Bermula dari program Konsolidasi Umum Masyarakat dan Himpunan Budaya (KuMaHa) yang diluncurkan Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan (PTLK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Koalisi Seni memfasilitasi inisiatif jaringan teater berkonsolidasi pada 22 Juli 2020.
Konsolidasi tersebut bermaksud menindaklanjuti usulan pembentukan asosiasi profesi di bidang kebudayaan. Secara garis besar, salah satu tujuan usulan pembentukan asosiasi itu adalah proses sertifikasi profesi bagi pekerja seni. Dihadiri oleh 56 praktisi teater dari berbagai wilayah, pertemuan sepanjang tiga jam tersebut mengerucut pada pertanyaan: antara asosiasi profesi dan asosiasi bidang teater, manakah yang perlu dibentuk lebih dulu?
Joned Suryatmoko, pendiri dan sutradara Teater Gardanalla, menjawab pertanyaan itu dengan menawarkan opsi melihat fakta secara empiris. “20 tahun yang lalu ketika saya mulai menyutradarai tidak ada profesi manajer panggung, kalau membicarakan hal itu maka hanya ada Sarie Majid,” ujarnya. Menurutnya, pembagian kerja dalam produksi teater tumbuh dari prosedur yang berkelanjutan. “Profesi tidak tumbuh berdasarkan asosiasinya, tetapi berdasar praktik yang terus dibina,” ucapnya menegaskan.
Dalam kacamata lain, ada sisi traumatis di kalangan praktisi teater soal pembentukan asosiasi. Orang-orang yang bergiat dalam teater cenderung kritis dan lantang menyuarakan pendapatnya, sehingga tidak jarang membentuk sekat antara satu sama lain. Ibed Surgana Yoga, sutradara dan penulis lakon Kalanari Theater Movement, berpendapat perkumpulan bidang teater cenderung tidak memiliki agenda pergerakan yang jelas. “Setelah itu mati suri, lalu tumbuh lagi yang lain, dan seterusnya,” katanya.
Di samping itu, perkumpulan teater yang pernah terbentuk sebelumnya cenderung terpusat, belum mengakomodir aspirasi kelompok teater di luar Jabodetabek. Akibatnya, muncul kesenjangan antara pusat dan daerah.
Terlebih lagi, jika membandingkan dengan sektor seni lain seperti musik, tari, atau film yang kerap mendapat perhatian pemerintah, teater terkesan bagai anak tiri.
Tantangan lain seperti akses ke ruang pertunjukan, manajemen pengetahuan, sekat antargenerasi, regulasi lembaga, ketimpangan informasi, sampai sumber pendanaan muncul dan dibahas dalam pertemuan konsolidasi ini.
Meski begitu banyak tantangan dalam teater, kebutuhan berkumpul dalam sebuah perhimpunan tidak dapat dielakkan. Sebab, ia dapat menanggulangi bermacam rupa sandungan dalam proses kreatif maupun manajemen kelompok. Ini telah dilakukan oleh kalangan pegiat teater di Aceh sejak 2009, yang membentuk komunitas teater bernama Seuramoe Teater Aceh. Begitu pula di wilayah Indonesia bagian timur, sempat terbentuk Asosiasi Teater Wilayah Timur Indonesia (ATIMURI) untuk mengurangi kesenjangan antara pusat dan daerah.
Berangkat dari berbagai permasalahan dan pengalaman yang ada, diskusi mengenai pembentukan asosiasi mengarah ke ranah teater secara umum, bukan dalam wujud profesi. Sebab, profesi dalam teater di Indonesia cenderung fleksibel. Sutradara bisa merangkap sebagai penulis naskah, aktor bisa sekaligus jadi pekerja panggung, seseorang bahkan dapat menangani tiga ranah sekaligus. Ditambah lagi, referensi pengetahuan tiap kelompok teater belum merata di berbagai wilayah. Seiring berjalannya waktu, asosiasi teater tersebut nantinya diharapkan mampu memfasilitasi pembentukan asosiasi profesi.
Kendati masih dalam tataran mendefinisikan kebutuhan, pertemuan tersebut bisa jadi semacam babak baru untuk membentuk wajah teater Indonesia yang makin berkarakter. Mari dukung dan terus doakan. (Bari Mubarak)