Pandemi COVID-19 mengubah seluruh penduduk di dunia menjalani kehidupan apapun profesinya, tak terkecuali para seniman. Cara berkesenian pun mengalami perubahan drastis. Kegiatan seni yang awalnya banyak mengandalkan pertemuan langsung, kini perlu beradaptasi dengan pembatasan jarak dan protokol kesehatan lainnya demi mencegah penyebaran virus. Kondisi inilah yang akhirnya mendorong para pekerja seni putar otak mencari bermacam siasat agar tetap berkarya.
Podcast Ruang Usik-Usik (RUU) episode ini memotret siasat para seniman di tengah pandemi. Dua seniman, keduanya anggota Koalisi Seni, akan urun rembuk soal pengalaman mereka: Maria Tri Sulistyani (Ria), co-founder Papermoon Puppet Theatre, serta Fransiskus Delvi Abanit Asa, pastor sekaligus pendiri Komunitas Foho Rai.
Jika tak sempat mendengarkan secara penuh, simak transkrip yang dibuat oleh Dinita Amanda berikut ini:
Waktu | Transkrip |
00:25—2:06 | Naomi:
Pandemi COVID-19 mengubah seluruh penduduk di dunia menjalani kehidupan apapun profesinya tak terkecuali para seniman. Cara berkesenian pun jadi berubah sangat drastis. Nah, kegiatan seni yang awalnya banyak mengadakan pertemuan langsung sekarang perlu beradaptasi dengan pembatasan jarak dan protocol kesehatan lainnya untuk mencegah penyebaran virus. Kondisi ini lah yang akhirnya mendorong para pekerja seni untuk putar otak mencari bermacam siasat supaya bisa tetap berkarya. Podcast Ruang Usik Usik atau RUU kali ini bakal memotret siasat para seniman di tengah pandemi dan kali ini ada dua seniman, keduanya itu anggota Koalisi Seni bakal urun rembuk soal pengalaman mereka. Pertama Papermoon Puppet Theater diwakili Maria Tri Sulistyani atau Mbak Ria dari Yogyakarta, yang nantinya akan bercerita tentang strateginya beralih wahana dari pertunjukan langsung ke berbagai platform digital, serta kolaborasinya dengan seniman dari berbagai penjuru Indonesia dan juga dunia. Sementara itu Fransiskus Delvi Abanit Asa dari Nusa Tenggara Timur juga bakal berbagi soal kegiatan komunitas Foho Rai. Festival Kampung Adat Foho Rai yang tadinya akan diselenggarakan sama pemerintah tahun ini terpaksa batal, tapi kegiatan lainnya seperti kursus musik, kelompok tenun anak, dan persiapan pembuatan film pendek tetap berjalan. Nah di episode kali ini di Seniman Bersiasat, podcast Ruang Usik-Usik ini akan kita bahas tuntas caranya pegiat seni mengakali keterbatasan di tengah pandemi bareng Maria Tri Sulistyani atau Mbak Ria Co-Founder Papermoon Puppet Theater dan juga Fransiskus Delvi Abanit Asa yaitu pastor dan pendiri komunitas Foho Rai. Kita sapa dulu Mbak Ria, “Hallo apa kabar Mbak Ria?” |
2:06-2:11 | Maria:
Hallo Mbak Naomi, kabar baik terima kasih. Sehat semua! |
2:11-2:18 | Naomi:
Gimana nih kesibukannya selama pandemi yang sudah berlangsung, mungkin sudah hampir 8 bulan ya? |
2:18-2:21 | Maria:
Iya ya, nggak terasa udah lama ya. |
2:21-2:23 | Naomi:
Hampir mau setahun ya! Ngapain aja nih Mbak Ria? |
2:23-2:44 | Maria:
Menemukan format-format baru ya. Ngapain aja, yang jelas nggak kemana-mana ya di Jogja aja dalam kota, nggak bepergian. Imajinasinya kemana-mana yang bepergian bukan fisiknya, tapi imajinasinya. |
2:44-3:03 | Naomi:
