Amanda:
Waktu | Transkrip | ||
00:00-1:54 | Naomi:
Selama pandemi covid-19 dan PSBB siapa yang stuck di rumah aja nih? Kita semua lah ya. Mulai dari work from home, sampai school from home pokoknya semua numplek deh jadi satu di rumah dan juga berkegiatan. Hiburan pun seperti itu harus kita nikmati di rumah aja. Nah buat kita para penikmatnya seni itu bukan sekedar hiburan saja, tapi juga banyak nilai-nilai lebih yang ditawarkan di sana yang sudah pasti nih kebebasan berekspresi dong ya. Selain itu, di seni tercipta ruang dialog dan refleksi di sekitar kita. Jadi bagi beberapa orang, seni itu bisa menyembuhkan trauma, memberikan suara bagi yang terpinggirkan juga, tapi dari sisi kita sebagai penikmat apa aja sih peran kita? Terus bagaimana supaya kita, ya saya dan kamu ya bisa sama-sama mendukung para pekerja seni? Nah pertanyaan ini akan dijawab Koalisi Seni dan Filantropi Indonesia lewat buku Seni Memberi Untuk Seni yang baru aja diterbitkan. Hari ini dua narasumber kita juga akan menjawab soal serunya soal filantropi seni. Bersama saya saat ini sudah ada Mbak Sophia Rengganis, Senior Tax Manager di kantor akuntan PricewaterhouseCoopers Indonesia, hallo Mbak Sophia! Dan ada juga Mbak Yuli Andari Merdikaningtyas penerima Hibah Cipta Perdamaian Yayasan Kelola dan juga penggagas Festival Film Sumbawa 2019 yang saat ini lagi menjalankan studi di Polandia juga. |
||
1:55-2:22 | Naomi
Semoga kita semua dalam keadaan sehat terus ya Mbak ya. Nah kalau aku mau tanya dulu nih ke Mbak Yuli. Sekarang banyak banget film-film dokumenter yang temanya budaya, perdamaian, terus juga keberagaman sampai toleransi di Sumbawa. Misalnya nih kaya “Joki Kecil” dan “Harmoni di Tanah Sumbawa”. Kenapa sih Mbak merasa penting untuk mengangkat toleransi dan juga keberagaman di masyarakat Sumbawa? |
||
2:22-4:00 | Yuli
Oke terima kasih Mbak, pertamanya sih saya berpikir bahwa keragaman dan toleransi itu adalah dua hal yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Terus dua hal tersebut juga menjadi salah satu kekuatan kita sebagai sebuah bangsa. Itu kenapa saya tuh sering sekali mengangkat dua tema tentang hal itu di dalam film dokumenter maupun kegiatan seni yang ada. Nah, kemudian juga ada satu momen yang tahun 2013 itu saya merasa keberagaman dan toleransi kita kok terusik dalam hal ini, contohnya di Sumbawa. Pada saat itu tanpa terduga terjadi kayak semacam konflik antaretnis di sana. Itu yang kemudian membuat saya mempertanyakan lagi, “Apakah benar kita itu sudah punya rasa toleransi yang tinggi, atau apakah benar kita sudah menerima hidup berdampingan dengan etnis lain atau agama lain dengan damai?” Nah, pada saat itu kemudian karena ada pencetusnya, konflik ini yang terjadi di Sumbawa yang nggak pernah terduga, akhirnya itu yang membuat saya kemudian mencoba mencari cara untuk mempertanyakan lagi. Nah, salah satu caranya itu dengan medium seni, seperti itu. Jadi toleransi dan keberagaman ini sendiri menjadi salah satu konten yang ingin kita bangun gitu untuk dipromosikan lagi konten tersebut ke generasi yang lebih muda. Itu sih alasan pertamanya. |
||
4:00-4:16 | Naomi
