/   Kabar Seni

Jakarta – Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay mengapresiasi pemerintah karena telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 114 Tahun 2022 tentang Strategi Kebudayaan. Dokumen ini adalah amanat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan yang disahkan sejak lima tahun silam. Kendati demikian, masih ada pekerjaan yang perlu dilakukan.

Salah satunya adalah penyusunan Rencana Induk Kebudayaan Nasional (RIPK). Dalam dokumen ini, pemerintah menerjemahkan Strategi Kebudayaan dalam berbagai perencanaan program kerja. RIPK dapat memperbanyak alokasi anggaran dan program pemerintah yang ditujukan untuk memajukan kebudayaan.

“Strategi Kebudayaan akhirnya ditandatangani Presiden Jokowi beberapa hari lalu. Padahal dokumennya sejak 2018 sudah selesai dan ada di meja Presiden,” ujar Hafez dalam diskusi daring bertajuk “Aturan Perundangan Pro-Demokrasi: Setelah Ada, Lalu Apa?” pada Rabu, 21 September 2022.

Hafez mengatakan, selain menjabarkan aspirasi masyarakat ke dalam program, RIPK juga menjadi dokumen krusial karena menjadi salah satu dasar penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Saat ini pemerintah sudah mulai merancang RPJPN 2022-2045. Karena itulah penyusunan RIPK harus dilakukan secara cepat agar dapat disusulkan dalam RPJPN tersebut. Tentu tanpa mengabaikan kualitasnya, agar kerja keras masyarakat dan asosiasi profesi bidang kebudayaan sejak 2018 tidak sia-sia.

Keberadaan RIPK sebagai salah satu dasar RPJPN dianggap Hafez sebagai salah satu substansi yang istimewa dalam UU Pemajuan Kebudayaan. Sebab, selama ini aspek kebudayaan selalu dianaktirikan dalam perencanaan pembangunan nasional.

Keistimewaan lainnya dalam dokumen ini adalah, substansi permasalahannya berasal dari masyarakat sendiri. Misalnya, dalam penyusunan PPKD, pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator dari forum aspirasi di masyarakat. Penyusunan ini pun dilakukan secara berjenjang dari PPKD kabupaten kota, PPKD provinsi, hingga Strategi Kebudayaan yang berlaku secara nasional. “Ini berbeda karena biasanya pemerintah membuat kebijakan secara top-down,” ungkap Hafez.

Dia menekankan bahwa upaya penyusunan RIPK dan memasukkannya ke RPJPN tak bisa dilakukan oleh Koalisi Seni sendirian. Dia mengharapkan pemangku kepentingan lainnya, termasuk dari organisasi pegiat hak asasi manusia, untuk mengawal proses ini agar sesuai dengan amanat UU Pemajuan Kebudayaan. 

“Kami mengajak stakeholders untuk mengetahui bahwa ini ada dan bagaimana dampaknya jika tidak mengawal (proses penyusunan RIPK),” kata Hafez.

Dokumen Strategi Kebudayaan adalah hasil konsolidasi lebih dari 300 dokumen Pokok Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Penyusunan dokumen juga melibatkan puluhan asosiasi profesi bidang kebudayaan yang berpartisipasi dalam Kongres Kebudayaan Indonesia 2018. Proses penyusunan RIPK sebenarnya telah dimulai sejak 2019 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Namun, proses ini tertunda lama karena presiden tak kunjung mengesahkan.

Moyang Kasih Dewimerdeka

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.