/   Kabar Seni

Jakarta – Selain di galeri fisik dan digital, karya seni juga bertaburan di media sosial. Mulai dari Tik Tok, Instagram, Youtube, Facebook, Pinterest, dan lainnya. Beragam kanal itu sebenarnya sudah menyediakan perlindungan hak cipta atas karya seni, lewat regulasi berikut sanksi yang ketat. Regulasi ini sekaligus menunjukkan bahwa hak cipta di era digital amat rentan dilanggar. Lalu bagaimana cara menyikapinya?

Peneliti Kebijakan Seni Koalisi Seni, Aicha Grade Rebecca menjelaskan, penting atau tidaknya mencatatkan hak cipta sebuah karya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, bergantung pada kebutuhan dan kemampuan si penciptanya sendiri. Jika sejak awal si pencipta berniat untuk memonetisasi karyanya, maka sudah semestinya ia mengajukan permohonan pencatatan hak cipta. Ini penting untuk melindungi si pencipta jika terjadi pelanggaran hak cipta.

Adapun pada prinsipnya, kekayaan intelektual terbagi atas dua rezim, yakni “yang pertama memakai” dan “yang pertama mendaftar”. Sedangkan untuk hak cipta, sifatnya “declaratoir”: karya mendapat perlindungan ketika sudah dideklarasikan dalam format yang sudah difiksasi.

Untuk perlindungan awal, kata Aicha, ada baiknya si pencipta karya seni menyimpan karyanya di “wadah digital” seperti google drive. “Jadi saat pertama kali karya itu dideklarasikan, perlindungan hukumnya sudah dimulai karena punya tanggal pencatatan,” ujarnya dalam webinar “Cegah Pelanggaran Hak Cipta di Media Sosial” yang digelar Siberkreasi dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, 13 September 2022.

Begitu pun dari sisi pengguna media sosial, mesti memahami dua hak yang terkait dengan hak cipta, yakni hak moral dan hak ekonomi. Derasnya produksi konten di media sosial membuat dua hak di atas kadang diabaikan. Padahal itu berpengaruh terhadap tanggung jawab kita saat menggunakan karya orang lain dalam produksi konten. “Dalam konteks ini harus jelas, apakah karya orang yang kita pakai di konten untuk penggunaan pribadi ataukah komersial,” kata Aicha.

Jika kita memakai karya orang untuk memperkaya konten pribadi, maka kita bisa mengakui hak moral pencipta dengan menyebutkan judul atau nama kreasinya. Namun jika tujuan kita bersifat komersial, kita bisa mengacu pada aturan yang diterapkan platform medsos. Ini karena si pencipta biasanya sudah bekerjasama dengan platform medsos perihal hak ekonominya.

Pelanggaran hak cipta bisa terjadi bila seseorang menggunakan karya orang lain tanpa menyertakan sumber aslinya. Bentuknya tak hanya lagu, tapi juga video, foto, maupun gambar yang sebenarnya dilindungi sebagai ciptaan dalam Undang-Undang No.28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. 

Adapun bila pun terjadi pelanggaran, penyelesaiannya bisa ditempuh di dalam maupun di luar jalur hukum. Youtube, misalnya, biasa mengirim notifikasi otomatis bila ada konten baru yang menyerupai konten lainnya. Jika terjadi kasus semacam ini, ada dua opsi penyelesaian. Yakni via klaim teguran, atau lewat klaim Content ID, sistem sidik jari digital yang dikembangkan Google untuk mengidentifikasi dan mengelola konten dengan hak cipta di Youtube. 

Selanjutnya, Aicha menambahkan, Youtube bisa berkeputusan menghapus konten yang melanggar hak cipta, hingga melarang si kreator memproduksi konten lagi. “Jadi ada banyak mekanisme penyelesaian yang bisa diambil dalam kasus dugaan pelanggaran hak cipta,” ujarnya.

Isma Savitri

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.