Luar biasa! Ini aku jadi penasaran nih, seperti apa sih kalau tadi sempet kita obrolin sedikit ya aku bahas sedikit Papermoon dari yang normal sampai akhirnya diubah sedemikian rupa ke kondisi pandemi saat ini? |
3:03-4:02 | Maria:
Jadi sebenarnya tahun ini kami harusnya punya jadwal untuk touring ke 7 negara dan itu terjadi sebenarnya 8, tapi yang satu negara sudah berhasil dijalankan di bulan Februari kemarin. Nah dari Maret sampai Desember itu ada jadwal touring ke 7 negara dan kami punya Festival Teater Boneka International, Biennale International Puppet Festival. Namanya Pesta Boneka yang akan diadakan di Bulan Oktober besok. Rencananya di Jogja kami akan menjadi tuan rumah dari kurang lebih 30 kelompok seniman dari 17 negara. Jadi jadwalnya dari semula baik-baik saja kurang lebih seperti itu, tapi sekarang justru kami justru banyak menemukan banyak hal-hal menarik dari kondisi sekarang sebenarnya. Jadi mungkin itu seniman tuh kalau dipepet malah bunganya semakin muncul. |
4:02-4:04 | Naomi:
Makin bermekaran gitu ya! |
4:04-4:07 | Maria:
Semoga ya. |
4:07-4:20 | Naomi:
Boleh tau nggak mulai terbesit di awal-awal banget yang dipikirannya Mbak Ria ide pertama yang “tring” muncul sejak pandemi datang, bisa di ceritain sama kita mbak? |
4:20-5:44 | Maria:
Ide pertama yang muncul begitu pandemi datang justru itu kami berpikir untuk menanyakan kabar sahabat-sahabat kami di mana-mana. Jadi yang kami lakukan nomor satu adalah memetakan sebenarnya bentuknya kayak mapping, pemetaan, tapi sebenarnya kami bertanya kabar. Karena kami paham betul ini adalah bencana. Pandemi ini kan terjadi di seluruh dunia jadi yang ter-effect, yang terimbas bukan hanya Indonesia. Jadi di awal bulan April selama 18 hari kami bikin talk dengan 18 seniman teater boneka dari seluruh penjuru dunia untuk berbagi apa saja yang terjadi pada mereka, terus sebenarnya kita bukan ngomongin pandeminya malah tapi tentang proses pengkaryaan. Kenapa kami memutuskan itu? Karena waktu itu nomor satu kami pikirin “Kita tuh sebagai seniman bisa berbuat apa dalam kondisi seperti ini?” Ada nggak fungsi yang bisa kita lakukan pada hal seperti ini terjadi?” yang kami pikirkan waktu itu cuma satu mbak, yang adalah mewujudkan boosting positive energy. Jadi kekuatan fisik kita itu, stamina kita itu akan baik, Ketika energi kita positif. Jadi kemudian kami berpikir disitulah fungsi seniman yang bisa kami pilih. Akhirnya kami bikin talk, bertanya mewawancarai teman-teman yang dari 18 negara itu. |
5:44-5:47 | Naomi:
Kalau boleh tau 18 negara itu dari mana aja sih mbak? |
5:47-6:02 | Maria:
Delapan belas seniman. Kalau negaranya nggak sampai 18 negara sih karena ada yang satu negara dua seniman. Ada yang dari Amerika Serikat, Chili, Australia, Jepang, Singapore, Malaysia, Thailand, Vietnam jadi banyak banget sih. |
6:02-6:06 | Naomi:
Untuk Indonesia Mbak Ria sendiri? |
6:06-6:32 | Maria:
Dari indonesia karena kami sadar betul dunia itu kan besar sekali ya, jadi Indonesia memutuskan di hari terakhir yang ke-18 kami meng-interview diri sendiri. Jadi kemudian kami studio visit ke Papermoon karena banyak teman-teman justru bertanya “Ini Papermoon terus yang mewawancarai orang, tapi kami pengen tahu nih kalau Papermoon sendiri kabarnya apa kabar?” Ya udah kami tutup dengan itu. |
