“Golok gue golok Ciomas, potong seperak potong mas. Lo ngomong jangan terlalu panas, gue cacah seperti nanas!”
Demikianlah bunyi pantun Nawawi, pimpinan kelompok Lenong Cinta Damai sekaligus salah satu tetua Pulau Panggang, Kabupaten Kepulauan Seribu. Tahun-tahun kejayaannya sebagai pimpinan kelompok lenong itu memang masih segar dalam ingatan. Pantun di atas biasanya ia lontarkan dalam awal adegan tarung.
Pada dekade 1980-an hingga 1990-an, Lenong Cinta Damai beranggotakan 25 orang. Kelompok ini sering naik pentas, tak hanya di Pulau Panggang tapi juga di pulau lain di kepulauan itu—bahkan diundang ke Tangerang. Nawawi selalu berperan sebagai jagoan, yang mensyaratkan kepandaian berpantun dan bermain silat.
Lenong masuk ke Pulau Panggang sekitar 1970-an, tapi mulai surut pada pertengahan 1990-an. Sebabnya, antara lain, usia pemain lenong yang bertambah membuat mereka harus fokus memperkuat ekonomi keluarga, selanjutnya beristirahat karena sudah tua. Selain itu, jenis kesenian yang lebih modern masuk ke pulau itu dan digemari generasi muda, sehingga lenong kekurangan penerus di pulau yang terawal dihuni dan terpadat di kepulauan tersebut.
Kisah pasang-surut lenong adalah bagian dari sejumlah cerita yang terangkum dalam buku Orang Pulo di Pulau Karang, bagian dari rangkaian kegiatan “Pulang Babang” (2011-2013) yang digagas Laboratorium Teater Ciputat (LTC) bersama Sanggar Apung dan Hivos. Pulang Babang sejatinya adalah nama peristiwa penting bagi masyarakat Kepulauan Seribu, yakni kembalinya para nelayan setelah lama pergi melaut. Waktu itu nama ini digunakan sebagai payung rekonstruksi budaya masyarakat Pulau Panggang, Pulau Pramuka, dan Pulau Karya. Hajatan ini menjadi sarana menggali dan memperbarui kultur lokal.
Pada tahap pertama “Pulang Babang”, diadakan riset tentang budaya orang Pulo, sebutan bagi penduduk wilayah Kepulauan Seribu, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Hasil riset itu ditindaklanjuti dengan lokakarya artistik dan nonartistik dengan target pengembangan industri kreatif dan revitalisasi seni tradisi pulau tersebut. Puncaknya ialah pagelaran seni pertunjukan hasil kolaborasi seniman pulau itu dan LTC, yang ceritanya disusun dengan basis mitologi Orang Pulo.
“Target jangka panjangnya adalah pembangunan infrastruktur seni budaya di Pulau Panggang, untuk promosi produk seni tradisi yang terbarukan,” kata Bambang Prihadi, salah satu penggerak LTC.
Menurut Mahariah, penduduk Pulau Panggang, warga tertarik lagi dengan kegiatan seni budaya setelah hajatan “Pulang Babang” usai. “Tadinya Lenong Pulo tidak aktif, tapi setelah berkegiatan dengan LTC jadi bangkit kembali. Kegiatan-kegiatan berkesenian yang kecil-kecil juga muncul,” ucapnya.
Mahariah, yang ikut serta membantu riset buku Orang Pulo di Pulau Karang, berpendapat masyarakat pulaunya sangat mengapresiasi inisiatif “Pulang Babang”. Sebelumnya, mereka umumnya tak sadar memiliki seni budaya yang berharga dan dapat digali. Proses berkesenian dengan LTC membuat mereka lebih menghargai potensi budayanya sendiri.
Teater Partisipatif untuk Memberdayakan Warga
Didirikan pada 2005, LTC menggunakan seni peran bukan sekadar sebagai sarana ekspresi atau hiburan. Teater ditujukan menjadi sarana untuk memberdayakan, mengaktifkan, bahkan membuat perubahan sosial dalam masyarakat yang dilibatkan. Tema yang diangkat pun tak berjarak dari warga dan berfokus pada problem keseharian masyarakat, terutama di wilayah urban atau perkotaan.
“Kami menggelar proses penciptaan yang bertolak dari lokakarya, diskusi, penelitian, dan observasi pada tema dan problematika masyarakat. Misi utama kami ialah menjadi grup teater yang berorientasi pada pencapaian karya artistik yang dapat diterima berbagai kalangan. Kesenian menjadi media yang mempertemukan berbagai kepentingan dan menguatkan tujuan-tujuan ideal yang mengusung nilai kemanusiaan, tradisi, dan kebudayaan,” tutur Bambang.