Baik, nah tapi kalau pas Mbak Yuli ini punya ide karya seni terus ingin mewujudkannya, banyak banget dong tantangannya ya Mbak ya. Salah satunya tuh mencari dukungan dana. Selama ini jalur yang ada seperti apa Mbak dan kesulitan-kesulitan apa aja yang sering Mbak temui? |
||
4:16-7:44 | Yuli
Dana itu menurut saya menjadi salah satu hal yang krusial di dalam kesenian kegiatan kesenian. Sebelum saya balik kampung ini istilahnya ya, sebelum saya pulang ke Sumbawa itu saya pernah tinggal selama 10 tahun lebih di Yogyakarta. Jadi saya kuliah di Yogyakarta terus kemudian tinggal di Yogyakarta setelah lulus kuliah, dan saya sempat bekerja di beberapa lembaga seni. Saya sempat bergabung di KUNCI Study Centre sempet disana, terus juga berkaitan dengan beberapa lembaga kesenian seperti Yayasan Seni Cemeti dulu, sekarang menjadi IVVA terus ada beberapa kegiatan, dan jadi saya cukup kenal dengan seniman disana. Nah, saya tuh kok ya merasa pendanaan di Yogya itu mungkin sudah cukup lebih maju gitu yah daripada di daerah kayak di Sumbawa. Dan ketika saya balik kampung lagi, hal pertama yang agak susah untuk dibangun itu adalah bagaimana caranya membuat suatu mekanisme atau infrastruktur yang bisa menciptakan agar seni itu bisa cukup sustain berkelanjutan di Sumbawa. Di Sumbawa sendiri kan pelaku seninya banyak, terutama seni tradisi. Hal-hal yang diangkat itu pun sangat menarik sebetulnya karena berkaitan dengan konten lokal, berkaitan dengan filosofi maupun pengetahuan lokal. Nah, salah satunya tuh di Sumbawa ada semacam tradisi lisan yang mempromosikan kedamaian itu ada. Sebelum saya riset tentang “Harmoni di Tana Samawa” itu ada beberapa pantun-pantun pendek, atau ada beberapa nyanyian-nyanyian, atau kaya semacam mantra. Kalau di Sumbawa itu namanya “lawas”. Nah lawas itu tuh kayak pantun pendek yang menceritakan tentang perdamaian, nilai-nilai perdamaian, dan itu kayak tradisi lisan yang disetiap kesempatan sering sekali ditampilkan seperti itu. Nah, tapi karena tidak terlalu banyak event, tidak terlalu banyak kesempatan untuk tampil karena alasan dan tentunya pendanaan menjadi alasan yang pertama, akhirnya seni-seni itu perlahan-perlahan jarang sekali dipentaskan. Kenapa kemudian saya salah satunya sering mencari cara untuk mendapatkan dana untuk melakukan kegiatan kesenian di Sumbawa, terutama dana dari luar Sumbawa sendiri. Karena di Sumbawa sendiri tuh belum banyak dukungan-dukungan untuk kegiatan seni. Jadi mungkin kalau misalnya kegiatan-kegiatannya bersifat seremonial pemerintahan banyak, misalnya ulang tahun Kabupaten kemudian orang itu pakai baju berdandan baju adat yaitu setiap tahun ada,tapi bagaimana cara pemerintah mendukung untuk sebuah proses kesenian yang menjadi bagian dari salah satu bagian penting dari kehidupan masyarakat maupun sebagai upaya pemberdayaan buat masyarakat lokal di Sumbawa itu masih sangat jarang. Jadi, kita perlu mencari cara sendiri. Saya sering sekali misalnya dapet kontak dari teman-teman, “Nih ada kesempatan nih, kamu bisa ajukan hibah.” Dana-dana hibah seni seperti yang telah dilakukan oleh Yayasan Kelola buat kami di daerah itu sangat penting. Karena tidak banyak lembaga-lembaga yang juga concern terhadap kesenian terutama pendanaannya. |
||
7:44-7:58 | Naomi
