Rizky Sasono, University of Pittsburgh
Gejolak resistansi atas Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan yang kontroversial sempat mengalami masa tenang ketika sang penggagas, musisi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Anang Hermansyah, tunduk pada tekanan para musisi yang menolak RUU tersebut dan berjanji akan membatalkan pengesahannya.
Namun tampaknya draft baru yang disusun tanggal 20 Februari kemarin dengan mengakomodir kritik dari para musisi tetap bermasalah. Draft terbaru ini akan tetap dirapatkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR sebagai RUU yang akan disahkan.
Kembali saya teringat ketika pembahasan RUU tersebut sedang panas-panasnya di media dan masyarakat, seorang teman penyelenggara pertunjukan musik berkomentar “Are they trolling on us?” ujarnya dalam bahasa Inggris yang bisa diartikan: “Apakah DPR ini sedang ngerjain kita?”
Setelah membaca draft RUU Permusikan, saya sebagai pelaku dan peneliti musik melihat perlunya draft ini untuk dibatalkan dan selanjutnya dikaji ulang jika memang diperlukan. Selain alasan yang dipakai para penggagas RUU ini lemah, perspektif musik yang digunakan dalam RUU ini juga kurang mengikuti perkembangan yang ada dalam masyarakat.
RUU Permusikan gagal memahami musik
Memang ada perubahan dalam draft terbaru RUU Permusikan. Perubahan terlihat pada melunaknya pasal-pasal tertentu. Dalam draft terbaru, pasal yang mengatur larangan-larangan dalam proses kreasi yang dikhawatirkan dapat dijadikan pasal karet untuk menekan kekebabasan berekspresi telah dihapus. Selain itu pasal mengenai pendataan musik yang mengacu dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
Namun tetap saja, seluruh pasal dalam RUU Permusikan menganggap musik sebagai objek semata. Musik tak lain diukur dengan nominal dan kualitas tertentu, bahkan pelakunya pun harus melalui standar kompetensi.
Padahal musik bukan objek melainkan ekspresi yang hidup, bergerak dan berkembang
Kita bisa melihat bagaimana hal ini ditemukan pada musik di luar arus utama, mulai dari indie, underground, punk di Indonesia.
Musik-musik ini berkembang dengan menggunakan cara-cara alternatif sebagai bentuk strategi kaum urban. Bentuk strategi ini berkembang ke kota-kota kabupaten. Ranah musik ini membangun jalur distribusinya sendiri dengan menggunakan jaringan-jaringan alternatif seperti distro, kantong-kantong budaya, atau bahkan melapak ketika pentas.
Sebagai contoh, musik pop daerah seperti campur sari tak lain adalah strategi estetis dalam menyikapi teknologi dan arus derasnya budaya eklektik. Dangdut koplo, misalnya, merupakan perlawanan terhadap budaya dangdut yang dominan. Baik musik populer daerah atau dangdut koplo akan terus bergerak menciptakan sistem ekspresinya dan tata kelolanya sendiri.
Keberlangsungan hidup musik-musik ini dilengkapi dengan strategi bagaimana mengapresiasi musik tersebut. Bentuk apresiasi ini tidak terbatas pada konser atau pembuatan album semata, namun juga ke ranah sosial lain seperti pentas di hajatan dan acara keagamaan.
Oleh karena itu, meskipun berupa produk, musik bisa bersifat transendental. Dan RUU gagal memahami hal ini. Ini menjelaskan mengapa pendekatan yang digunakan dalam RUU ini sangat materialistis.
Dinamika ekspresi dalam semesta musik Indonesia ini mengindikasikan musik sebagai sebagai ekspresi yang terus bergerak, menempati berbagai ranah dalam kehidupan manusia di mana industri hanya salah satunya.
Jika melihat keberagaman estetika dan tata kelola musik di Indonesia yang memungkinkan segala jenis ranah musik hidup dengan strateginya, saya berpikir apakah UU Permusikan diperlukan jika paradigma yang dipakai masih begitu sempit dan hanya menganggap musik sebagai objek?
Naskah akademik yang bermasalah
Permasalahan pada RUU Permusikan salah satunya berakar pada penggunaan naskah akademik yang problematis.
Salah satu konsep budaya yang disebut dalam naskah itu berasal dari antropolog Inggris abad ke-19 Edward Burnett Tylor yang melihat budaya sebagai sesuatu yang asing dan eksklusif.
Padahal dalam perkembangannya, kajian akademis sudah melihat budaya sebagai sesuatu yang merupakan bagian dari aktivitas keseharian yang berada dalam masyarakat. Di ranah inilah budaya populer, seperti musik populer, menjadi fokus perhatian karena mengungkap berbagai pola hidup keseharian sebagai budaya yang hidup nyata di dalam masyarakat.
Selain perspektif yang usang, naskah akademik yang digunakan juga tidak merujuk pada tulisan asli para akademis yang dikutipnya melainkan hanya mendapatkannya dari data sekunder di laman.
Naskah tersebut juga mengutip berbagai makalah, termasuk salah satunya makalah sekelompok siswa dari sebuah Sekolah Musik Kejuruan Negeri (SMKN).
Melihat kelemahan mendasar ini muncul pertanyaan atas kompetensi penyusun naskah dalam membaca permusikan. Hal lain yang perlu kita catat adalah bagaimana sebenarnya proses Badan Keahlian DPR ketika menyusun RUU ini. Bagaimana dimensi politik ketika proses penyusunan itu berlangsung?
Kawal terus
Selama belum ada pernyataan resmi bahwa RUU Permusikan dibatalkan, kita masih perlu mengawal bersama proses RUU ini.
Draft terbaru terkesan hanya mengakomodir kecaman dan kritik dari masyarakat, tambal sulam di sana sini tanpa dasar yang kuat, tanpa ada upaya untuk mundur selangkah dan memahami semesta musik Indonesia yang beragam.
Paradigma yang dipakai RUU Permusikan masih sesat dan ini tentu akan berimbas pada usulan produk hukum yang salah kaprah.
Sebenarnya apa yang kiranya mendasari sikap keras kepala ini? Kita juga perlu bertanya siapa dan kekuatan apa yang ada di balik pembuatan RUU ini?
Karena jika RUU ini disepakati oleh DPR apa adanya, maka bukan tidak mungkin tetap akan ada badan yang mengontrol kebebasan berekspresi dalam musik lewat uji kompetensi dan sertifikasi.
Bukan tidak mungkin kemudian sistem standardisasi ini menjadi lumbung pendapatan dan alat politik bagi para anggota DPR.
Are they trolling on us?
Ariza Muthia berkontribusi dalam penerbitan artikel ini
Rizky Sasono, PhD Student Ethnomusicology, University of Pittsburgh
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.