Ia dan rekan-rekannya mengawali LTC dengan ketidakpuasan. Setelah pertunjukan teater usai, kata Bambang, ada perasaan kurang jika kerja mereka hanya selesai di panggung. Mereka merasa perlu berinteraksi lebih jauh dengan masyarakat.
LTC lantas mengambil pendekatan yang membuka kerja sama lintas disiplin, melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan dalam komunitas yang dibinanya. Tiap program LTC dirancang berdurasi panjang, agar terjadi pertumbuhan partisipatif yang organik dari warga.
“Masyarakat terlibat dari tahap konsep, menciptakan tema, juga membuat dialognya. Latihan teater diarahkan untuk mereka mengenal tubuh, sadar terhadap tubuh, dan nilai-nilai mereka sebagai manusia. Panggungnya betul-betul milik mereka,” ujar Rosida Erowati Irsyad, salah satu peneliti LTC.
Tingkat keterlibatan masyarakat dalam kegiatan LTC sangat tinggi, meski wujudnya berbeda-beda. Dalam program di Kepulauan Seribu, misalnya, penduduk terjun langsung menjadi aktor, penyusun skenario, pengurus kostum, hingga pengerjaan panggung dan propertinya. Di Kali Pesanggrahan, warga membantu membuatkan panggung, menyediakan makanan, dan mengurusi kelistrikan kegiatan.
Seniman LTC maupun masyarakat mendapat manfaat dari interaksi intensif ini. Anggota tim LTC mendapat ruang pembelajaran untuk merespons dinamika masyarakat dan menggali mitos dan budaya lokal yang menjadi sumber penciptaan karya. Sebaliknya, metode teater terapan yang diusung LTC dimanfaatkan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dan menguatkan karakter seni budaya setempat.
Rosida menilai pelaksanaan program “Pulang Babang” adalah salah satu kerja LTC yang terbilang sukses. “Mereka menciptakan lagu ‘Pulang Babang’ yang dinyanyikan terus oleh anak-anak Pulau Panggang. Pulau kecil itu jadi dipenuhi semangat berkesenian,” katanya.
Dari Penyintas Kekerasan hingga Konservasi Lingkungan
LTC telah menggarap banyak isu dan bekerja sama dengan sederet komunitas. Tema yang diangkat lazimnya sarat dengan kritik sosial yang ditemukan dalam dinamika terkini masyarakat.
“Kubangan dan Tubuh-tubuh Yang Terkontaminasi”, karya panggung pertama LTC, menyoroti bagaimana dalam dunia urban tubuh sehari-hari kehilangan unsur-unsur alamiahnya. Pertunjukan dipentaskan di sebuah catwalk sepanjang 16 meter yang membelah ruangan, sedangkan penonton didudukkan di sisi kanan dan kiri panggung. Pentas yang mengkritik globalisasi ini ditampilkan di tiga kota Sumatra pada 2007-2009.
LTC juga pernah melakukan pendampingan bagi para perempuan penyintas kekerasan kerusuhan 1998. Bekerja sama dengan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), LTC menjadikan teater sebagai media proses pemulihan trauma. Dengan metode teater gembira, LTC berupaya membangkitkan semangat mereka untuk menatap masa depan. Lahirlah karya berjudul “Terjepit” yang bertolak dari pengalaman pahit, kondisi sosial ekonomi, dan harapan yang masih mereka miliki. Karya bersama itu dipentaskan tahun 2008 di beberapa kampung di Jakarta.
“Pada saat itu kami saling bertukar pengalaman. Kami mendapat pengalaman batin yang luar biasa dari ibu-ibu yang mengalami kekerasan, belajar untuk mempunyai empati. Sedangkan mereka mengobati trauma sekaligus belajar berlatih teater, misalnya bagaimana bisa percaya diri untuk berakting di panggung,” kata Bambang.
Program lain LTC adalah riset di kampung suku Baduy sebagai upaya mendekatkan pergulatan kreatif di kota metropolitan dengan mata batin masyarakat pedalaman. Penelitian itu menginspirasi karya pertunjukan “Cermin Bercermin” yang mengusung kesunyian manusia dan dunia diam. Lakon tersebut menyoroti peran manusia sebagai cermin bagi sesamanya dan makhluk lain.
Dalam isu lingkungan, LTC terlibat aktif di kawasan Hutan Kota Sangga Buana, Kali Pesanggrahan, Lebak Bulus. Awalnya ialah riset kecil LTC tentang Kali Pesanggrahan dalam proyek “Kota Tenggelam” yang digagas Dewan Kesenian Jakarta pada 2012-2015. Saat itu LTC berkenalan dengan H. Chaeruddin, akrab disapa Babe Idin, peraih penghargaan Kalpataru yang berupaya mengembalikan ekosistem bantaran kali.