Tapi kalau untuk perjalanan yang membawa Mbak Yuli ini yang berinteraksi dengan Yayasan Kelola ya Mbak ya, yang nyalurin filantropi dari sejumlah perusahaan kepada para seniman. Mbak Yuli mendaftar seleksi Cipta Hibah Perdamaian Yayasan Kelola itu prosesnya seperti apa? |
||
7:58-9:50 | Yuli
Kita berangkat itu, sebenarnya bagaimana sih caranya kita saya dan komunitas anak muda yang ada di Sumbawa berkontribusi untuk (menjadikan) level eskalasi tensi konfliknya tuh gak terlalu tinggi. Pada saat itu menurut saya karena sasarannya waktu itu adalah anak muda, seni itu bisa menjadi salah satu cara untuk merangkul lagi komunitas, mempersatukan lagi komunitas dan menciptakan dialog untuk coba menyelesaikan persoalan yang ada. Ini yang menurut saya adalah dampak pemberdayaan dari kesenian yang selama ini mungkin kalau di Indonesia tuh juga belum terpikir sampai kesitu. Karena seni di Indonesia sih saya berpikir orang-orang masih menganggapnya sebagai hiburan semata gitu ya. Itu tuh dananya digunakan sebenarnya pada tataran mengembangkan operasional kegiatan, sama kalau fee dan lain-lain kita tidak memprioritaskan karena gimana mewujudkan kegiatan itu yang lebih penting. Kita waktu itu kan memakai beberapa form kesenian, misalnya toleransi itu ada teman-teman anak muda yang meresponnya dalam bentuk teater misalnya, terus ada yang meresponnya dengan film dokumenter, ada yang meresponnya dengan instalasi visual art. Dari beberapa kesenian yang ada untuk kegiatan teater, karena teater itu kan setiap hari latihan, gitu kan. Setiap hari ada pertemuan dan lain-lain, terus dokumenter juga untuk riset, untuk wawancara, di beberapa lokasi itu kan dana operasionalnya disitu. |
||
9:50-10:07 | Naomi
Baik Mbak Yuli. Nah aku mau tanya nih dengan Mbak Sophia, hallo Mbak Sophia! Iya, Mbak Sophia kan bekerja di PricewaterhouseCoopers (PwC), kantor akuntan publik, nah gimana sih Mbak, ceritanya Mbak Sophia menyumbangkan pengetahuannya deh dengan kawan-kawan seniman? |
||
10:07-11:13 | Sophia
Jadi asal-muasalnya sih mulai terlibat semenjak keluarnya PP 93 (tahun 2010) mengenai sumbangan yang dijayakan oleh perusahaan untuk dalam menghitung kewajiban pajak di akhir tahunnya. Nah, jenis-jenis sumbangannya, semenjak PP 93 ada ekspansi itu. Jadi definisinya pendidikan itu udah gak sempit hanya pendidikan yang formal, baru pendidikan seni budaya itu juga ada disitu. Pertama gini, perusahaan sih don’t mind gitu ya untuk yang namanya mereka pasti kan ada selalu ada PSR segala macem gitu kan. Nah, tapi the first thing we have to manage adalah lebih ke arah teman-teman senimannya mesti siap secara administrasinya, apakah selama ini mereka tidak melakukan administrasi perpajakan, misalnya memperoleh NPWP, atau udah pernah lapor pajak gitu ya. Pengen sosialisasi ke temen-temen karena syaratnya di peraturan tersebut lebih ke arah si penerima donasinya itu harus berbadan hukum di Indonesia, harus memiliki NPWP. |
||
11:13-11:22 | Naomi
Tapi alasan Mbak Sophia sendiri ngebagiin pengetahuan itu ke seniman pula, dan padahal konsultan pajak itu kan biasanya kan lumayan mahal kan ya tarifnya. Nah itu gimana tuh mba? |
||
11:22-11:59 | Sophia
