/   Kabar Seni

Artikel ini dipublikasikan di website Filantropi Indonesia. Untuk membaca artikel asli, silakan buka link ini

Dalam 5 tahun terakhir peran dan keterlibatan kaum muda dalam kegiatan filantropi meningkat secara signifikan. Sebagian mereka mendirikan yayasan atau organisasi berbasis komunitas untuk mengembangkan berbagai program sosial yang menjadi minat atau perhatiannya. Sebagian lainnya menjadi pendukung, volunteer dan donatur di berbagai organisasi sosial.  Keterlibatan kaum muda dalam kegiatan filantropi  ini merubah  peta dan pola filantropi di Indonesia. Filantropi  tak lagi  identik  dengan  aktivitas  kedermawanan “orang  tua” atau “orang kaya” yang bisanya  dilakukan di hari  tua  atau  menjelang  pensiun. Filantropi juga  tidak lagi identik dengan  kegiatan  kedermawanan  dalam  bentuk  pemberian donasi  untuk kegiatan keagamaan, penanganan bencana, penyantunan dan pelayanan sosial.

Tren baru  filantropi Indonesia ini tergambar dari paparan para pembicara PHILANTHROPY LEARNING FORUM 5  dengan tema  “MILLENNIAL PHILANTHROPY: Muda, Peduli dan Membuat Perubahan”  yang digelar  Filantropi  Indonesia bekerja sama dengan Pundi Amal SCTV di Jakarta (31/3/2016). Forum yang dihadiri oleh para pegiat filantropi tersebut menghadirkan  4 pembicara dari kalangan kaum muda yang mengembangkan lembaga dan kegiatan filantropi, serta  melibatkan anak muda sebagai donatur dan pendukungnya. Mereka adalah Vikra Ijas (Kitabisa.com). Marsya Anggia (Indo Relawan), Faye Simanjuntak (Rumah Faye) dan Reza S. Zaki (Rumah Imporium).

Direktur Filantropi Indonesia, Hamid Abidin,  menjelaskan bahwa generasi millennial  adalah kelompok  demografis yang lahir diantara  tahun 1980-an sampai 2000-an dan  saat in  iberusia 15  –  34 tahun.  Berbeda dengan kegiatan filantropi generasi sebelumnya,  inisiatif sosial  kemanusiaan  dan  pemberdayaan yang dilakukan  kaum  muda  ini  umumnya  dilakukan melalui  komunitas  dengan  memanfaatkan  tekonologi  informasi  dan  budaya pop.  Selain  menaruh perhatian pada penajaman dan kedalaman isu, para filantrop milenial yang berlatar belakang enterpreuneur, ahli IT, pekerja seni dan pegiat sosial ini juga berusaha untuk mengemas program filantropi agar terlihat lebih populer, menyenangkan serta mengandung aspek pemberdayaan ekonomi. Karena itu, seorang filantrop milenial banyak digambarkan  sebagai  seorang tech savvy, wirausahawan, berpendidikan dan berpikiran independen yang terdorong untuk “berbuat baik.”

Erna Witoelar, Ketua Badan Pengarah Filantropi Indonesia  melihat  peran generasi milenial dalam mengembangkan filantropi secara tidak langsung telah mengubah pola menyumbang yang selama ini identik dan terfokus pada dana. Berbeda dengan generasi sebelumnya, mereka tidak hanya sekedar ingin terlibat dalam kegiatan filantropi dengan memberikan donasi, tapi juga memanfaatkan potensi dan kapasitasnya untuk mengembangkan dan mempertajam inisiatif sosial yang dilakukan. Generasi millenial ini memperluas bentuk kontribusi atau sumbangannya menjadi 6 bentuk, yakni pengetahuan/keterampilan, waktu, voice (suara/aspirasi), jaringan, cinta (kinesthetic ability) dan dana. Dengan menggabungkan 6 bentuk pemberian itu, generasi millenial tidak hanya melihat filantropi sebagai kegiatan sosial, tapi sebagai investasi sosial yang berdampak luas dan berkelanjutan. Mereka juga memandang keterlibatannya dalam kegiatan filantropi sebagai investasi bagi pengembangan karakter dan kapasitasnya untuk menjadi pemimpin di masa mendatang.

Selain pemanfaatan teknologi informasi, salah satu ciri yang menonjol dari filantropi millenial adalah komunitas sebagai pendukung dan penggerak inisiatif dan gagasannya. Hasil penelitian awal  PIRAC  (Public Interest Researh and Advocacy Center) menggambarkan bahwa  saat ini berbagai  komunitas yang digerakkan para filantrop muda ini mulai berperan signifikan dalam  pengembangkan filantropi  di Indonesia. PIRAC mengidentifikasi lebih dari 99 organisasi komunitas yang secara khusus dibentuk dan dikembangkan untuk mengembangkan kegiatan filantropi. Inisiatif kegiatan filantropi ini umumnya digagas oleh perorangan atau komunitas tertentu dan dipromosikan melalui pemanfaatan media sosial (FB, twitter, instagram, dll) yang kemudian direspon dan didukung oleh masyarakat luas. Mereka bergerak dengan beragam program, mulai dari penyantunan, pelayanan sosial, penanganan bencana, pendidikan, kesehatan, pelestarian lingkungan sampai pemberdayaan ekonomi. Berbeda dengan organisasi sosial atau LSM, organisasi komunitas sebagian besar tidak berbadan hukum, struktur kepengurusan bersifat cair, bersifat interaktif dan mendorong keterlibatan masyarakat, khususnya kaum muda, dalam kegiatannya.

UNDUH MATERI PRESENTASI

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.