Sejak 2014, LTC bersama Babe Idin aktif membersihkan hutan, menjaga, dan mengelola pemanfaatan hutan di Sangga Buana. Mereka juga belajar tentang kearifan lokal dan nilai budaya masyarakat setempat. Keterlibatan LTC di kawasan unik itu selama tiga tahun melahirkan sejumlah karya teater, antara lain “Sedekah Sungai”, “Mata Air Mata”, “Suluk Sungai”, dan “Penjara Hujan” yang mengusung dunia spiritual urban, kapitalisme global, dan pelestarian alam. Disutradarai Abdullah Wong, “Suluk Sungai” pada 2016 dipentaskan langsung di hutan Sangga Buana sebagai bagian dari Indonesian Dance Festival.
Mereka kembali mengusung isu lingkungan saat mendapat kesempatan pentas di Manokwari. LTC bekerja sama dengan komunitas seni Kipas Budaya dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Papua di Manokwari untuk mementaskan lakon “Mata Air Mata”. Sebelum dan sesudah pentas, mereka menggelar pula lokakarya bertema konservasi hutan dengan pembicara pakar kehutanan, antropolog, dan seniman.
Dengan panjangnya rentang waktu kerja dan banyaknya karya LTC, wajar jika pentas teater mereka cukup banyak diliput oleh media massa, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Pelatihan Teater untuk Profesional
Di samping kerja-kerja kultural dengan komunitas, LTC juga merumuskan materi dan melaksanakan pelatihan teater untuk kalangan profesional. Sumber materinya dari proses pelatihan dan penciptaan karya-karya LTC, serta pengalaman melatih para guru teater di Federasi Teater Indonesia.
Modul materi pelatihan ini bertajuk “To Be a Main Actor” (Untuk Menjadi Aktor Utama), dengan durasi pelaksanaan selama tujuh hari. Lima kesadaran manusia yang dibagi dalam pengolahan potensi lima kesadaran manusia. Kelimanya adalah kesadaran diri, kesadaran ruang dan lingkungan, kesadaran terhadap orang lain, kesadaran kreasi, dan kesadaran kerja dalam kelompok (teamwork). Kegiatan ini adalah bagian dari cara LTC membumikan kembali teater dalam kehidupan masyarakat. LTC meyakini, masyarakat seharusnya paham bahwa fungsi teater lebih dari sekadar hiburan.
Sekarang sudah sekitar satu dekade LTC berbagi metode pelatihan teater. Banyak respons positif yang pada dasarnya menilai bahwa pelatihan LTC cukup efektif untuk meningkatkan potensi, menguatkan karakter, dan memotivasi kapasitas para profesional sebagai aktor di ruang lingkup kerja dan pengabdiannya masing-masing.
Menggalang Kerja Sama
Dalam pelaksanaan kegiatannya, LTC mendapatkan bantuan dana dari berbagai pihak. Yang rutin memberikan donasi adalah Djarum Foundation melalui program Bakti Budaya. Secara sporadis, LTC juga menggalang dana dari kenalan dan teman-teman para penggeraknya.
Untuk operasional kegiatan-kegiatannya, LTC mendapatkan dukungan pendanaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun hibah dari luar negeri baru sekali didapatkan LTC, yaitu dari Hivos, lembaga swadaya masyarakat yang berpusat di Belanda.
Untuk penyelenggaraan programnya, LTC bekerja sama dengan berbagai pihak. Misalnya, dalam “Pulang Babang”, LTC menggandeng Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu dan Rujak Center for Urban Studies. Untuk kegiatannya di Hutan Sangga Buana, LTC berupaya melibatkan ilmuwan dari Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika (BMKG) beserta birokrat dari Balai Besar Wilayah Sungai dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Agar kerjanya bersama masyarakat bisa berkelanjutan, organisasi tersebut masih membutuhkan dukungan banyak pihak. LTC belum memiliki personel khusus untuk mengurusi kesekretariatan dan dokumentasi secara profesional. Alhasil, buku hasil riset LTC, misalnya, belum memiliki ISBN (International Standard Book Number) karena tidak ada yang mengurus. Dengan dukungan lebih jauh, LTC dapat menciptakan karya-karya lebih hebat lagi bersama masyarakat lebih luas.
*Artikel Masyarakat Berdaya Lewat Teater merupakan bagian dari buku Dampak Seni di Masyarakat terbitan Koalisi Seni Indonesia. Buku bisa dibeli mengirimkan surel ke sekretariat@koalisiseni.or.id.