6:32-6:45 | Naomi:
Wah keren banget Papermoon, tapi kalau tadi Mbak Ria bilang mewujudkan boosting positive energy. Gimana Papermoon itu mengubah kegiatan yang tadinya ada untuk beradaptasi di kondisi saat ini? |
6:45-9:10 | Maria:
Sebenarnya ini semua itu balik ke konsep awal dan alasan kenapa kita bikin karya. Aku pikir itu yang dipegang pertama oleh seniman ketika membuat karya dengan media apapun. “Sebenarnya apa sih alasannya kamu bikin karya?”, “Apa yang ingin kamu sampaikan kepada orang lain?”, “Kenapa orang lain perlu menyaksikan atau mengapresiasi karyamu?” Itu perlu dipertanyakan nomor satu menurut kami. Jadi setelah kami bikin “In This Time: Series of Talk,” kami kemudian bikin beberapa karya yang memang kami lakukan secara daring. Yang pertama justru distribusikan lewat Whatsapp, jadi malah nggak pakai Youtube, nggak pakai channel-channel besar, tapi memang itu dibuat sangat personal. Bahwa kami mengirim pertunjukan-pertunjukan itu ke kantong celana atau kantong rok teman-teman biar ditonton di rumah sendirian, jadi kami lakukan judul karyanya “Storyteller.” Lalu berganti lagi kami mempelajari banyak hal, kami bikin Puppet Lab secara virtual jadi itu sebuah workshop membuat pertunjukan teater boneka yang kami tujukan untuk beberapa kelompok seniman teater boneka yang kebetulan based-nya semua di Jogja. Sebenarnya lebih untuk “Yuk ayo kita sama-sama” karena itu bulan ke empat ya habis semasa pandemi kami mikir kayaknya banyak teman yang merasa “Harus bikin lagi mulai bikin karya gimana caranya?” jadi kami berfikir, “Yuk kita sharing” teman ngobrol untuk membicarakan bikin karya itu adalah hal yang penting pada saat sekarang. Akhirnya pada waktu itu kami ada 3 kelompok yang kemudian menelurkan karyanya di bawah payung Pupa: Puppet Lab itu. Nah, setelah itu ada dua karya lain yang kami buat, kami bahkan jual tiket, ada proses-proses yang kami berkolaborasi juga dengan beberapa pihak, seperti salah satunya ada karya kami judulnya “A Bucket of Beetles” itu kami pentaskan bersama teman-teman dan Patjarmerah sebagai penyelenggara. Kedua di Sumonar Fest kami bikin “I Know Something That You Don’t Know” dan yang menarik adalah sebenarnya karya-karya itu jadi borderless. Jadi yang nonton dari mana-mana, dari seluruh penjuru dunia, dari pulau-pulau lain di Indonesia. Kami merasa ada peluang bagus dan besar dan potensi yang luar biasa dari karya virtual sebenarnya. |
9:10-9:16 | Naomi
Tapi kalau untuk tanggapan dari seluruh audiens terhadap perubahan itu gimana mbak? |
9:16-10:40 | Maria
Ini sebenarnya diluar dugaan sih mbak. Jadi kebetulan sejak pertama kami bikin “Storyteller” yang memang itu sebenarnya ketika seorang beli tiket lalu mereka memberi tema ke kami, dan kami akan menjahitkan tiga tema random untuk dijadikan pertunjukan. Jadi itu sangat intim karena orang bisa kasih tema, jadi misalnya nih Mbak Naomi beli tiket satu, lalu kamu kasih tema misal Ayam. Kemudian aku akan menjahit Ayam, Kue, dan Cinta untuk dibikin satu pertunjukan itu dilakukan oleh teman-teman Papermoon. Hasil karya itu direkam lalu dikirimkan lewat Whatsapp, jadi