Izin lokasi reklamasi Teluk Benoa yang menggegerkan akhirnya berakhir pada 25 Agustus 2018. ForBALI berperan besar di balik peristiwa itu.
Oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang diajukan PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI), untuk menjalankan reklamasi Teluk Benoa, dinilai tidak layak. Pengganjalnya adalah faktor sosial budaya, yakni penolakan masyarakat Bali. Rencana reklamasi seluas 700 hektar itu pun terhenti.
Penolakan masyarakat Bali tak lepas dari upaya yang dilakukan ForBALI, atau Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi. Kabar tentang rencana reklamasi mulai santer terdengar di Denpasar pada awal 2013. Kabar ini beredar cepat di lingkar-lingkar pertemanan di kota yang terhitung kecil meski kosmopolit itu. Rudolf Dethu, penggerak skena musik indie Bali yang juga pegiat sosial politik, mendengar kabar itu dari kawannya, I Wayan Gendo Suardana, seorang aktivis WALHI. Dethu dan Gendo telah terhubung sejak 1998, ketika mereka menggagas konser musik untuk melawan rezim Soeharto.
Komunitas-komunitas di Denpasar pun mulai membentuk forum-forum kecil yang mendiskusikan isu reklamasi. Mereka menggali informasi tentang proses itu, apa tujuannya, bagaimana rencananya akan dilakukan, dan apa langkah yang bisa mereka ambil menghadapinya. Dari forum-forum itu, terbentuklah kesepakatan untuk bergerak secara lebih terarah dalam satu wadah. Berdirilah ForBALI, dengan Gendo sebagai koordinator gerakan.
Di antara musisi dan seniman yang kini terlibat di dalamnya, Nosstress dan Superman is Dead (SID) adalah dua grup musik pertama yang bergabung. Mereka kemudian turun ke jalan menggelar aksi kecil-kecilan. “Awalnya yang datang cuma 20-an orang,” ungkap Dethu, yang sendirinya pernah menjadi manajer SID ini.
Setelah berjalan dua tahun, mereka mulai membuat gerakan rutin, yaitu turun ke jalan dan mendatangi kantor Gubernur Bali. Media sosial dimanfaatkan untuk menjaring dukungan. Lambat laun ForBALI membesar hingga tiap parade budaya dihadiri oleh ribuan orang. Puncaknya pada Agustus 2018, ketika tercapai 7.000 orang yang terlibat dalam aksi. Di media sosial, telah ada 130.000 orang yang mendukung gerakan ini.
Ekspresi Dalam Parade
Ini bukan pertama kalinya Dethu merangkul musisi untuk mendukung sebuah gerakan sosial politik. Pergolakan reformasi tahun 1998, yang menjalar ke seluruh penjuru negeri, adalah yang pertama mendorong Dethu untuk bergerak. Berikutnya adalah 2008, ketika ia berusaha melawan pengesahan UU Pornografi— meski belum berhasil. Namun, berkat gerakan-gerakan itu, Dethu berhasil membentuk jaringan yang punya kesamaan visi dalam memperjuangkan keadilan dan kepentingan masyarakat umum. Modal sosial ini ia manfaatkan saat bergabung dengan ForBALI.
Dethu juga membawa satu pelajaran penting dari pengalaman-pengalamannya beberapa tahun silam. “Dulu, waktu aku melawan UU Pornografi, teman-teman musisi cuma aku undang, mereka hadir, menunjukkan dukungan atau simpati, manggung, terus pulang,” ceritanya. Beda halnya dengan ForBALI. Dalam gerakan ini, musisi bukan cuma ditampilkan untuk menarik minat massa, melainkan aktif bergerak bersama masyarakat.
“Ada yang ikut terlibat di salah satu departemen [gerakan], ada yang aktif ikut turun ke jalan setiap bulannya. Jadi, bukan sekadar manggung ketika kami bikin konser,” lanjutnya.
Menurut Dethu dan Komang Gunawarma alias Kupit, salah satu personel Nostress, yang bisa membuat ForBALI sampai sebesar sekarang adalah keterlibatan aktif para musisi. Selain Nosstress dan SID, Navicula juga bergabung. Kemudian, satu per satu kelompok musik indie Bali lainnya ikut serta. Tidak hanya mendukung lewat sosial media, mereka semua ikut turun ke jalan. Keterlibatan band-band ini disebut oleh Dethu sebagai faktor keren (“coolness factor”) yang memikat pandangan anak-anak muda Bali secara luas. Penggemar-penggemar band-band itu segera terpancing untuk ambil bagian dalam kekerenan itu.
