Skema karya seni rupa untuk jaminan utang masih belum bisa diimplementasikan. Galeri seni diharapkan ikut berperan sebagai pengukur valuasi.
Jakarta – Mekanisme karya seni rupa sebagai jaminan utang masih belum juga terang. Sebabnya, gagasan yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif tersebut belum didukung kondisi yang ideal di ranah seni rupa. Perupa FX Harsono mencontohkan harga lukisan di pasar seni rupa yang umumnya berbeda dengan angka di balai lelang.
“Hal itu menunjukkan harga tidak bisa dijadikan standar. Jadi, bagaimana ini bisa menjadi jaminan fidusia?” kata Harsono dalam diskusi Koalisi Seni bertajuk “Karya Seni Rupa Sebagai Jaminan Fidusia” di Hotel Grandkemang, Jakarta, Kamis, 27 Oktober 2022, sebagai bagian acara Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) ke-12.
Harsono menjelaskan, belum ada kriteria dalam merumuskan sebuah karya seni rupa sebagai objek kekayaan intelektual (KI). Kriteria ini misalnya, terkait visual seperti teknik pembuatan, warna, atau lainnya. Tolok ukur untuk menilai objek seni rupa pun punya tingkat kesulitan dan tantangan berbeda sesuai medianya. Karya seni rupa berbasis digital, misalnya, memerlukan aturan dan kontrak tersendiri karena mudah sekali ditiru, disebarkan, dan diperjualbelikan. Lain halnya karya instalasi, sukar menentukan orisinalitasnya sebagai elemen valuasi jaminan fidusia ke bank maupun lembaga nonbank.
Skema yang belum jelas itu membuat seniman sulit mendaftarkan karyanya sebagai KI. “Karena pasti seniman akan tanya, KI yang mana? Apa pentingnya mendaftarkan sebuah ciptaan sebagai KI? Karena jika karya seni rupa sudah dibeli orang, itu sudah bukan urusannya si seniman lagi,” ujar Harsono.
Ia mencontohkan perlindungan hak cipta seniman dalam blockchain (transaksi digital yang dilakukan dengan mata uang kripto) yang memakai smart contract. Mekanisme ini mendata kontrak antara seniman dan pembeli karya tanpa melibatkan pihak ketiga. Harsono menilai kontrak pintar ini transparan dan menguntungkan seniman. Selain karena data yang tercatat di kontrak tak bisa diubah, seniman juga tetap mendapatkan royalti bila si pembeli menjual lagi karyanya ke pihak lain. Lain halnya mekanisme transaksi karya fisik yang tidak memungkinkan perupa melacak pemilik karya seni yang pernah dijualnya.,
Ketua Asosiasi Galeri Seni Rupa Indonesia, Maya Sujatmiko, sepakat bahwa karya seni rupa sangat sulit divaluasi. Tak heran bila pengukuran nilai sebuah karya seni rupa untuk fidusia belum pernah dilakukan di Indonesia sampai saat ini. “PP Ekraf memang dibikin untuk mendukung pekerja seni. Namun untuk mengimplementasikannya di lapangan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan,” kata dia dalam diskusi yang sama.
Maya menyoroti salah satu persyaratan karya seni untuk jaminan fidusia yang mewajibkan si seniman untuk mengantongi sertifikasi. Menurutnya, perihal sertifikasi perlu disosialisasikan lebih lanjut oleh Pemerintah ke seniman. Begitu pula lembaga penjamin fidusia baik bank maupun nonbank, yang belum memahami betul skema karya seni sebagai jaminan fidusia, termasuk valuasi dan tolok ukurnya.
Deputi Bidang Ekonomi dan Produk Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Muhammad Neil El Hilman menjelaskan, pihak pengukur valuasi karya seni nantinya bisa dari bank maupun nonbank. “Fundamental mekanismenya ada di valuasi. Risiko-risiko terkait perbedaan nilai karya seni ini nantinya menjadi tugas valuator. Bagaimanapun bank akan percaya pada hasil penilaian tersebut,” ujarnya. Neil mengklaim, pihak bank tak akan keberatan dengan mekanisme ini selama ada aturan yang jelas dari Otoritas Jasa Keuangan. “Karena itu kami sedang bernegosiasi dengan OJK.”
PP No. 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif menyatakan pelaku ekonomi kreatif bisa menjadikan produk KI sebagai objek jaminan utang ke lembaga keuangan bank maupun nonbank. Aturan itu memberi angin segar bagi pelaku seni dan industri kreatif. Namun memang, implementasinya masih terusik sejumlah masalah struktural. Misalnya, dalam hal tata kelola hak cipta, serta akses pelaku ekonomi kreatif dalam memanfaatkan KI sebagai jaminan utang.
Ke depannya, FX Harsono mengusulkan adanya institusi yang merepresentasikan seniman dalam proses pengajuan KI sebagai objek jaminan. Dalam hal ini, galeri senilah yang diharapkan memainkan peran tersebut. Walau, menurut Harsono, sejatinya tak mudah bagi seniman Indonesia untuk bekerjasama dengan galeri seni dalam negeri. Ini karena belum banyak galeri yang menaruh perhatian penuh pada perkembangan seniman.
Peran galeri seni untuk ikut mengukur valuasi objek KI juga dinilai Maya sulit diimplementasikan. Ini karena belum banyak galeri di Indonesia yang aktif. Maya juga mengkhawatirkan kemungkinan adanya konflik kepentingan bila nantinya galeri seni terlibat dalam skema jaminan utang. “Karena bisa saja galeri tidak objektif, dan sudah punya senimannya masing-masing,” ujarnya.