memang itu peristiwa yang sangat personal. Nah itu karya pertama yang lahir di masa pandemi kami ngelahirin karya itu, bahwa setiap orang bisa memiliki karya yang pertunjukan mereka sendiri. Waktu itu kami memutuskan coba aja lah, kemudian kuotanya penuh juga. Dari 100 kuota yang kami sajikan semuanya 100 kuota itu sold out. Lalu kami bikin sampai dua seri, tanggapannya sangat baik sekali waktu itu. Tentu saja waktu orang seperti dapat kejutan “Wah videonya kayak gini.” Ketika kami buat pertunjukan yang lebih besar yang kemudian juga di ticketing “A Bucket of Beetles” diluar dugaan semua orang tiketnya sold out dalam waktu tiga hari kalau nggak salah. |
10:40-10:43 | Naomi
Tiga hari sold out. |
10:43-11:13 | Maria:
Tiga hari sold out. Ada sekitar 960-an penonton dari seluruh penjuru dunia. Dari Indonesia tentu saja paling banyak, ada 10 negara kalau nggak salah yang nonton pertunjukan itu dan liveness-nya terasa. Karena setelah pertunjukan kami juga bikin space tour, artist talk, jadi memang penonton dilibatkan dalam pembicaraan kan mbak jadi mereka merasa hadir disitu. |
11:13-11:14 | Naomi
Jadi nggak pasif ya? |
11:14-11:47 | Maria:
Iya betul, jadi nggak hanya nonton aja. Kita berusaha membangun bahwa kemudian “apa sih teater?” Tujuannya kan pertemuan ya. Jadi ya memang kami merawat pertemuan itu sebenarnya. Ya nggak bisa di bandingin memang, kami sudah tidak ingin membandingkan lagi mana yang lebih enak daring atau luring. Karena bagi kami itu dua hal yang sangat berbeda, dua-duanya punya potensi yang sama besarnya. Enaknya sih ngulik positifnya aja, ada kekurangan dan kelebihan tapi itu bukan untuk dibandingkan menurut saya. |
11:47-11:48 | Naomi:
Karena keduanya sama-sama baik. |
11:48-12:37 | Maria:
Betul! Karena sama-sama baik dan sama-sama punya kemungkinan dan potensi. Saya berpikirnya banyak orang bilang “Wah daring tuh abcde, minusnya ini-itu, ini-itu. Tapi, kalau saya prefer teman-teman yang di Maumere bisa menonton langsung secara bersamaan. Kapan Papermoon bisa berangkat ke Maumere untuk mementaskan ini? Nggak tahu, kita punya keterbatasan dana untuk melakukan itu. Teman-teman di New York bisa nonton sambil sarapan premier dari Jogja. Memang tidak bisa disamakan, tapi menurut saya ini adalah waktunya untuk menanamkan konsep. Jadi suatu hari nanti perjalanan ini dimungkinkan kembali mereka punya ingatan atas menonton sesuatu atau melihat sesuatu yang mereka ingin betul disambangi suatu hari nanti. |
12:37-13:00 | Naomi:
Nah ini makin seru nih sobat RUU. Nanti kita bakal lanjut lagi Mbak Ria tahan dulu. Sebelum kita melanjutkan pertanyaan ke Papermoon, saya mau denger nih nih! Bagaimana pandemi ini mengubah dan mempengaruhi komunitas dan Museum Foho Rai di Nusa Tenggara Timur. Sekarang kita simak cerita dari Romo Fransiskus Delvi Abanit Asa pendiri komunitas Foho Rai berikut ini. |
13:00-17:37 | Romo Fransiskus
Sebenarnya ketika kita mendengar istilah pandemi dengan situasi sekarang dari bulan Maret kemarin, jujur saja teman-teman kita syok dengan arus ekonomi yang mendadak hampir status seperti ini, tapi dengan semangat teman-teman Foho Rai juga kita tetap saling mendukung, saling membangun semangat terus-menerus.