“Mereka ini awalnya cuma jadi penonton, tapi lalu lama-lama rutin ikut aksi,” Kupit bercerita. Kabarnya memang tak sedikit di kalangan para penggemar yang sebenarnya hanya ikut-ikutan supaya terlihat keren. Namun, lama-lama mereka gerah sendiri karena mulai ada yang nyinyir dengan tindakan ikut-ikutan mereka. Perlahan mereka belajar tentang apa itu reklamasi dan dampak buruknya bagi lingkungan.
Sejak awal bergulirnya wacana, reklamasi memang sebenarnya sudah menggelisahkan warga Bali pada umumnya. Akan tetapi, kala itu kebanyakan orang belum tahu bahwa mereka bisa bergerak bersama untuk menolak rencana tersebut. ForBALI kemudian menjadi wadah bersama dan pemantik semangat masyarakat. Pemilihan seni sebagai media berekspresi membuat maksud dan tujuan gerakan sekaligus informasi seputar reklamasi menjadi lebih mudah diserap berbagai kalangan.
Nosstress menciptakan satu lagu yang kemudian menjadi mars gerakan ini. Judulnya “Bali Tolak Reklamasi”. Bait demi bait liriknya dengan gamblang menjelaskan polemik seputar reklamasi Tanjung Benoa dan mengapa mereka melawan lewat ForBALI.
“Kalau dulu kan, aktivis turun ke jalan itu citranya seram dan mengerikan,” kata Kupit. “Tapi kalau aksi turun ke jalannya ForBALI ini santai sekali. Karena kami lebih menggunakan istilah ‘parade budaya’ daripada ‘aksi’,” lanjutnya.
Para penggemar musik yang ikut turun ke jalan, menurut Dethu, juga menjadi salah satu faktor pencair suasana parade. “Mereka selfie dengan musisi. Wajah seram yang biasanya lekat dengan gerakan turun ke jalan lalu berubah menjadi lebih cair dan lebih sejuk,” tuturnya.
Diceritakan Dethu, saat parade berlangsung, biasanya Navicula berada di depan barisan, diikuti Nosstress di bagian belakang. Bersama-sama mereka memainkan gitar dan bernyanyi. Parade berujung pada panggung sederhana yang didirikan di depan kantor Gubernur Bali. Setibanya di sana, band-band peserta parade bergantian mengisi panggung, masing-masing membawakan empat sampai lima lagu. “Hampir semua band yang dipandang keren di Bali pernah manggung di panggung depan kantor Gubernur itu,” ujar Dethu.
Meski demikian, ForBALI tidak mengeksklusifkan diri pada penyaluran ekspresi dalam format musik saja. “Parade budaya isinya disumbang oleh siapa saja yang ikut,” tegas Kupit. Bentuknya pun beragam, tergantung keinginan partisipan gerakan.
Pada Agustus 2018, setelah izin PT TWBI berakhir, parade menampilkan dramatisasi legenda Barong dan Rangda. Pertunjukan ini ditampilkan sebagai simbol kemenangan rakyat atas rencana reklamasi yang dianggap merusak lingkungan. Enam orang penampil menekan keris ke dada, meluapkan sukacita setelah berhasil menaklukkan Rangda, yang seolah menggambarkan kerakusan para investor. Barong pun muncul, menari untuk semesta sebagai sumber kebajikan.
Semangat warga yang bersatu lewat seni dirasakan juga oleh mereka yang tidak sedang berada di Bali. Seorang seniman mural asal Nusa Penida yang sedang bermukim di Yunani, Wayan Dania, atau WD alias Wild Drawing, tak ketinggalan menumpahkan ekspresi penolakannya di Athena. Sebidang tembok di kampus Politechniopoli Athena, Yunani, dimanfaatkannya untuk menggambar mural. Di sudut atas kanan, ia tuliskan “Bali Tolak Reklamasi”.
