/   Advokasi, Kabar Koalisi Seni, Kebebasan Berkesenian
Diskusi “Sastranya Begini, Bebasnya Begitu”. Foto oleh: Koalisi Seni/Margaret Megan

Pada 5 Juni 2024 Koalisi Seni menghelat diskusi kebebasan berkesenian terkait sastra bertajuk Sastranya Begini, Bebasnya Begitu di Ruang Serba Iya, Atelir Ceremai. 

Koordinator Penelitian Koalisi Seni, Ratri Ninditya menjelaskan dari total 197 kasus pelanggar kebebasan berkesenian, terdapat 12 kasus pelanggaran di bidang sastra. Kasus yang mengemuka antara lain: Pembredelan Suara USU karena cerpen bertema LGBTIQ, larangan atas acara bertema 1965 di UWRF 2015, dan penyerangan pemeran Widji Thukul.

Aldiansyah Azura, penyair, aktor, dan manajer program Atelir juga merasakan keresahan yang sama terhadap pembatasan ruang berkarya yang mengangkat gender minoritas atau isu sensitif lainnya. Banyak siasat yang harus dipersiapkan ketika berkarya dan menyelenggarakan diskusi atau acara serupa untuk menghindari intimidasi dari berbagai macam pihak.

Situasi ini juga diperparah dengan adanya draft RUU Penyiaran yang berpotensi menghalangi pemenuhan hak-hak kebebasan berkesenian. Koalisi Seni menemukan tiga masalah utama dari RUU Penyiaran. Diantaranya adalah lahirnya lembaga sensor baru yang mengancam kebebasan seniman untuk berkarya akibat perluasan tugas dan wewenang dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dari yang sebelumnya mengawasi menjadi mengatur isi dan konten siaran. Potensi kriminalisasi dan pembungkaman pada seniman akibat kewajiban sensor internal guna mematuhi (Pedoman Perilaku Penyiaran) P3 dan (Standar Isi Penyiaran) SIS yang didasarkan pada nilai subjektif dan multitafsir seperti agama, moral, dan adat istiadat dan penyempitan ruang sipil akibat perluasan ruang lingkup penyiaran ke ranah digital dari yang semula hanya mencakup televisi dan radio yang menggunakan frekuensi publik. Lebih lanjut, baca opini editorial Koalisi Seni mengenai RUU Penyiaran di sini.

Ratih Kumala, penulis skenario Gadis Kretek, mengungkapkan kecemasannya terhadap draft RUU Penyiaran tersebut. “Kalau dari aku sebagai penulis skenario, tentu ada kecemasan. Gini deh, kenapa Gadis Kretek tayangnya di Netflix? Bukan di televisi atau film layar lebar? Ya adegannya aja ngerokok. KPI aja udah nggak ngebolehin adegan ngerokok. Nanti semua di-blur. Terus mau dijadiin Gadis Kresek gitu? Kan agak susah ya.”

Penulis dan filsuf, Martin Suryajaya mengamati bahwa ada tren pelanggaran pasca-reformasi dalam kebebasan sastra. Pertama, jika pelanggaran kebebasan bersastra sampai era Orba digawangi oleh Negara, pada era Reformasi lebih banyak dilandasi oleh ormas (non-state actors). Kedua, jika dulu pelanggaran sering terkait dengan ideologi politik, sekarang lebih banyak soal moral: pornografi, LGBT, dan lain-lain. Ketiga, sekalipun UU PNPS 1963 yang memberi kewenangan Jaksa Agung untuk bredel buku dicabut lewat Putusan MK 2010, tapi Negara masih sering tunduk pada ormas.

Selagi RUU Penyiaran belum disahkan, sudah saatnya para seniman atau pekerja seni dan kreatif bersuara akan pentingnya kebebasan berkesenian. Bisa mengidentifikasi indikator pelanggaran dan saling berkolaborasi atau berserikat bisa menjadi kunci untuk menghadapi tantangan yang ada. 

Kamu bisa singgah ke kebebasanberkesenian.id untuk mencari tahu lebih lanjut tentang apa itu kebebasan berkesenian dan melaporkan pelanggaran kebebasan berkesenian di layanan aduan.

Ditulis oleh: Amalia Ikhlasanti
Tulisan Terbaru

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.