Apalagi kami di daerah ini mau nggak mau support itu harus dibangun. Dari situ memang hanya menjadi energi sisa yang harus kami pupuk bersama dengan teman-teman dan sebagai komunitas memang kami di Bantek anak-anak muda ini bergerak secara filantropi. Kami semua ada beberapa orang bergerak secara filantropi murni memang tidak target profit–oriented tidak berusaha untuk mencoba membangun hal baru. Siapa tahu ya tuhan, leluhur atau semesta ini bisa berpihak dengan usaha yang kami rintis dengan teman-teman. Memang di Atambua, memang belum ada museum karena itu memang inisiatif ini muncul, kita bertukar pikiran dengan teman-teman ada niat untuk buat satu museum budaya dengan segala keterbatasan kita buat di kampung Matabesi. Konsep museum ini memang kami rancang agak sedikit lain dari yang biasa. Kami punya dua konsep untuk Museum Foho Rai ada dua konsep pendukung. Pertama kita ambil konsep open-air museum dan yang kedua indoor-air museum yang artinya bangunan yang kita gambarkan seperti itu. Kalau open-air kita menggandeng kawasan kampung adat yang tadi disebutkan, kampung adat Matabesi dengan kekayaan cluster rumah-rumah adat yang ada disitu sebagai satu pusat orang-orang peradaban kultur orang-orang Belu. Satu kluster yang penting juga di wilayah budaya masyarakat Belu yang memang kawasannya terbuka dan kami lihat ini bisa jadi semacam galeri adat dan budaya open air-nya itu bisa menjadi pusat studi, kemudian ada ekosistem kebun-kebun itu kita tata untuk menghidupkan kembali ekosistem makanan lokal. Ada herbal atau obat-obatan tradisional, atau jenis tanaman yang dulu ada dan sekarang mulai berkurang. Itu yang kita perjuangkan untuk lini konsep open-air nya. Sedangkan konsep indoor-nya yang dalam bentuk bangunan modelnya tidak mentereng tapi mengambil dari rumah-rumah adat, rumah panggung, bangunan tradisional. Didalamnya kita akan mengoleksi artefak-artefak kekayaan budaya tentunya ada di Belu. Kami sudah bergerak sejak tahun 2018, kerjasamanya itu sinerginya sama-sama pelakon Indonesiana dari Kemendikbud, Ditjen Kebudayaan. Kegiatan yang kami lakukan memang ada beberapa, salah satunya tadi kegiatan Festival Budaya Kampung Adat yang memang sudah dikenal sebagai Festival Foho Rai. Tapi, kegiatan ini lebih kepada kegiatan kolaborasi komunitas Foho Rai dengan platform Indonesiana. Sebenarnya ada ancang-ancang lagi kegiatan di 2020, tetapi karena pandemi ini akhirnya semua ini kita sesuaikan. Kemudian ada beberapa kegiatan lain yang menjadi inisiatif komunitas. Sebagai komunitas kita punya bagian-bagian yang semacam divisi. Memang tanpa kita abaikan standar protokol COVID-19 itu juga punya aktivitas kecil-kecil untuk buat kajian-kajian sosio-antropologi. Karena memang ada yang bagian videography, kita buat film-film pendek, kemudian fotografi dengan teman-teman fotografi, ada juga yang desain grafis. Memang ada mimpi untuk punya koperasi dan kembangkan ekonomi kreatif berbasis eco-culture, yang berbasis budaya. Ya pokoknya semoga ya! Mungkin suatu saat akan menjadi kenyataan. |
17:37-17:53 | Naomi:
Itu tadi penjelasan dari Romo Delvi pendiri Komunitas Foho Rai, sebelum kita lanjut untuk mengupas lebih dalam lagi berbagai cara pegiat seni bisa mengakali keterbatasan di tengah pandemi kita mesti break dulu. |
