Dari hasil rangkaian diskusi kelompok terpumpun dalam Pra Kongres Kebudayaan Indonesia, Koalisi Seni mengusulkan pemerintah untuk membenahi layanan Dana Indonesiana.
Jakarta – Gegap gempita tahun pertama pelaksanaan Dana Indonesiana bisa jadi ‘gagap gempita’ jika pemerintah tidak berbenah. Lebih dari 300 penerima yang lolos dari 1000 lebih pengirim proposal beriringan dengan banyak simpang siur yang muncul terkait kurang optimalnya tata kelola program tersebut. Dari rangkaian diskusi kelompok terpumpun yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku seni budaya secara daring maupun luring di Dumai, Pontianak, Medan, Ternate, Makassar, dan Kupang, Koalisi Seni menemukan dua hal esensial yang perlu pemerintah perbaiki. “Pertama, tata kelola informasi; kedua, sumber daya manusia,” ucap Koordinator Jejaring Koalisi Seni, Oming Putri. “Masalah-masalah tersebut menyulitkan pelaku seni budaya untuk melangkah dengan tepat dalam mengakses Dana Indonesiana.”
Rangkaian diskusi tersebut mencatat sirkulasi informasi Dana Indonesiana perlu diperbaiki. Misalnya, informasi tentang pemotongan pajak tidak tersampaikan dengan akurat, terdapat perbedaan kewajiban membayar pajak antara penerima dana pada kategori Fasilitasi Bidang Kebudayaan dengan kategori lainnya. Hal ini merupakan implikasi dari tiga sumber dana berbeda, dengan mekanismenya masing-masing, yang dikelola program Dana Indonesiana.
“Dana Indonesiana dibiayai dari tiga sumber pendanaan, yaitu APBN, Dana Abadi Kebudayaan, dan Dana Abadi Pendidikan. Perbedaan ketiga sumber dana ini berpengaruh pada pajak yang dikenakan. Ini informasi penting bagi pelaku seni budaya saat menyusun rancangan anggaran. Sayangnya, tidak ada informasi tersebut di kanal publikasi Dana Indonesiana dan Juknis,” kata Oming.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan menetapkan Juknis yang berbeda setiap tahun. Kenaikan jumlah dari 5 kategori pada tahun lalu jadi 12 kategori pada tahun ini adalah kesempatan besar bagi pelaku seni budaya, namun Juknis baru bisa diakses satu bulan sebelum tenggat pengiriman proposal. Durasi satu bulan bisa jadi batu sandungan ketika calon pengirim proposal sempat mengacu pada pengalaman penerima manfaat sebelumnya.
Selain itu, penggunaan fasilitas eRISPRO sebagai aplikasi penerima laporan yang biasa digunakan untuk pertanggungjawaban program riset yang didanai LPDP belum akrab bagi pelaku seni budaya. Penerima manfaat Dana Indonesiana diwajibkan mengirim dokumen pelaporan secara mandiri ke sana. Sayangnya, penggunaan aplikasi ini tidak didalami secara khusus dalam lokakarya yang digelar untuk para penerima manfaat.
Layanan bantuan (helpdesk) yang tersedia kurang berfungsi secara maksimal. Pelaku seni budaya yang membutuhkan informasi langsung dari penyelenggara harus menunggu sampai seminggu untuk mendapat respons. Beberapa penerima dana mengaku ketika proses administrasi mandek, lambatnya respons dari pusat bantuan bisa berakibat keterlambatan pencairan dana tahap berikutnya.Dana yang berasal dari tiga sumber berbeda membuat Dana Indonesiana bukan menjadi fokus utama tanggung jawab kementerian/lembaga terkait. LPDP yang mengelola Dana Abadi Kebudayaan dan Dana Abadi Pendidikan melimpahkan pengelolaan di Direktorat Fasilitasi Riset, sementara APBN dari Kemendikburistek meletakkannya di Ditjen Kebudayaan. “Informasi yang kami dapat menyebutkan ada empat personil Ditjen Kebudayaan yang diberi tugas mengelola layanan Dana Indonesiana,” kata Sekretaris Koalisi Seni, Aristofani Fahmi. “Jumlah ini sangat sedikit mengingat ada lebih dari 300 penerima dana yang perlu diurus,” katanya.
Bagaimanapun, Aristofani menambahkan, Dana Indonesiana adalah pemenuhan janji pemerintah dalam upaya pemajuan kebudayaan. Tahun pertama pelaksanaannya dilingkupi persoalan yang jadi pekerjaan rumah berbagai pihak. Koalisi Seni mendorong pemerintah untuk meningkatkan kualitas pengelolaan dan pelayanan Dana Indonesiana.