/   Kabar Seni

Nagari Harau, salah satu desa di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, dulu termasuk dalam 60% desa Indonesia yang tergolong tertinggal menurut pemerintah.

Kini nama desa itu harum di kancah seni nusantara berkat Festival Seni dan Budaya Pasa Harau. Dikelola Komunitas Lembah Harau, festival ini pertama kali digelar pada 2016. Salah satu gebrakan mereka, pada 2017 tercatat rekor 3.000 orang minum kopi kawa daun, minuman seduhan daun kopi khas Minangkabau, di Museum Rekor Indonesia (MURI). Pada tahun kedua itu pula Pasa Harau menggaet tak kurang dari 4.000 orang peserta.

Keberhasilan festival tidak hanya soal pemasukan desa yang bertambah. Pasa Harau juga menggulirkan berbagai prakarsa masyarakat dan generasi muda yang mengagumkan, salah satunya adalah Bintang Harau, ruang pendidikan seni dan budaya untuk anak.

“Kami bercita-cita membuat festival yang kecil, mandiri, bisa bertahan lama, dan tidak berbasis pada [ketergantungan pada] anggaran, tetapi pada pembangunan komunitas. Jadi, selama komunitasnya terbangun dan kuat, maka festival terjamin akan selalu hidup,” ujar Dede Pramayoza, pengajar ISI Padang Panjang sekaligus salah satu penggagas Pasa Harau.

Tidak hanya visi tentang sebuah festival yang melandasi Pasa Harau, tetapi juga kepekaan dan pengetahuan tentang masyarakat setempat. Kata pasa yang berarti ‘pasar’ atau ‘keriuhan’ dalam bahasa Minangkabau digunakan karena kesenian di Sumatra Barat umumnya lahir dari dinamika atau keriuhan yang terjadi di pasar.

Berjejaring dan Menjaring Pengalaman

Awalnya adalah keprihatinan bersama. Dede Pramayoza dan Kusen Alipah Hadi, para inisiator Pasa Harau, gelisah mengenai absennya gerakan budaya yang signifikan di Sumatra Barat. Padahal, provinsi itu adalah kampung halaman tokoh-tokoh besar dalam sejarah bangsa Indonesia. Sumatra Barat pun memiliki Sekolah Menengah Seni Rupa dan Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang, sehingga seharusnya layak jadi salah satu rujukan kebudayaan nusantara.

Mereka juga melihat festival kebudayaan besar di Sumatra Barat banyak yang terlalu bergantung pada anggaran pemerintah. Ketika pemerintah berganti, festival-festival itu mati. Padahal jika festival terus berlangsung dan bertahan lama selama bertahun-tahun, bisa ada gerakan kebudayaan yang signifikan dari provinsi tersebut.

Kusen kemudian mempertemukan Dede dengan tiga orang, yakni Budi Hermanto, inisiator Dieng Culture Festival; Tri Sugiharto, Direktur Yayasan Bintang Kidul yang bergerak di bidang pendidikan anak; serta Antok Suryaden, Presiden Blogger Nusantara sekaligus penggerak Rumah Budaya Joglo Abang di Yogyakarta. Masing-masing menyumbang pemikiran penting.

Dari pengalamannya mengawal perhelatan di Dieng, Budi berpendapat festival harus memberikan dampak ekonomi untuk masyarakat agar mereka mau terus ikut serta. Dampak ekonomi ini tidak harus langsung besar, bisa kecil namun yang penting berkelanjutan.

Tri memberi masukan tentang pentingnya pendidikan komunitas sebagai basis festival. Adapun Antok mengingatkan pentingnya membangun rasa kepemilikan warga. Tiap anggota masyarakat seharusnya bisa berkontribusi, mengutarakan pendapat, dan ikut terlibat dalam menentukan arah festival. Ia menilai rasa kepemilikan inilah yang hilang dari festival-festival besar.

Selanjutnya, pemilihan lokasi festival dilakukan dengan pertimbangan cermat. Dede sengaja memilih kampung sebagai lingkup yang potensial untuk dirawat. Harau, yang diberkahi kekayaan alam unik dengan tebing granit dan air terjun cantik, menjadi pilihan tepat. Desa itu juga relatif dekat dari Payakumbuh, tempat tinggal banyak teman Dede yang aktif berkesenian.

Dua kawan Dede di Payakumbuh kemudian menjadi motor penggerak Pasa Harau. Mereka adalah Roni Keron Putra, pendiri komunitas seni La Paloma, dan Fitri Noveri, pendiri Teater Sembilan Ruang. Keduanya terbukti mumpuni dalam mengorganisir komunitas dan mewujudkan ide festival menjadi kenyataan.