17:53-18:14 | Break |
18:14-19:20 | Naomi:
Halo we’re back! Kamu masih mendengarkan podcast Ruang Usik Usik. Podcast ini diproduksi oleh Koalisi Seni dan KBR dan akan menyiarkan langsung di platform Spotify dan KBR.prime.id, saya Naomi Liandra. Pandemi COVID-19 nggak akan menghalangi seniman yang tampil untuk kembali ke panggung pementasan, tapi semuanya perlu dong siasat untuk bertahan. Nah kita masih obrolin seniman bersiasat bareng Mbak Ria, Mbak Maria Tri Sulistyani co-founder Papermoon Puppet Theater dan kita udah ngobrolin banyak banget ya Mbak Ria ya. Keseruannya Papermoon ini yang membuat hal out-of-the box. Dari 3 kata dirangkai menjadi suatu pementasan itu luar biasa! Itu biasanya, dipakai oleh MC ulang tahun loh mbak. Kita coba lanjut lagi ya, kalau ngomongin soal seniman itu punya tantangannya sendiri kan untuk menyiasati setiap keadaan. Perlu nggak sih para seniman ini bersatu untuk menguatkan ekosistem seninya mereka? |
19:20-20:28 | Maria
Sebenarnya ini adalah titik yang jadi menarik selama pandemi ini tuh aku dengar dan terlibat di beberapa pembicaraan teman-teman tuh bergandengan tangan mbak, itu yang menjadi seru. Biasanya sibuk sendiri-sendiri sekarang jadi punya waktu yang kemudian nanya kabar memikirkan, lalu jalan ini mau dibawa kemana dan kesadaran bahwa kita harus berjalan bersama untuk berkolaborasi. Aku pikir itu adalah hal paling penting yang dilakukan sekarang karena ini momennya, ini tepat banget. Karena menurut aku jalan bersama itu bikin kita kuat, di satu titik aku merasa seperti itu ya. Jadi ini bukan saatnya dimana kita dorong-dorongan ingin milih satu panggung untuk sendiri, ini bukan momennya yang tepat dan kayaknya udah bukan saatnya lagi untuk melakukan hal itu. Aku di Papermoon, kami merasa kami bisa melakukan ini semua karena kami merasa kita tidak sendirian bahwa ada pihak-pihak lain yang terlibat yang bekerjasama untuk mewujudkan ini. |
20:28-20:33 | Naomi:
Jadi bisa di bilang saat ini adalah yang paling erat ya mbak? |
20:33-20:40 | Maria:
Yap, betul banget. Masa sulit tuh malah bikin kita lengket ya. |
20:40-20:50 | Naomi:
Dukungan apa aja yang diperluin dari berbagai pihak-pihak yang terlibat supaya proses berkesenian Papermoon itu bisa semakin maju? Apalagi di masa pandemi ya dan pasca pandemi nanti. |
20:50-22:22 | Maria:
Sebenarnya yang nomor satu dari menurut kami dari lingkungan terdekat ya mbak, maksudnya potensi itu ada dan kami realistis lah. Kami membayangkan lingkaran teman-teman terdekat kira-kira kita bisa saling membantu dengan cara apa. Jadi bekerjasama itu kan untuk menguntungkan semua pihak, bekerjasama itu tidak hanya menguntungkan satu pihak. Jadi ada kontribusi pada karya Papermoon juga kepada perjalanan teman-teman yang lain. Nomor satu itu, lihat lingkaran terdekat, teman-teman, kemungkinan-kemungkinan lingkaran terdekat itu perlu dipetakan sebagai bentuk kekuatan. Terus kalau mau lebih jauh aku berfikir, kita itu berada di ekosistem yang mana sih? Perlu selalu diingat kalau kita itu warganegara dan bukan hanya Indonesia, tapi warganegara dunia. Jadi kemungkinan itu seperti