/   Kabar Seni

Jakarta – Wakil Ketua Badan Perfilman Indonesia Dewi Umaya menilai perlu ada acuan standar (standard operational procedure atau SOP) untuk kasus dugaan kekerasan seksual (KS) di industri film. Hal itu penting mengingat selama ini, penanganan atas dugaan kasus KS di ranah perfilman belum punya mekanisme pelaporan yang disepakati bersama. “Pekerjaan rumah kita adalah menyiapkan aturan main yang jelas di industri film sebagai upaya menyediakan ruang aman dari KS,” ujar Dewi dalam diskusi dengan Koalisi Seni beberapa waktu lalu.

Dewi mengatakan, SOP nantinya bisa menjadi tumpuan pekerja film di segala lini. Mulai dari praproduksi, hingga pascaproduksi. Ia mencontohkan proses pembahasan naskah (script conference) yang bisa menjadi kesempatan untuk menyampaikan SOP ruang aman dari KS. Terlebih bila film yang tengah diproduksi adalah film dengan penonton kategori dewasa yang memuat adegan intim. 

Di luar negeri, kata Dewi, ada yang disebut koordinator intimasi. Tugasnya adalah untuk menjembatani aktor, sutradara, dan tim produksi dalam pengambilan gambar di adegan-adegan intim. Adegan yang dilakukan di ruang tertutup, mesti disepakati semua pihak. “Kalau aktor perempuan atau laki-lakinya enggak mau, dia bisa mundur sejak awal. Karena kalau aktornya tidak nyaman tapi dia dipaksa untuk tetap melakukannya, itu tergolong kekerasan seksual,” ujar dia yang pernah memproduseri sejumlah film termasuk Minggu Pagi di Victoria Park

Selain menyiapkan SOP, Dewi menganggap perlu adanya kode etik yang sebagai tumpuan pekerja film. Kode Etik ini nantinya tak hanya mengatur pencegahan, tetapi juga mekanisme pengaduan dan penanganan berbagai kasus, mulai dari kekerasan seksual, narkoba, dan lainnya. Tujuannya, agar jika terjadi aduan kasus yang melibatkan pekerja film, korban mendapatkan penanganan yang layak.

Jangan sampai, kata Dewi, pemulihan korban dilupakan karena kita sibuk menghukum si pelaku. “Korban harus ditemani, itu prioritasnya. Jangan sibuk ke sana-sini mengejar rasa bersalah si pelaku dan malah melupakan korban.”

Koordinator Peneliti Koalisi Seni Ratri Ninditya menambahkan, perbaikan mekanisme aduan dan penanganan dugaan kasus kekerasan seksual di ekosistem film mesti dilakukan paralel. Baik itu di sektor industri, komunitas, maupun organisasinya. Harapannya, agar penanganan aduan kasus tak berhenti di “hukuman sosial” untuk si terduga pelaku, tetapi juga menyentuh aspek pencegahannya. “Penting untuk mempersiapkan mekanisme yang bisa mencegah kejadian serupa terjadi di masa depan,” ujar Ratri. 

Isma Savitri (dari Youtube KOALISI SENI, “Kekerasan dalam Industri Film, Sejak Kapan?”)

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.