Masyarakat Nagari Harau menyambut baik inisiatif ini, karena pada saat yang sama mereka sedang mencari cara agar bisa menanggalkan status desa tertinggal. Ide festival berbasis kebudayaan dirasa pas dengan tujuan tersebut. “Ketika mereka datang menawarkan konsep ini, kami langsung menerimanya karena kami pun punya tujuan yang sama,” kata Andi Syukriandi, Wali Nagari Harau.

Inisiator festival lantas diperkenalkan dengan beberapa simpul massa di Harau. Dimulailah proses persiapan dan pelaksanaan Pasa Harau pertama, yang digarap dengan bergotong royong meski belum ada pembagian kerja jelas. Para pegiat kebudayaan dari Payakumbuh, Padang Panjang, dan Yogyakarta ikut serta membantu festival tersebut.

Dari Seni Pertunjukan hingga Paket Wisata

Pasa Harau mengusung sejumlah program yang meliputi seni pertunjukan kontemporer, seni dan permainan tradisional, musik akustik, hingga paket pariwisata. “Konsep acara diputuskan lewat musyawarah warga. Mereka mengusung kesenian yang hidup di masyarakat Harau, dan penduduk ikut serta jadi penampilnya,” ucap Yon Putra, pendamping masyarakat dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa).

Pasa Harau 2018 menghadirkan kesenian Minang kontemporer yang digiatkan oleh seniman dan kelompok seni pertunjukan Minang yang ada di perantauan. Harau Performing Art, salah satu program festival, memungkinkan ini terjadi. Bentuk pertunjukannya berupa teater, tari, dan musik. Masyarakat ikut menjadi penikmat seni, sehingga seni tak lagi hanya milik elit.

Seni dan permainan tradisional diberi ruang khusus dalam Gelanggang Harau dan Permainan Anak Nagari. Sasarannya, memperkenalkan lagi seni dan permainan yang mulai banyak dilupakan penduduk Harau maupun Sumatra Barat pada umumnya. Sementara itu, Haraukustik memberi wadah bagi anak muda yang mengusung musik pop alternatif.

Tak kalah istimewa, Jelajah Harau mengajak pengunjung mengeksplorasi kekayaan alam dan keseharian masyarakat nagari tersebut. Paket wisata yang ditawarkan cukup beragam dan harganya terjangkau di kisaran Rp250.000 hingga Rp1,3 juta untuk tiga hari. Pengunjung bisa memilih membawa tenda sendiri, menyewa tenda dari masyarakat, atau tinggal di rumah penduduk. Tiap paket sudah termasuk kegiatan belajar mengolah gambir dan gula aren, mengunjungi sentra pembuatan kuliner khas kampung, dan trekking di sekitar Harau.

Gotong Royong Banyak Pihak

Kunci sukses Pasa Harau adalah antusiasme tinggi dan keterlibatan warga Nagari. Mulai dari anak muda, para ibu, hingga Ninik Mamak alias lembaga adat yang berisi para tetua kampung ikut turun tangan.

Dalam Pasa Harau pertama tahun 2016, masyarakat lebih berperan sebagai pelaksana kegiatan, sedangkan konsep digodok oleh tim Dede. Porsi peran masyarakat bergeser pada penyelenggaraan festival pada 2017 dan 2018. Mereka kini menjadi konseptor sekaligus pelaksana kegiatan.

“Sejak awal, memang Bang Dede, Bang Kusen, dan yang lainnya mengatakan cuma akan memegang Pasa Harau hingga yang ketiga atau keempat. Seterusnya, masyarakat yang akan mengelola sepenuhnya,” ucap Yon Putra. Kini, desa itu punya Komunitas Lembah Harau, lembaga berbentuk perkumpulan yang sudah berbadan hukum. Didirikan dan diisi oleh masyarakat dan anak muda Harau, komunitas ini menjadi tulang punggung penyelenggaraan festival.

Pemerintah Nagari Harau pun memasukkan Pasa Harau sebagai agenda rutin desa dan mengalokasikan anggaran yang terus naik tiap tahun. Pada 2017, Nagari menyalurkan Rp25juta, sedangkan 2018 besarnya Rp36 juta. Jika disetujui Badan Musyawarah Nagari, maka pada 2019 dana sebesar Rp100 juta akan digelontorkan untuk penyelenggaraan festival ini.

“Ini pencapaian juga. Kita mengubah pola pikir pemerintahan Nagari bahwa ini adalah investasi, bukan biaya. Mereka sadar modal ini tidak bisa langsung kembali dalam jangka waktu satu tahun. Mereka membayangkan ini untuk 15 tahun ke depan,” tutur Dede.

Dari pemerintah pusat, Pasa Harau mendapatkan dukungan dana dari Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun pihak swasta yang pernah mensponsori adalah LA Bold, salah satu produk Djarum.

