Jakarta, 1 November 2024 – Koalisi Seni berpartisipasi dalam mengisi program diskusi publik yang diselenggarakan oleh Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD) bertajuk “Hambatan dan Upaya Meningkatkan Mobilitas Pelaku Seni” di Hotel GrandKemang, Jakarta. Diskusi ini bertujuan untuk mengupas berbagai kendala yang dihadapi seniman Indonesia dalam mengakses program internasional maupun mobilitas antarwilayah di dalam negeri. Dengan menghadirkan pembicara dari berbagai bidang seni, acara ini dipandu oleh Ratri Ninditya, Koordinator Penelitian Koalisi Seni, yang memoderasi pengalaman dan pandangan para seniman terkait tantangan mobilitas.
Dalam diskusi ini, isu kesenjangan akses menjadi salah satu sorotan. Meskipun berbagai program dan pendanaan untuk mendukung pergerakan seniman ke luar negeri kini semakin banyak, akses terhadap kesempatan ini masih jauh lebih mudah diperoleh oleh seniman dari negara maju. Berdasarkan laporan UNESCO *Reshaping Policies for Creativity 2022*, pemegang paspor negara maju umumnya memiliki akses bebas visa ke 169 negara. Sebaliknya, seniman dari negara berkembang seperti Indonesia hanya memiliki akses ke 86 negara. Di ASEAN, posisi paspor Indonesia yang berada di urutan keenam setelah Thailand pada Indeks Paspor 2024 semakin memperlihatkan tantangan bagi seniman lokal yang ingin berkarya di kancah internasional.
Nova Ruth, seorang musisi asal Malang yang juga menjadi salah satu pembicara, berbagi pengalaman uniknya dalam menghadapi tantangan mobilitas dengan berkarya melalui kapal Arka Kinari. Kapal tersebut dibangunnya sebagai panggung bergerak yang berlayar dari satu tempat ke tempat lain. Meski begitu, ia kerap menghadapi hambatan regulasi yang berbeda-beda di setiap wilayah pesisir. Nova mengungkapkan, “Tantangan mobilisasi ketika sampai di pesisir adalah perubahan regulasi yang berbeda antar daerah dan bergantinya cepat sekali. Selain itu, Indonesia tidak memiliki regulasi untuk kapal pribadi, meskipun kita negara maritim.”
Selain mobilitas internasional, perpindahan antarwilayah di dalam negeri juga menjadi tantangan tersendiri. Rebecca Kezia sebagai praktisi independen seni pertunjukan mengatakan, biaya mengangkut properti pertunjukan yang mahal membuat seniman berstrategi untuk memilih properti panggung yang lebih sederhana atau memprioritaskan perjalanan untuk keperluan non pertunjukan, seperti residensi atau lokakarya. Selain itu, berpindah tempat di dalam negeri sama tingginya atau bahkan lebih mahal daripada ke negara lain. Sehingga hal tersebut menjadi salah satu penghambat proses berkarya dan pengembangan kapasitas saat mengekspansi atau memperbanyak pengetahuan dari luar daerah.
Hak untuk berpindah tempat sebagai bagian dari kebebasan berkesenian juga ditekankan dalam diskusi ini. Menurut Pasal 13 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta Pasal 12 ayat 3 dan Pasal 13 Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik, mobilitas merupakan hak yang mendasar bagi seniman dan karya mereka, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Namun, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki kebijakan khusus untuk mendukung mobilitas seniman dalam ranah global maupun domestik. Rainda Cuaca dari 100% Manusia Film Festival menyoroti betapa berat dan rumitnya persyaratan visa beberapa negara. Padahal bagi penyelenggara festival film, perjalanan dibutuhkan untuk berjejaring dan membangun reputasi dengan distributor film negara lain agar bersedia mengirim film secara digital ke Indonesia, yang secara internasional terlanjur dikenal sebagai negara pembajak.
Pandangan serupa disampaikan oleh Amanda Ariawan dari Indonesia Contemporary Art and Design, bahwa hambatan mobilitas seniman dan karyanya menjadi penghambat juga dalam inklusivitas dalam sebuah pameran dan pertukaran barang. “Aku aktif di dunia galeri, jual beli karya dan bersinggungan dengan kolektor. Nah, itu sering kali kolektor memutuskan untuk tidak jadi membeli karya bukan karena harga karyanya yang mahal, melainkan ongkos kirimnya yang mahal. Padahal itu bisa jadi kesempatan untuk seniman Indonesia yang mau menembus pasar luar”
Melalui diskusi ini, Koalisi Seni berharap agar ada langkah konkret yang dapat diambil untuk membuka jalan bagi seniman Indonesia dalam mengembangkan karier dan mengangkat ekspresi budaya ke panggung global, sekaligus memastikan bahwa kebebasan berkesenian terlindungi dan terfasilitasi.