/   Kabar Seni

Diskusi Royalti Hak Musisi, Bukan Cuan Industri, Kios Ojo Keos. Foto: Koalisi Seni/Margaret Megan

Jakarta, 21 dan 22 Oktober 2024Federasi Serikat Musik Indonesia (FESMI) bersama Koalisi Seni menghelat diskusi publik “Royalti Hak Musisi, Bukan Cuan Industri” di Earhouse, Tangerang Selatan dan Kios Ojo Keos, Jakarta Selatan untuk membahas urgensi perlindungan hak royalti bagi musisi. Diskusi ini bertujuan untuk menyoroti pentingnya perlindungan hak royalti bagi musisi di tengah industri musik digital yang terus berkembang dan respons terhadap berbagai pemberitaan yang mengangkat ketidakadilan yang dialami musisi dalam mendapatkan royalti.

Sejumlah pegiat musik; mulai dari pencipta lagu, pemain musik, lawyer, jurnalis, hingga pendengar musik dari berbagai kalangan ikut hadir. Dalam dialog dua babak yang diselenggarakan dalam dua hari berturut-turut ini turut dihadiri oleh Cholil Mahmud, Yovie Widianto, Febrian Nindyo, Endah Widiastuti, Widi Puradiredja, dan masih banyak lagi.

Dalam era digital, musisi Indonesia menghadapi banyak rintangan dalam memperoleh royalti. Berdasarkan studi Koalisi Seni berjudul “Diam-Diam Merugikan: Situasi Hak Cipta Musik Digital di Indonesia”, kebijakan royalti yang berlaku saat ini belum mampu melindungi musisi secara memadai. Model bisnis streaming yang mendominasi industri musik saat ini tidak sepenuhnya diakomodasi oleh regulasi yang ada, sehingga banyak musisi yang dirugikan.

Ratri Ninditya, Koordinator Penelitian Koalisi Seni, menyoroti akar masalah yang terletak pada UU Hak Cipta yang lebih mengakomodasi kepentingan industri ketimbang musisi. “Dorongan utama pembuatan UU Hak Cipta tahun 1982 datang bukan dari musisi, tetapi dari industri. Meskipun niatnya ada untuk melindungi musisi, kepentingan yang diakomodasi lebih banyak berpihak pada industri. Ketika UU ini direvisi pada 2014, kita sudah memasuki era digital, tetapi yang luput adalah perhatian terhadap bagaimana platform digital membagikan royalti kepada musisi. Dari pendapatan platform, hanya sekitar 12% yang dibagi, dan itu masih harus dibagi lagi di antara publisher, LMK, serta musisi.”

Selain masalah di ranah digital, musisi juga dihadapkan pada tantangan di sektor fisik. Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 yang mengatur tarif royalti lagu dan musik untuk bidang komersial hanya menetapkan pemungutan royalti dengan metode borongan (blanket). Musisi tidak bisa mengetahui apa saja lagu mereka yang sering digunakan dan seberapa sering lagu mereka dimanfaatkan. Belum lagi ketentuan besaran royalti yang dicantumkan akan dievaluasi tiap tahun sejak ditetapkan belum pernah dilakukan sama sekali. 

Panji Prasetyo, Direktur Hukum FESMI, mengungkapkan bahwa selama hampir 35 tahun, masalah royalti di Indonesia tidak mengalami kemajuan signifikan. “Yang terjadi hanya penambahan LMK tanpa adanya sistem nasional yang benar-benar menguntungkan musisi. Dengan masuknya era digital, kebutuhan akan sistem pendataan, pendistribusian, dan pemungutan royalti semakin mendesak, tetapi hingga kini sistem itu belum tersedia.”

Masukan terhadap kurangnya transparansi juga disampaikan oleh Yovie Widianto, Ketua Umum FESMI. Yovie berbagi pengalamannya tentang ketidakjelasan dalam sistem pemungutan royalti. “Sekarang kita bisa melihat data streaming yang mencapai jutaan, bahkan ratusan juta, tapi sepertinya royalti yg diterima terkesan kurang menggambarkan raihan streams dan popularitas lagu yang terdengar di masyarakat, jadi transparansi distribusipun sangat diperlukan dan rasanya baik sekali bila masalah transparansi ini bisa terbaca dengan jelas oleh para komposer dan para musisi di seluruh negeri.”

Dalam diskusi ini, Hafez Gumay, Manajer Advokasi Koalisi Seni, juga menggarisbawahi pentingnya upaya kolektif dari masyarakat sipil dalam mendorong revisi UU Hak Cipta. “Perjalanan untuk mendorong perubahan undang-undang memang panjang, tetapi momentum ini harus kita manfaatkan. Untuk langkah konkret, kita harus siap dengan naskah akademik tandingan agar kita dapat berbicara di level yang sama dengan pemerintah.”

FESMI menekankan pentingnya membangun ekosistem yang sehat dan adil, di mana musisi mendapatkan bagian royalti yang layak sesuai dengan kontribusi mereka terhadap industri musik. “Royalti adalah hak musisi, bukan alat industri untuk meraup keuntungan. Jangan sampai musisi muda mengalami ketidakadilan yang sama di masa depan.” ujar Endah Widiastuti, Direktur Pelatihan dan Pemberdayaan FESMI.

Melalui diskusi ini, FESMI dan Koalisi Seni berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret dalam revisi UU Hak Cipta, demi mewujudkan sistem royalti yang adil, transparan, dan berkelanjutan bagi para musisi di Indonesia. Revisi ini juga diharapkan dapat menyeimbangkan kekuasaan platform digital yang selama ini mengambil porsi besar tanpa memberikan imbalan yang layak kepada pencipta lagu.

Lebih lanjut, baca “Diam-Diam Merugikan: Situasi Hak Cipta Musik Digital di Indonesia” di koalisiseni.or.id atau Academia Koalisi Seni. Kenali Federasi Serikat Musik Indonesia (FESMI) di fesmi.id.

Ditulis oleh: Amalia Ikhlasanti (Koalisi Seni) & Dzulfikri Putra Malawi (FESMI)

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.