Jakarta – Salah satu gagasan di balik pembentukan Koalisi Seni adalah agar anggota memiliki daya tawar dengan berjejaring dan memperjuangkan tujuan bersama. Agar dampaknya juga berlipat ganda, Koalisi Seni juga perlu membagikan metode-metode advokasi ke seniman sebagai aktor penggerak di daerah.
Maka, pada Desember 2018 Koalisi Seni bekerja sama dengan Sekolah Tinggi Hukum Jentera menguji coba Kelas Advokasi Kebijakan Seni Indonesia (AKSI). 12 anggota Koalisi Seni dari berbagai daerah menjadi peserta uji coba tersebut.
Sepanjang empat hari di Jakarta, para seniman yang menghadiri kelas AKSI mempelajari kerangka berpikir dan strategi advokasi kebijakan publik. Pengetahuan tersebut lantas dibahas dalam konteks kasus-kasus kebijakan seni budaya, seperti membuka akses terhadap infrastruktur kesenian dan ruang publik untuk kegiatan seni.
Di akhir kelas, para peserta memberi tanggapan terhadap proses yang mereka alami.
Ika Vantiani, misalnya, berpendapat Kelas AKSI melebihi ekspektasinya dan penggunaan graphic recording memudahkan peserta untuk berbagi materi pembelajaran ke publik. “Tapi, materinya banyak sekali, jadi kami seperti dibombardir. Fasilitator juga perlu memastikan agar semua peserta berpartisipasi aktif dan saling mendengarkan,” tuturnya.
Purnama Sari Pelupessy, akrab dipanggil Qory, menyarankan materi juga membahas soal cara menganalisis situasi politik serta contoh keberhasilan advokasi di sektor seni.
Sedangkan Vincent Rumahloine dari Common Room mengapresiasi banyaknya materi bahasan yang bisa diterapkan. Seperti Ika, ia juga menyarankan pembagian waktu dalam kelas diatur agar tak terlalu padat.
Masukan mereka amatlah penting untuk meningkatkan kualitas Kelas AKSI.
Tahun ini, Kelas AKSI direncanakan bakal diadakan sebanyak dua kali. Informasi lebih lanjut akan diumumkan melalui website dan media sosial Koalisi Seni. (Ratri Ninditya dan Bunga Manggiasih)