RT, RW, Kelurahan, Kecamatan sebenarnya, kalau aku sih cara berpikirnya seperti itu aja. Dari lingkungan yang paling kecil kemudian kita membutuhkan teman-teman seperti Koalisi Seni, atau organisasi-organisasi lain yang kemudian bisa memungkinkan kita bergandengan bersama. Tentu saja negara juga penting keberpihakan mereka atas kreasi para warga negaranya itu menurut aku juga penting. Lalu ya itu tadi, warga negara dunia. Kita posisinya dimana sih di dunia? Kita punya peluang berkontribusi sebagai kehidupan sebagai warga negara dunia itu kemudian yang perlu dipetakan oleh para seniman juga. |
22:22-22:29 | Naomi
Kalau dari pemerintah bagaimana Mbak Ria melihat dukungannya? |
22:29-24:00 | Maria
Kalau buat Papermoon sendiri sih gini ya mbak, kami merasa Ketika pemerintah mendukung seniman artinya pemerintah juga perlu dukung pihak yang lain. Karena aku berpikir kita posisinya warga negara Indonesia equal. Jadi maksudnya kalau kita dapat dukungan dari pemerintah ya kita punya kontribusinya apa kepada masyarakat. Jadi seniman perlu ditanyakan fungsi kita ada di masyarakat. Kalau dari pemerintah sendiri sebenarnya, ini sekarang kami sedang senang sekali karena bulan depan ini Papermoon punya festival yang saya bilang Pesta Boneka di Biennale International Puppet Festival yang memang sudah kami dicanangkan sejak 2 tahun. Itu acara dua tahunan kan mbak, dan tahun ini Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta punya komitmen untuk men-support penuh festival ini. Jadi kami masih bisa menyelenggarakannya secara virtual dan teman-teman dari mancanegara tetap berbagi di kanal dan ini mungkin akan menjadi Festival Teater Boneka Internasional pertama yang terjadi di dunia secara virtual. Jadi ketika pemerintah bilang “Okay, we will be supporting you” itu menurut saya sip banget! Karena ada pergerakan warganegarannya yang memang didedikasikan untuk dunia bahkan itu juga di support oleh negara, menurut saya perlu diapresiasi sih. |
24:00- 24:16 | Naomi
Itu yang sangat perlu diapresiasi. Kalau aku mau tau nih misalnya Mbak Ria dikasih kesempatan untuk mengubah keadaan di kondisi sekarang nih.
Apa yang perlu dilakukan oleh pemerintah swasta atau masyarakat umum supaya mendukung para seniman melewati masa pandemi sekarang ini? |
24:16 – 25:25 | Maria
Aduh, gitu ya pertanyaannya? Agak berat ya haha. Kalau saya sih nomor satu juga ya itu tadi ya. Masalahnya sekarang bergandengannya itu loh mbak. Ketika kita selalu menuntut, kita menuntut pemerintah untuk melakukan A artinya senimannya apakah sudah melakukan A? Jadi kemudian duduk bersama saling mendengar itu penting. Kemudian mendiskusikan bersama dengan.. ya sudah cari titik tengah.Ini yang biasanya itu sulit cari titik tengah karena seniman biasanya punya cara berfikir sendiri dan pemerintah punya bahasanya sendiri. Bertemu di tengah-tengah itu yang kemudian akan mengakomodir yang aku pikir PR terbesar sekarang. Cuma sekarang aku lihat sekarang banyak sih teman-teman yang sudah mulai di support pemerintah untuk acara-acara daring. Terutama di masa pandemi ini, sekali lagi ini yang patut di apresiasi, tapi semoga semakin lebih banyak ya haha. |
25:25-25:30 | Naomi:
Karena sebenarnya mufakat itu ya yang diperlukan |