Aku ambil pendidikan fotografi di Galeri Foto Jurnalistik Antara angkatan 18. Aku sebenernya itu, aku nggak bilang aku seniman yang seperti Mbak Yuli banget gitu kan, nggak. Tapi, I do love arts. Temen-temen suka (tanya) setiap tahun, “gimana cara isi SPP ya?” Ngerti sih aku tiap tahun lupa, orang tiap tahun cuma ngisi sekali gitu kan ya. Jadi ya gitu deh, karena itulah jadi sering bantu temen-temen lah. |
||
11:59-12:22 | Naomi
Nah ini Mbak, dua pihak yang perlu saling dukung untuk menjaga ekosistem seni kan adalah perusahaan ya, dan juga pekerja atau organisasi seni. Dari 2010 kita udah ada peraturan yang kasih insentif pengurangan pajak kan ya, untuk perusahaan yang menyumbang, untuk kegiatan seni lah. Itu bener gak sih kayak gitu atau seperti apa penerapan dan bentuk sesungguhnya? |
||
12:22-14:47 | Sophia
Bener seperti itu. Nah pada kenyataanya adalah belum terlalu banyak perusahaan yang terlalu melek untuk memilih seni sebagai goals mereka sebagai CSR gitu yah. Itu juga (edukasi) yang harus terus-menerus dilakukan kepada perusahaan. Kita masih negara berkembang lah ya, kita masih butuh uang untuk menghidupi negara dan sebagai jaring-jaring pengaman sosial juga. Nah tapi pemerintah pun juga tidak kasat mata juga tetep memberikan fasilitas. Sebenarnya facility is there. Pemerintahnya yang satu sendiri lebih menggaung-gaungkan juga kepada industri, selain ke teman-teman yang berhak seperti misalnya teman-teman seniman. Kayak pandemi ini sebenarnya buat galeri seni, dan EO itu tuh bahkan bisa “you see light from this opportunities”. Mereka selama ini tuh fokusnya, mungkin mereka juga terbatas ruang geraknya. Mereka apa lagi kan we can say, pemerintah mungkin ada kasihan, mereka kan lebih gede gitu kan ya. Udah gitu harus ada pengetahuan lebih di segala macam di saat yang serba tiba-tiba ini kan. Aku ngerti sih mereka kan selama ini ya hanya satu sisi wajib pajak yang terdaftar di kantor pajaknya mereka gitu. Mereka belum bisa menjangkau wider impact ke mungkin teman-teman seniman lain, atau ke temen-temen kantong-kantong di daerah, itu satu dari sisi penerima donasinya. Terus dari sisi pemberinya, si perusahaan saat ini pasti akan pikir menyelamatkan sendiri dulu dan mereka fokus memanfaatkan fasilitas yang relevan ke dirinya sendiri. Misalnya kayak diskon cicilan PPh badan, diskon PPh karyawannya ditanggung pemerintahnya. Justru kalau menurut aku justru sebenarnya mungkin ini malah opportunity buat temen-temen seniman juga untuk, mereka pertama harus bisa utilize juga ke diri mereka sendiri, kemudian mereka juga bisa create communication dengan pemain bisnis bahwa, “oke, ini sudah new normal, mungkin kalau kalian masih consider ada CSR lain, kami bisa kok.” Seniman adalah penolong kita supaya tetap waras gak sih di masa pandemi ini, iya nggak Mbak Yuli? Nah maksud aku tuh kalian bisa pakai that kind of point gitu ke pelaku bisnis. |
||
14:47-15:04 | Naomi
Nah, kita sudah tau peran besar semuanya nih untuk filantropi tuh untuk hidup seniman juga karyanya dan juga gimana sektor corporate bisa ikut-ikutan mendukung sebuah inisiatif seni juga. Kalau kita sebagai individu bisa juga nggak ya? Kita akan lanjut lagi setelah break. |
||
15:04-16:54 | Apakah kamu tahu soal Papermoon Puppet Theatre, teater boneka yang sudah pentas di penjuru Indonesia dan dunia? Mereka menjalin hubungan erat dengan penontonnya, yang bisa dibilang filantrop seni juga.
