/   Kabar Seni

Foto: Papermoon Puppet Theater

Sejumlah seniman tak berhenti hanya pada proses artistik untuk menciptakan karya seni. Ada yang melangkah lebih jauh dengan membangun ruang-ruang kesenian yang terbuka lebar untuk publik. Pada akhirnya, tak hanya bermanfaat bagi publik, ruang ini juga dapat memastikan kelangsungan hidup seni itu sendiri.

Perjalanan membangun ‘ruang’ itu dimulai Maria Tri Sulistyani perlahan-lahan. Ria memulai Papermoon Puppet Theater dari rumah pribadinya bersama sang suami, Iwan Effendi, yang juga Diretur Artistik di teater itu. Rumah tinggal berukuran 7×8 meter itu digunakan untuk memproduksi berbagai pertunjukan Papermoon sejak 2006. “Selama sekitar 7 tahun, tak ada sekat antara rumah dan proses kesenian saya,” ujar Ria, panggilan akrabnya, dalam Program Bincang Seni di Padepokan Seni Bagong Kusudiardja, 5 November 2022.

Setelah menabung cukup uang, pada 2015 mereka membeli tanah dan membangun studio di atasnya. Akhirnya, Ria dan Iwan dapat memisahkan rumah pribadi dengan tempat mereka berkarya. Bermodal ruang yang lebih luas itu, Ria dapat memikirkan berbagai cara menghidupi Papermoon. “Kalau tetap tidak bisa makan padahal sudah ada tempat ini, kami yang salah,” ucap Ria. 

Pertama-tama yang harus tersedia adalah toko kecil untuk menjual pernak-pernik Papermoon. Toko inilah yang menjadi salah satu sumber pendapatan mereka. 

Kemudian, Papermoon membuka pintu studio mereka bagi orang-orang yang ingin melihat dapur kelompok teater ini. Di sana tersimpan beragam artefak pertunjukan yang disebut Ria sebagai ‘museum hidup’. Berada di sana, pengunjung maupun seniman lain dapat melihat langsung material dan peralatan apa yang digunakan Papermoon untuk membuat karya. Proses daur ilmu pun terjadi.

Belakangan, karena merasa kesepian menjadi satu-satunya kelompok teater boneka modern di Indonesia, Ria berpikir untuk membuat ekosistem. Papermoon pun menginisiasi festival Pesta Boneka sedari 2008. Festival ini lagi-lagi menjadi ruang untuk pertukaran ilmu seniman teater boneka. Juga menginspirasi lahirnya berbagai kelompok teater boneka lain. Maka, ruang bagi Ria tak hanya sebuah area bersekat empat dinding, tapi adalah suatu ‘rongga’ yang meski kecil, dapat diisi dengan berbagai macam hal bermakna.

Setelah selesai dengan urusan membangun ekosistem teater boneka modern, tibalah giliran membangun ruang kesenian bermutu yang dapat dinikmati oleh anak-anak. Bersama komunitas Ayo Dongeng Indonesia, Papermoon menggelar Gulali Festival pada 2021. 

Di ‘ruang’ yang satu ini, anak-anak jadi aktor utamanya. Mereka tak hanya disuguhkan tontonan, tapi dapat terlibat dalam agenda artist talk untuk bertanya langsung pada para seniman. Anak-anak juga menjadi juri yang menilai layak tidaknya sebuah ide pertunjukan untuk dieksekusi. “Anak-anak itu penonton paling jujur, kalau mereka tidak mengerti ya mereka tinggalkan. Tidak seperti kita orang dewasa,” kata Ria.

Proses membangun ruang demi ruang ini terus dilakukan Ria dan Papermoon sampai sekarang. Yang terkini, mereka membuat sebuah rumah residensi yang asri di tengah perbukitan Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Sesuai namanya, rumah ini menjadi sebuah ruang untuk sejenak ‘mundur’ dari hiruk-pikuk dan memfokuskan pikiran pada kegiatan belajar, berkarya, maupun berkolaborasi dengan seniman lain yang mendalami teater boneka. 

Program residensi di rumah ini berbayar. Jika tak digunakan untuk residensi, rumah itu pun disewakan lewat AirBnB. Dengan begitu, ruang ini bisa menjadi salah satu modal keberlanjutan Papermoon. Meski begitu, ada kalanya Ria membuka pintu bagi seniman yang punya tekad besar untuk berkarya tapi terbatas dalam hal anggaran. “Ada seniman Thailand yang tinggal dua bulan di sini, tidak punya duit tapi mau bantu bersih-bersih dan ganti sprei,” kata Ria sambil tertawa.

Terakhir, Ria mengingatkan ada satu ruang di masa kini yang sangat dekat tapi jarang dimanfaatkan dengan maksimal oleh para seniman. Ruang itu adalah media sosial. “Media sosial adalah fasad rumah yang setiap hari didatangi tamu,” begitu Ria mengibaratkan. 

Sayang, kata Ria, sebagian kelompok teater ataupun kesenian lain hanya menggunakan media sosial untuk mengunggah poster-poster agenda tanpa ada cerita lebih. Padahal, ruang ini sangat bisa digunakan untuk berbagi soal proses di belakang karya yang dapat membantu khalayak lebih memahami kesenian. “Buat saya pribadi, merawat media sosial itu urgensinya luar biasa,” kata Ria. 

(Moyang Kasih Dewimerdeka)

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.