Ada pula yang tidak secara langsung mengangkat reklamasi, tapi terinspirasi darinya. Kupit mengambil contoh karya-karya perupa Made Bayak, yang menggunakan media limbah plastik untuk mengangkat isu lingkungan di Bali. Saat berpameran di luar negeri, Made Bayak selalu mengangkat isu reklamasi yang bergolak di kampung halamannya.
Restu Masyarakat Luas
Meski sudah bisa bersatu menyuarakan penolakan hingga membuat rencana reklamasi Tanjung Benoa terhenti, perjuangan masyarakat Bali belum selesai. Ancaman reklamasi tetap ada di depan mata dengan masih berlakunya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014. Perpres yang mengatur tentang rencana tata ruang ini bukan cuma mencakup kawasan Denpasar, melainkan juga Badung, Gianyar, dan Tabanan. Itulah sebabnya berbagai poster dan baliho penolakan reklamasi masih disebarkan di berbagai daerah di Pulau Bali.
Kabarnya, poster dan baliho ini diturunkan, bahkan dirusak, menjelang acara rapat tahunan IMF dan World Bank yang berlangsung awal Oktober 2018. ForBALI melihat tendensi dari elite-elite politik untuk melemahkan perjuangan mereka menolak reklamasi. Untungnya, meski ForBALI memusatkan kegiatannya di Denpasar, dukungan datang dari berbagai pihak. Sejauh ini sudah ada 40-an desa adat yang mendukung, berikut puluhan komunitas, organisasi mahasiswa, LSM, seniman, dan individu-individu lain dari seluruh Bali. Hal ini tidak lepas dari pilihan akan aksi turun ke jalan.
“Dulu, banyak orang bilang, kenapa repot-repot turun ke jalan? Mereka bilang, pakai pendekatan hukum saja langsung,” Dethu membuka penjelasannya. “Tapi, kami pikir, kalau pakai pendekatan hukum langsung, maju ke MK [Mahkamah Konstitusi], terus kalah di MK, perlawanan ini akan mati seketika.”
“Apalagi,” lanjutnya, ”hakim-hakim MK tidak bisa dipercaya integritasnya.”
Berkat pendekatan mereka yang santai dalam kemasan parade budaya, penerimaan masyarakat lebih luas pun lebih mulus. Selain itu, tidak pernah terjadi konflik horizontal di lapangan antara kelompok kontra dan pro reklamasi. “Kalau dari pengalaman, anak muda yang pro reklamasi itu tidak muncul di lapangan. Yang ada [di lapangan] itu, anak muda yang tidak peduli sama sekali, atau yang kontra reklamasi,” papar Dethu.
Kupit mengiyakan pernyataan Dethu. “Mereka yang pro hanya muncul di dunia maya, tapi tidak di lapangan. Karena mereka yang pro adalah orang-orang bayaran,” tambahnya.
Ribuan orang yang ikut berparade, termasuk para pengurus gerakan, bersama-sama menghidupi gerakan ini tanpa sponsor. Seluruh biaya gerakan berasal dari dana pribadi masing-masing peserta yang dikumpulkan secara sukarela. Kekurangan dana mereka tambal dengan menggelar konser pengumpulan dana atau berjualan kaus. Dethu mengakui ada beberapa individu yang memfasilitasi mereka, tapi tidak ada yang memberikan dana. Bahkan, yang muncul terkadang konsekuensi tidak mengenakkan. Tidak sedikit musisi indie yang kehilangan tawaran job sejak vokal menolak reklamasi. Banyak pihak penyelenggara event enggan terlibat dalam perjuangan ini dan izin acara sulit didapat jika mencantumkan nama-nama band pendukung aktif ForBALI.
Jadi, perjuangan memang belum berakhir. Tujuan selanjutnya menanti: mendorong Presiden Joko Widodo untuk membatalkan Perpres No. 51 tahun 2014. Bagaimanapun, perjuangan lima tahun menggalang solidaritas dapat dikatakan sebuah kemenangan besar dalam gerakan sipil masyarakat yang beradab dan demokratis.
*Artikel “Parade Budaya untuk Perubahan” merupakan bagian dari buku Dampak Seni di Masyarakat terbitan Koalisi Seni Indonesia. Buku bisa dibeli dengan mengirimkan surel ke sekretariat@koalisiseni.or.id.