Salah satunya adalah Valentine Willie, pengacara kawakan dari negeri jiran Malaysia yang kemudian jadi kolektor seni, dan kini mengelola Ilham Gallery, ruang seni publik di Kuala Lumpur. Bentuk dukungannya untuk Papermoon beragam, mulai dari memberangkatkan mereka untuk residensi di Manila, sampai menyediakan tempat tinggal di Ubud agar bisa pentas di Ubud Writers and Readers Festival. Apa ya sebabnya dia mau mendukung Papermoon seperti itu? Valentine sempat bercerita pada Koalisi Seni, dia membantu Papermoon karena dua hal: karya mereka membuatnya bahagia, dan ia ingin menunjukkan kebahagiaan yang dibawa Papermoon itu kepada lebih banyak orang. Nah, kalau seni membuatmu bahagia, yuk jadi filantrop juga untuk membahagiakan lebih banyak orang! Dana dari filantrop untuk seniman sangat penting , karena belum banyak lembaga yang membantu. Bentuk filantropi bisa beragam: dana, pengetahuan, jejaring, maupun ruang. Bantuan filantrop tentunya membantu meningkatkan kemampuan seniman, sehingga seni bisa makin berkontribusi merekatkan komunitasnya agar saling kenal, damai, dan toleran. Selain itu, seni terbukti membantu kita jadi lebih bahagia dan bertahan di tengah pandemi. Jadi, ini saatnya kita membantu ekosistem seni. Mau tahu lebih lanjut? Unduh bukunya di koalisiseni.or.id. |
||
16:54-17:17 | Naomi
Hallo, we’re back. Ini adalah kerja sama Koalisi Seni dan Filantropi Indonesia dengan KBR. Saya Naomi Liandra. Sekarang saya mau tanya lagi ke Mbak Yuli. Mbak Yuli sekarang kan kuliah Program Master ya tentang Perdamaian dan Konflik di Warsawa, Polandia. Keren nggak tuh? Nah, Menurut Mbak Yuli seberapa besar sih pernah Hibah Cipta Perdamaian ini membuka jalan untuk ke sana? |
||
17:17-19:21 | Yuli
Jadi tahun 2018 Oktober itu saya ikut beasiswa pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, jadi provinsi NTB Gubernurnya Pak Dr. Zulkieflimansyah sekarang ini kan punya program unggulan, salah satunya adalah menyekolahkan anak muda NTB ke luar negeri. Saya mencoba mendaftar di program tersebut dan keterima. Pada saat itu yang buka jurusannya adalah International Relation, kemudian ada International Peace and Conflict Studies sama satu lagi itu Manajemen Bisnis Internasional. Nah saya mencari yang ada kaitannya dengan background saya seperti itu. Salah satunya itu adalah International Peace and Conflict Studies, karena baru sebelum beberapa bulan sebelum saya berangkat kuliah itu saya masih mengurus kegiatan seni juga. Kegiatan hibah pertama perdamaian 2018 yang kami juga dapat dananya dari Yayasan Kelola, itu judulnya “Simponi Cinta untuk Sumbawa” sekali lagi temanya juga tentang toleransi lagi dan keberagaman. Karena ada kaitannya, akhirnya saya berpikir saya mengambil jurusan Peace and Conflict Studies karena mungkin saya dapat sesuatu. Akhirnya mungkin di Hibah Cipta itu kan saya pelajari mediumnya ya, seni untuk konten perdamaian untuk mempromosikan perdamaian. Nah ketika di kuliah yang dipelajari akhirnya kontennya kan, perdamaian dulu, peace building nya dulu. Baru kemudian seni adalah salah satu cara, salah satu approach, salah satu pendekatan dalam peace building ini. Itu sih sebenarnya kalau dilihat dari kaitannya seperti itu dengan studi saya saat ini. |
||
19:21-19:27 | Naomi
Nah apa sih Mbak, manfaat dari belajar di sana, untuk Mbak Yuli dan juga Sumbawa sendiri? |
||
19:27-21:39 | Yuli