Kerja sama lain terjalin dengan Fakultas Pariwisata dan Perhotelan Universitas Negeri Padang. Para mahasiswa fakultas itu rutin membantu Pasa Harau sebagai sukarelawan, mengikuti konsep acara yang diputuskan musyawarah warga.

Menggerakkan Perubahan

Beragam perubahan terjadi di Nagari Harau sejak festival seni dan budaya itu digelar pertama kali. Pasa Harau tak hanya meningkatkan ekonomi kreatif dan pariwisata di daerahnya, tetapi juga mempererat kohesi sosial, menciptakan ruang bagi ekspresi budaya warga, dan meningkatkan kepekaan akan lingkungan hidupnya.

Warga kini lebih menghargai adat sendiri dan tertarik mengasah keterampilan seni budayanya. Misalnya, dulu anak-anak Harau menarikan Pasambahan, tari tradisional mereka, dengan diiringi kaset rekaman. Kini mereka mulai memainkan sendiri alat musik khas daerahnya untuk mengiringi tarian itu. Makin banyak anak muda juga yang kembali menekuni tarian daerah, silat, dan permainan tradisional.

Warga juga lebih sadar akan tanggung jawab sebagai tuan rumah. Jika dulu susah mencari rumah warga yang layak menampung tamu, kini tak lagi demikian. Banyak penduduk memperbaiki rumahnya agar bisa digunakan sebagai penginapan, baik selama Pasa Harau ataupun hari-hari lainnya. Bantaran sungai dibersihkan, tak lagi dipenuhi sampah seperti dulu.

Selain itu, warga mendirikan Bintang Harau, sebuah ruang belajar seni budaya tradisi untuk anak-anak. Bintang Harau menjadi etalase beragam kesenian tradisional Minangkabau dan menarik minat lembaga nasional maupun mancanegara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pernah mengumpulkan para pelajar terbaik Indonesia lalu membawa mereka berkunjung ke Bintang Harau. Dari Malaysia, 40 orang anak pernah bertandang ke Bintang Harau untuk belajar kesenian Minangkabau, kemudian menyumbangkan alat kesenian senilai Rp30 juta ke lembaga tersebut.

Anak-anak Bintang Harau kini sudah bisa menciptakan tarian, mengaransemen musik, dan menerbitkan buku puisi. Mereka bahkan telah memiliki festival sendiri, bertajuk Pentas Bintang Harau. Penampilnya tak cuma anak-anak Bintang Harau, tapi juga para murid sanggar anak lain di Kabupaten Lima Puluh Kota. Tentu, Bintang Harau telah beberapa kali diliput media massa dan tampil dalam program televisi. Tawaran pentas di berbagai tempat juga menghampiri.

Dari segi infrastruktur, Pasa Harau sukses mengadvokasikan sejumlah perbaikan kepada pemerintah. Misalnya, beberapa ruas jalan di desa itu telah diperbaiki. Kemendesa berkomitmen mendukung sarana dan prasarana berupa renovasi rumah warga agar lebih layak dijadikan penginapan (homestay), gazebo, lampu jalan, toilet umum, dan embung sebagai penampung air untuk pertanian.

Lebih jauh, Kementerian Pertanian akan membuat sentral sayur untuk kampung sementara Kementerian Komunikasi dan Informatika akan membangun infrastruktur internet desa. “Tujuan menaikkan status Nagari Harau dari desa tertinggal perlahan mulai terwujud,” ujar Andi.

Langkah ke Depan

Menurut Dede, sejumlah pengembangan akan dilakukan Pasa Harau di masa depan. Antara lain, pembuatan sistem sukarelawan untuk warga di luar Nagari Harau yang ingin berpartisipasi lebih dari sekadar jadi pengunjung.

“Sistem ini diperlukan untuk mereka yang berminat membantu menjadi panitia Pasa Harau dan orang yang ingin bertukar pengetahuan kesenian dengan anak-anak di Bintang Harau. Di media sosial banyak yang tanya soal ini,” ucapnya.

Nagari Harau juga ingin meneruskan pelaksanaan Pentas Bintang Harau. Mereka ingin festival tersebut diikuti lebih banyak lagi anak dari daerah lain. Rencananya, dalam penyelenggaraan Pentas Bintang Harau mendatang, anak-anak dari luar kampung bisa datang bersama orang tua mereka, lantas menginap dan berkegiatan bersama di Harau.

 

*Artikel Dari Lembah Bertolak Maju merupakan bagian dari buku Dampak Seni di Masyarakat terbitan Koalisi Seni Indonesia. Buku bisa dibeli dengan mengirimkan surel ke sekretariat@koalisiseni.or.id.

Tulisan Terbaru

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.