Oleh Alia Swastika
Kurator dan anggota Koalisi Seni
Dimuat di Harian Kompas halaman 11, 14 Februari 2021
”Mengapa panel diskusi pembicaranya laki-laki semua, mengapa penerima Penghargaan A laki-laki semua? Mengapa hanya sedikit sekali seniman perempuan dalam pameran B? Mengapa sejarah seni kita sebagian besar hanya memasukkan nama-nama seniman lelaki sebagai tokoh?”
Protes senada belakangan semakin sering terlontar melalui forum media sosial menanggapi minimnya keterlibatan perempuan dalam acara publik seni dan budaya. Di luar perkara representasi, gugatan untuk terus memperluas kesempatan bagi perempuan di ranah publik adalah sebuah urgensi dalam kebijakan formal terkait strategi budaya pemerintah.
Bagaimana melihat soal representasi ini jadi lebih luas dari sekadar kuota aksi afirmatif atau tokenisme? Pendekatan tokenisme dan tindak afirmatif sering dianggap kontradiktif dengan gagasan tentang standar atau kualitas.
Dalam diskusi kritis, tokenisme dianggap berkonotasi negatif ketimbang aksi afirmatif. Ia memberi ruang lebih luas, tetapi tidak menyelesaikan akar permasalahannya: akses tak seimbang. Sementara pendekatan afirmatif mendorong kebijakan yang memunculkan suara dan ekspresi kelompok yang selama ini kurang terwakili dalam pengambilan keputusan ataupun diskusi berbagai perkara sosial di ruang publik.
Keseimbangan keterwakilan perempuan merupakan penghargaan atas kontribusi pengetahuan dan pemikiran perempuan. Dalam sejarah perkembangan beragam budaya, dengan cara berbeda-beda, perempuan melalui pengalaman dan kebajikannya adalah bagian penting peradaban. Mengabaikan atau menghilangkan representasi perempuan sama artinya mengingkari aspek penting sejarah kehidupan kita.
Dalam sistem kuota, sering kali pihak yang mendapatkan keuntungan dari sistem ini (misalnya seniman perempuan) dianggap tidak punya kualitas setara dengan pihak lain. Pandangan semacam ini terus disebutkan secara tidak langsung hingga muncul anggapan ”meskipun tidak kapabel atau karyanya kurang berkualitas, dia terus mendapat kesempatan”.
Di sinilah kita harus mulai memeriksa dua hal: tentang sistem keterbukaan akses dan standar kualitas itu sendiri. Sistem keterbukaan akses yang terbatas sering membuat perempuan tidak memiliki kesempatan masuk ke dalam proses seleksi tersebut. Barangkali karena informasi tidak tersebar luas, karya-karya mereka tak mendapat cukup publikasi atau sistem seleksinya tertutup.
Kemudian, soal standar kualitas membawa kita pada pertanyaan lain: siapa penentunya? Dalam sejarah seni yang terlembagakan, melalui berdirinya institusi dan terbentuknya medan seni, kita melihat sebagian besar pengambil keputusan adalah laki-laki. Mereka menentukan kualitas yang dianggap layak, isu yang dipandang penting, serta bentuk eksperimen yang digolongkan potensial.
Dominasi lelaki dalam institusi kebudayaan dan kesenian terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) baru sekali dipimpin perempuan, yaitu Ratna Sarumpaet (2003-2006). Tokoh sekaliber Toety Heraty atau Edy Sedyawati, meski perannya sangat besar, tak pernah jadi Ketua Umum DKJ. Di Yogyakarta, salah satu kota dengan kegiatan seni dinamis, anggota Dewan Kebudayaan yang baru dilantik hampir 90 persen lelaki.
Di tingkat pusat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak hanya menterinya yang laki-laki. Lima posisi direktur jenderal dalam kementerian ini semua ditempati lelaki. Dari 21 direktur yang tercantum di situs web-nya, 19 juga laki-laki. Demikian pula posisi-posisi strategis yang menentukan cara kebijakan dan program diterapkan di lapangan, hampir semuanya diduduki pengampu lelaki.
Ketidakseimbangan jender dalam pengambilan keputusan publik di sektor seni budaya ini sangat memengaruhi belum diprioritaskannya upaya mendorong kesetaraan dan pengakuan terhadap karya dan pemikiran perempuan.
Selain di organisasi formal dan birokrasi, catatan dominasi maskulinitas ini dapat diperpanjang pada komposisi jender peraih penghargaan seni, seniman peserta pameran yang diselenggarakan dengan dana publik, serta pegiat seni dalam berbagai festival atau penerbitan buku antologi.
Perdebatan publik
Pada awal September 2020, Balai Bahasa mengumumkan nomine penghargaan sastra tahun 2020 untuk karya terbitan 2016-2020. Pada lima kategori karya, seluruh nominenya adalah laki-laki. Ini mengejutkan karena pada lima tahun terakhir, jumlah terbitan penulis perempuan cukup semarak, bahkan beberapa telah dialihbahasakan oleh penerbit asing.
Dengan proses seleksi berupa panggilan terbuka, jumlah perempuan yang mengirimkan karya tak sebanding dengan laki-laki. Bagaimana mekanisme distribusi informasi dan preferensi ideologi jender para juri ketika seleksi?
Kecenderungan dominasi maskulin dalam berbagai penghargaan seni budaya ini sedikit terobati ketika Festival Film Indonesia melansir nominasi sutradara film dokumenter. Sebagian besar nominenya adalah perempuan. Nomine dipilih melalui sistem rekomendasi dari ahli dan pegiat perfilman, sehingga hasilnya adalah mereka dengan karya bertema penting yang harus disuarakan lebih luas.
Sementara itu, ketika film pendek Tilik karya Bagus Sumarsono jadi topik hangat di media sosial, perbincangan tentang feminisme kembali muncul dan menuai pro-kontra.
Para feminis melihat Tilik sebagai contoh karya yang menunjukkan dominasi cara pandang laki-laki dari sang pembuat film dalam melanggengkan stereotip tentang perempuan, terutama mereka yang hidup di desa. Kritik para feminis ini banyak ditanggapi warganet dengan komentar-komentar sinis, pedas, dan bahkan melecehkan karena beranggapan cara pandang feminis terhadap film ini berlebihan.
Di satu sisi, kontroversi ini mengundang kemungkinan membuka diskusi lebih jauh tentang cara feminisme didefinisikan pada hari-hari ini, bahkan dengan kalangan yang tadinya tak terlalu peduli pada isu kesetaraan jender. Di sisi lain, kurangnya perspektif yang luas dalam melihat feminisme sebagai sebuah metode ketimbang tema menyebabkan diskusinya malah jadi kontraproduktif.
Acara-acara yang menggunakan dana publik masih perlu diadvokasi prosesnya untuk memastikan keseimbangan suara perempuan di tengah dominasi budaya patriarkis yang telah berakar. Manfaat dana publik—yang dibayar rakyat melalui pajak—haruslah dapat dirasakan masyarakat dari semua jender, kelas sosial, konteks budaya, dan sebagainya.
Konten dari produk kebudayaan yang menggunakan dana rakyat ini juga perlu untuk terus diperkuat dalam relasinya dengan kesadaran penghormatan atas semua jender.
Pertanyaannya, bagaimana kita dapat bekerja bersama mendorong lembaga-lembaga negara—terutama dalam bidang seni budaya—menjadikan representasi jender sebagai bagian pencapaian dan nilai dalam setiap programnya?
Bagaimana kita menjadikan peran perempuan dalam konteks seni budaya sebagai persoalan kita bersama—tidak hanya persoalan perempuan?