Kalau manfaatnya sih, ini kan udah semester terakhir lah di kampus saya, ini saya sedang menyusun tesis juga tentang “Seni dalam Memberikan Perdamaian,” studi kasusnya di Indonesia. Case study yang spesifik diambil adalah proyek seni teman-teman di Ambon, juga didanai oleh Hibah Cipta Perdamaian 2018, judulnya “Ambon Artwork.” Nah itu yang menjadi case study saya, tapi sebenarnya dari situ saya mempelajari sebenarnya bagaimana sih dunia kesenian di Indonesia itu berkontribusi untuk peace building. Jadi misalnya, beberapa contoh yang saya lihat dari teman-teman, dari penerima Hibah Cipta Perdamaian itu rata-rata seniman di Indonesia ingin berkontribusi melalui kesenian untuk komunitas terdekat mereka. Misalnya, saya di Sumbawa untuk teman-teman Sumbawa, teman-teman di Ambon juga untuk komunitas terdekatnya seperti itu. Nah kesenian di sini kan akhirnya bisa dipakai jadi alat, untuk pembagunan perdamaian, untuk menyatukan lagi masyarakat yang terpecah karena konflik, membangun lagi dialog, terus untuk berproses bersama dengan kesenian, untuk mempertahankan proses kesenian yang lebih berkelanjutan. Kaitannya dengan studi saya itu benar-benar sangat banyak di luar negri sendiri karena dia punya, International Organization juga memakai seni kemudian untuk mendekati perdamaian. Jadi dana-dana tentang pembangunan perdamaian melalui seni itu juga mulai banyak didukung dari International Organization ini. Saya juga akhirnya jadi dapat beberapa gitu ya. Mungkin nanti kalau ada ide, seandainya saya balik lagi ke Indonesia, seandainya saya pulang setelah menyelesaikan studi ini ya mungkin ada beberapa ide yang bisa diterapkan. Tentu saja dengan menyesuaikan dengan kondisi yang ada di Indonesia, seperti itu. |
||
21:39-22:25 | Naomi
Wow, mantap ya! Tadi Mbak Yuli sudah menceritakan beberapa hal yang bisa di bilang berbagi pengalaman juga, di mana seni itu juga bisa untuk kita sebagai individu itu juga bisa menyuarakan dampak seni yang beragam ya kan? Nah mudah-mudahan nanti ide-ide yang nanti Mbak Yuli akan berikan juga bisa kita contoh dan kita tiru ya. Mau nanya juga sama Mbak Sophia lagi nih, ada studi di 11 kota ya oleh PIRAC di tahun 2007 bilang kalau cuma 3% responden yang nyumbang untuk seni. Padahal katanya sih orang Indonesia itu kan dermawan, nah tapi dari World Giving Index 2019 juga bisa dibilang, kenapa nggak banyak orang sih yang nyumbang untuk seni gitu loh? |
||
22:25-23:40 | Sophia
Tadi Mbak Yuli kasih contoh kalau kita mungkin lebih berbondong-bondong kalau udah hubungannya dengan keagamaan, sumbangan. Nah tapi kalau seni yaa, tapi gini deh menurut aku malah justru kaya jaman konser-konser virtual saat ini gitu menurutku sangat berguna banget, justru harusnya tuh itu mungkin bisa menjadi senjata juga buat pemerintah bahwa seniman masih tetap bisa hidup dengan menjual tiket dan ini tuh dihargai oleh masyarakat, bahkan mereka membeli tiket gitu kan walaupun padahal ini jarak jauh gitu kan. Maksudku adalah apakah yang kaya gini tuh bisa juga regulasinya diarahkan menjadi donasi. Nah itu juga makanya bincang-bincang dengan kebijakan itu penting jadinya buat seniman begitu, jangan seniman tuh terima jadi “oh udah deh segitu doang”. Kalau bicara tentang industri Mbak Yuli tau sendiri, industri yang sexy kayak sawit, rokok itu kan peraturan bisa sesuailah dengan kondisi di sekitar mereka. Nah kenapa untuk seniman tuh (tidak) disesuaikan juga untuk kondisinya gitu harusnya itu makanya aku mendorong Mbak Linda, Mbak Yuli, untuk coba memulai diskusi dengan para pembuat kebijakan. |
||
23:40-23:54 | Naomi