25:30 – 25:43 | Maria:
Iya bener banget! Maksudnya kita baik nuntut, tapi kemudian apakah kita sudah melakukan hal yang memang itu punya kepentingan buat banyak orang bukan untuk diri sendiri, itu juga penting. |
25:43 – 25:57 | Naomi:
Mantap sekali! Kalau itu harapan dari Papermoon ya, terus gimana nih harapan dari komunitas Mohorai? Kembali kita simak penuturan Romo Fransiskus Delvi Abanit Asa pendiri Komunitas Foho Rai setelah yang satu ini |
25:57 – 28:53 | Romo Fransiskus:
Pandemi ini kami di pinggiran ini menjadi salah satu.. ya kalau kalian mau lihat dari kacamata kami, kami menjadi klaster yang terdampak. Artinya belum kesasar dari kelihatannya seperti itu. Ya semoga statisnya itu hanya sebatas di terdampak saja dari korban sasaran dari pandemi. Pokoknya kita tidak enak lah! Sebut istilah pandemi ini tidak enak karena banyak hal harus mandek, kita harus dapat dampak global seperti ini. Mau bagaimana WHO sudah bilang pandemi jadi kita ikuti saja sesuaikan saja dengan protokol yang sudah berjalan. Kami disini JEF, Foho Rai itu memang kumpulan anak-anak muda, kami anak milenial katakanlah begitu. Mereka sangat filantropi, tapi perlu ditekankan bahwa filantropinya kami tentunya bukan karena berduit. Kan kita kerja pakai melihat itu hanya karena ada mimpi dan obsesi sebagai satu panggilan untuk bisa menjalin rangkaian peradaban baik yang mungkin selama ini masih terkubur, kita coba gali dengan satu model yang lebih baik ya. Jadi antara kami rata-rata pekerja.Mereka itu ada fotografer, ada videografer, ada yang desain grafis dan pekerja-pekerja lepas lain. Yang kami impikan itu dukungan sebenarnya. Dukungan stakeholder, dan kemandirian itu yang kami butuhkan seperti itu, yang kami impikan dan dambakan. Jadi stakeholder itu kan bisa pemerintah, bisa juga swasta, baik dari pusat maupun daerah. Jadi proses berkesenian memang harus bebas dan harus kreatif, selebihnya hanya dukungan dan perhatian. Ya sebagai komunitas sangat tidak nyaman kalau ada intervensi karena kalau ada intervensi dengan kondisi situasi politik, kita kadang-kadang juga bisa tersendat. Tapi itu di situasi mau-tidak mau memang harus kita hadapi, namun intinya itu kita membutuhkan dukungan. Dalam kebebasan ini memang orang sini bisa berkreasi apa saja tentunya. Stakeholder memang bagi kami itu wajib menghargai kreativitas dan itu menjadi poin penting kreatif kami untuk bisa menjadi atmosfer yang bagus, harus bisa lepas dari intervensi dan kebijakan-kebijakan pendanaan. Bagi kami itu kalau dibuat lebih bagus lagi itu ya itu jadi atmosfer yang bagus lah untuk berkembangnya semangat ini. |
28:53- 29:17 | Naomi:
Dari perbincangan RUU episode kali ini, kita jadi tahu ya bahwa para pelaku seni itu tidak berpasrah diri menghadapi pandemi, tapi justru dalam kondisi ini mereka teruji melahirkan siasat yang diperlukan untuk tetap melanjutkan karya dan malah semakin erat. Terima kasih Mbak Maria, co-founder dari Papermoon Puppet Theater dan juga Fransiskus Delvi Abanit Asa, pastur dan pendiri komunitas Foho Rai untuk ceritanya. |
29:17 – 29:20 | Maria:
Terima kasih Mbak Naomi, terima kasih semua. |
29:20 – 29:22 | Naomi:
Terima kasih ya Mbak Ria. |