Foto: Dokumen Nalitari
Tak ada lenggok tangan yang seragam. Gerak bahu juga dibiarkan berlawanan. Tidak padu, jika acuan estetikanya sebatas keselarasan gerak antara satu penari dengan yang lainnya. Namun inilah keindahan yang disampaikan kelompok Nalitari lewat tari inklusi. Tarian yang tak terpaku pada pakem-pakem tradisi. Tarian yang membebaskan. Memberi keleluasaan bagi sang penari yang sebagian di antaranya adalah difabel, untuk menerjemahkan sebuah tema.
Ruang penafsiran itu adalah sebuah usaha dari Nalitari untuk merangkul lebih banyak orang untuk menikmati seni tari. Bukan sebagai penikmatnya saja, tetapi juga menjadi lakon di dalamnya. “Kami memakai metode kontemporer improvisasi. Para penari, termasuk teman-teman difabel bisa menginterpretasikan tema dari koreografer. Ada gerakan yang rampak, barengan, tetapi itu enggak dipakemkan karena kami membebaskan penari bergerak sesuai kemampuannya,” kata salah satu pendiri Nalitari, Yoana Kristiawati, dalam wawancara dengan Koalisi Seni beberapa waku lalu.
Kebebasan dalam gerak itu dianggap Yoana sebagai simbol masyarakat inklusi. Ia percaya, keindahan lahir dari hal-hal yang beragam. Bahkan saking bebasnya, gerakan yang ditunjukkan penari saat latihan dengan ketika pentas di panggung, bisa saja berbeda. “Artistiknya justru bisa dilihat dari interaksi humanis antarpenarinya,” ujarnya.
Nalitari adalah salah satu anggota Koalisi Seni yang berbasis di Yogyakarta. Kelompok ini dibentuk pada 2013 oleh Yoana bersama tiga orang lainnya; Putri Raharjo, Nurul Jamilah, dan Tiara Brahmarani. Dari keempatnya, Putrilah yang ketika itu sudah aktif menari sekaligus mengajar tari. Adapun Nurul serta Tiara masih berstatus mahasiswa, dan Nurul adalah guru sekolah luar biasa (SLB).
Berawal dari jumpa di sebuah lokakarya tari inklusi, keempatnya terpikir untuk membentuk kelompok kesenian yang inklusif. Mereka menerima orang-orang difabel yang tertarik belajar tari. “Sejak awal kami tidak hanya menerima kelompok difabel tertentu, tetapi terbuka bagi siapa saja untuk berlatih menari bersama. Jadi difabel tuli bisa ikut, mereka dengan down syndrome juga boleh bergabung,” kata Yoana.
Nama Nalitari dipilih karena secara filosofis merepresentasikan gerakan kelompok ini. Nali, adalah kata kerja yang dalam Bahasa Jawa berarti mengikat. Sehingga Nalitari, bermakna harapan agar kelompok ini nantinya bisa menjalinkan ikatan bagi banyak orang dari berbagai kalangan melalui seni tari. Nama Nalitari sekaligus bentuk kearifan lokal dan usaha para pendirinya untuk membangun rasa saling memiliki.
Foto: Dokumen Nalitari
Pada awal berdiri, jumlah anggota Nalitari mencapai 40 orang. Sebagian di antaranya adalah murid SLB yang diajak bergabung ke Nalitari lewat undangan. Para pendiri Nalitari juga rajin menghelat seminar dan pelatihan tari, baik inklusi maupun tradisional. Namun seiring waktu, anggotanya terus bertambah berdasarkan promosi dari mulut ke mulut dan informasi di media sosial.
Bukan perkara mudah tentunya untuk membangun kepercayaan dari para anggota difabel. Butuh waktu relatif panjang, bahkan pernah ada anggota difabel yang perlu 2 tahun untuk bersedia pentas. Jika menemui kondisi seperti itu, Yoana dan Putri tak akan memaksakan anggota untuk tampil. Saat latihan, Putri dan kawan-kawan juga memperbolehkan mereka yang datang untuk sekadar menonton. “Baru pada pertemuan ketiga atau keempat, biasanya mereka yang datang ini berdiri dan ikut menari tanpa kami minta. Kesadaran itu yang kami bangun di komunitas ini,” ujar Putri Raharjo.
Metode inklusi Nalitari sendiri menjadi buah dari proses yang tak sebentar. Diramu sejak 2018, metode ini terus berkembang menyesuaikan kondisi. Saat pandemi membatasi interaksi sosial pada awal 2020 lalu, latihan rutin Nalitari di sanggar mereka terpaksa berhenti dibuka untuk umum. Sebagai gantinya, para anggota berlatih di rumah masing-masing dengan tema yang diberikan oleh pengajar.
Para penari inklusi ini menciptakan sendiri gerakan tarinya. “Ada yang bagus, ada yang lucu. Tapi pastinya mereka ini percaya diri dan berani tampil di video. Padahal saya ingat, dulu ada penari dengan down syndrome yang tidak mau disentuh. Tetapi akhirnya, seiring waktu, malah berani ikut pentas di Jakarta. Kami betul-betul berkembang secara profesional dan emosional,” kata Putri.
Metode tari inklusi ini membuat banyak orang maupun kelompok belajar pada Nalitari. Putri menuturkan, Nalitari banyak berkolaborasi dengan seniman lain baik yang berdomisili di dalam maupun luar Yogyakarta. Beberapa waktu lalu, misalnya, ada sekelompok tamu dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang mampir ke sanggar Nalitari untuk mempelajari metode tari inklusi karena ingin menerapkannya di kota mereka.
Sedangkan sebelumnya, Putri melanjutkan, Nalitari pernah berkolaborasi dengan kelompok maupun kolektif tari dari negara lain seperti Singapura, Inggris, Kamboja, Brunei Darussalam, Jepang, juga Amerika Serikat. “Kami memang ingin metode tari ini tidak berhenti di Nalitari, tapi juga menular ke aspek atau bidang lain. Karena kita tidak sedang bicara tarian saja di sini, tapi juga bagaimana para difabel membawa dirinya ke masyarakat luas,” ujarnya.
Isma Savitri