Padahal Indonesia itu kan banyak orang hebat yang pengetahuannya bisa jadi penting lah untuk ngebantu perkembangan ekosistem seni gitu kan. Menurut Mbak Sophia sendiri ini gimana supaya mereka itu bisa tergerak nyumbangin pengetahuannya itu? |
||
23:54-24:49 | Sophia
Kayaknya aku kemarin sempat melihat Mbak Ika Vantiani ya, (seniman) kolase, sempet ada diskusi dengan Fakultas Hukum UI untuk mengenal lebih ke arah royaltinya, lebih ke arah asetnya mereka. Menurut aku tuh, dan yang aku tau ada beberapa lawyers yang terlibat. Sebenernya sih kalau temen-temen apalagi di masa ini ya pasti kan yang namanya financial information sudah sangat education and information sudah pasti menyebar, zaman sekarang itu mudah mendapat informasi mengenai financial, education, atau legal gitu. Ya ini tinggal kumpulin aja, mungkin aku rasa selain aku banyak sekali temen-teman akuntan yang juga turut membantu, cuma ini karena aku deketnya dengan temen-teman Koalisi, ya udah. Tapi aku rasa in practice banyak kok di kantornya mereka masing-masing. |
||
24:49-24:57 | Naomi
Nah sebagai penutup ada yang ingin disampaikan mungkin dari Mbak Sophia atau Mbak Yuli? |
||
24:57-25:04 | Sophia
Mbak Yuli, Ini justru challenge TikTok gitu yah? |
||
25:04-30:09 | Yuli
Kalau saya sih dengan adanya ide bagaimana masyarakat lebih berkontribusi dalam kesenian itu, sebenarnya saya lebih melihat bagaimana kita mencoba – bukan mengubah mindset sih, tapi lebih ke meyakinkan masyarakat – bahwa kesenian itu adalah salah satu hal yang sebenarnya penting bagi kehidupan kita, bisa membangun kemanusiaan kita, bisa menyatukan kita sebagai komunitas, sehingga kita bisa bersama-sama berkontribusi melalui kesenian. Misalnya pengalaman yang kami lakukan di komunitas, itu kan sebenarnya masyarakat bisa mengekspresikan dan mengungkapkan bahwa kesenian itu penting. Kayak misal setelah pertunjukan itu kita lebih bisa mendengarkan komentar-komentar mereka. Waktu itu “Harmoni di Tana Samawa” kita iseng membuat survei kecil-kecilan gitu ya tentang penonton. “Sebenarnya apa yang kamu butuhkan?” “Apa yang kamu manfaatkan menonton acara ini?”, “Apa pesan perdamaian yang ingin dibawa oleh acara ini?” sampai terus, “Apa form seni yang paling melekat?” Kaya waktu itu kan ada 3 jenis kesenian: ada dokumenter, teater, ada audio project, ada fotografi. Nah, apa yang membuat kamu tuh merasa sangat tersentuh atau paling mendapatkan pesan itu dari pertunjukan seni yang mana? Jadi kita itu juga bisa melihat apa yang menjadi ketertarikan masyarakat. Pada waktu itu teater yang (dianggap) paling punya dampak, karena menurut mereka, mereka seolah-olah merasa terlibat penonton teater. Karena kita mempertunjukan teater dengan konsep teater arena. Teater arena itu kita gak pentas di panggung, tapi penonton dengan pemainnya berbaur. Jadi penonton bisa dekat dengan seniman yang tampil sehingga, mereka merasa dilibatkan jadi ada interaksi langsung, jadi ada interaktifnya, itu juga merasa bahwa saya juga bisa mengekspresikan apa yang saya ingin ungkapkan. Misalnya ada pemain teater yang saat itu menanyakan “Sebenarnya toleransi menurut kamu itu apa?” langsung ke penonton. Jadi penonton pada saat itu juga bisa langsung berkomunikasi menjadi bagian bagian dari pertunjukan itu sendiri. Nah ini yang menurut saya dalam hal ini kan mereka bisa memperlihatkan kontribusinya dengan berpendapat. Kenapa nggak kita coba mengetuk, kalau mereka merasa penting kesenian itu buat mereka, seharusnya ada hal-hal yang bisa mereka support juga. Karena kesenian itu kan juga butuh dana operasional dan itu kan yang paling penting lagi. Sebenarnya mungkin masyarakat masih berfikir bahwa dana kesenian itu untung buat senimannya aja, tapi kan tidak seperti itu sebenarnya. Kalau kita buat proyek kolaboratif yang melibatkan masyarakat atau proyek bersama-sama dalam komunitas, kesenian bukan lagi tunggal. Senimannya gagasannya mungkin bisa, katakanlah “Samawa” itu ide saya, saya individu, tapi ketika itu sudah menjadi kegiatan bersama-sama itu menjadi kegiatan kolektif. Bukan lagi saya yang punya mimpi tapi masyarakat, komunitas punya mimpi bersama melalui seni mereka mewujudkan. Menurut saya, bagaimana mencoba meyakinkan masyarakat mereka juga berkontribusi, berproses, membangun komunitas yang lebih baik bisa membangun kemanusiaan yang lebih baik sehingga keberagaman, hidup bersama, saling menghargai bisa tercapai melalui kesenian ini dan dampaknya nggak langsung bisa dirasakan ketika kesenian selesai pada malam itu. Pada saat setelah dipentaskan, dia bisa berdampak beberapa saat (kemudian) ada keinginan lagi untuk melahirkan satu bentuk kesenian. Itu kan juga sudah menjadi dampak bahwa seni itu sudah menjadi kebutuhan dan sudah dirasakan menjadi bagian dari alat untuk pemberdayaan membangun kemanusiaan dari komunitas itu. Ini sih yang menurut saya yang mungkin bisa coba kita lakukan bersama-sama di Indonesia. |
30:09-30:12 | Naomi
Kalau Mbak Sophia gimana? |
30:12-30:40 | Sophia
Karena, iya sih melibatkan emosi audiens tuh collective work gitu ya mba. Jadi audiens juga merasa memiliki kontribusi atas seni ini, jadi mereka mereka bayar tiket juga whatsoever. Mereka terlibat kok dalam penciptaan ide besarnya gitu. |
30:40-32:22 | Yuli
Nah satu lagi kan, kalau beberapa tahun lalu kan teman-teman komunitas film juga ada mekanisme crowdfunding gitu kan untuk lahirnya sebuah film. Kalau ada beberapa film indonesia yang diwujudkan dalam mekanisme tersebut, nah itu juga bisa salah satu cara mungkin bisa diadopsi dengan kesenian yang lain. Teater misal seperti apa, seni tradisi seperti apa karena mungkin saya kalau kita menyasar anak muda mereka kan juga pengemasan dan cara kita mengajak mereka untuk kontribusi juga menjadi penting kaya misal temen-temen di crowfdund film. Mereka ada beberapa paket yg bisa di-support, dari beberapa paket nanti reward apa yang bisa dipakai misalnya namanya dicantumkan di credit title film misalnya, terus kemudian mereka dapat tiket perdana. Jadi kesenian juga bisa mengadaptasi atau mengadopsi mekanisme seperti itu. Kalau anak muda mereka mau juga kan ada band yang mereka suka dan mereka merasa “Wah saya juga turut berkontribusi melahirkan album” dari bandnya ini, band kesukaannya. Jadi ada yang bisa, dari sisi emosi tadi yang bisa dirangkul, disatukan jadi menghasilkan karya bersama-sama. |
32:22-32:26 | Naomi
Pokoknya caranya beragam, tujuannya satu menyatukan hati melalui ekspresi seni ya Mbak ya? |
32:26-32:28 | Yuli
Iya seperti itu. |
32:28-32:44 | Naomi
Oke, terima kasih untuk Mbak Yuli dan Mbak Sophia untuk waktunya untuk ngobrol seru dan luar biasa di hari ini, nanti kita ngobrol-ngobrol lagi di Ruang Usik-Usik ya. |
32:44-32:45 | Sophie
Iya, terima kasih. |
32:45-32:46 | Yuli
Terima kasih juga sudah diundang. |
32:46-selesai | Naomi
Jangan lupa, episode ini dan juga buku Seni Memberi untuk Seni adalah hasil kerja sama Koalisi Seni dan Filantropi Indonesia. Bukunya bisa kamu unduh gratis di filantropi.or.id dan koalisiseni.or.id. Naomi Lyandra pamit dulu! |