Tahun 2021, Koalisi Seni memiliki satu tema besar untuk menaungi semua kerja advokasi. Tema tersebut adalah perlindungan dan pemenuhan hak kebebasan berkesenian. Ini dibahas dan disepakati dalam Rapat Umum Anggota (RUA) Koalisi Seni pada 13 Februari 2021.
Menurut Manajer Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay, tema tersebut dinilai tepat untuk memayungi seluruh kerja lembaga yang telah dan sedang dilakukan. Sebagai informasi, hak kebebasan berkesenian terdiri dari (1) bebas berkarya tanpa sensor atau intimidasi, (2) mendapat dukungan, jalur distribusi, dan balas jasa atas karya, (3) bebas berpindah tempat, (4) bebas berserikat, (5) mendapat perlindungan hak sosial dan ekonomi, serta (6) ikut serta dalam kehidupan kebudayaan. “Kerangka inilah yang akan dijadikan acuan ketika Koalisi Seni membuat program advokasi yang menyentuh kebutuhan anggotanya,” ujar Hafez.
Dihadiri 127 Anggota — rekor peserta terbanyak sepanjang sejarah Koalisi Seni — RUA berjalan secara daring serta membahas pula Kode Etik, advokasi gender, Kelas Advokasi Kebijakan Seni Indonesia (AKSI), dan penggalangan dana.
Dalam forum Kode Etik, Anggota membahas rancangan kode etik lembaga yang memperkuat proses pelembagaan, terutama dari sisi tujuan bersama, basis nilai, tata kelola, integritas, serta mekanisme kontrol bagi Anggota, Pengurus, maupun Sekretariat Koalisi Seni. RUA memutuskan menyepakati Kode Etik yang pada intinya melarang tindakan kekerasan dan perusakan lingkungan, mewajibkan menghormati dan menghargai sesama Anggota maupun pihak lain yang berkolaborasi, serta mengedepankan nilai kejujuran dan antikorupsi.
Pada diskusi advokasi gender, Anggota menyoroti ketimpangan perspektif gender dalam kebijakan seni yang perlu diperbaiki. “Setiap warga negara, apapun gendernya, berhak berkesenian secara bebas. Perempuan dan gender non biner lainnya membayar pajak, sehingga perlu ada jaminan bagi mereka untuk bebas berkesenian. Tapi, ketimpangan gender ini masih sangat sistematik dalam ekosistem seni,” kata kurator Alia Swastika.
Peserta forum sepakat berjuang lewat advokasi kebijakan berperspektif gender yang masif dan terstruktur. Secara internal, pemahaman Anggota soal permasalahan gender pun perlu ditingkatkan. Prioritas kegiatan setahun mendatang terentang dari penawaran rancangan Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK) kepada pemangku kebijakan, gulir wacana secara publik, lokakarya tentang gender, hingga menggandeng kolaborator untuk mendorong advokasi tersebut.
Secara paralel, dibahas pula soal Kelas AKSI. Anggota membahas pelatihan nanti sebaiknya berbasis wilayah ataukah isu kebijakan. Setelah diskusi mendalam, diputuskan keduanya dilakukan berbarengan agar kelas menjadi komprehensif dan menjawab tantangan yang dihadapi Anggota di lapangan.
Sementara itu, dalam forum tentang penggalangan dana, Anggota urun rembuk memikirkan strategi mengumpulkan sumber daya untuk keberlangsungan aksi bersama. Manajer Pengembangan Organisasi dan Kemitraan Koalisi Seni, Retha Dungga, mengawali diskusi dengan menyampaikan kondisi keuangan lembaga dan potensi kegiatan penggalangan dana. Banyak masukan menarik muncul, mulai dari usulan topik dalam penggalangan dana, menggandeng patron individual, sampai pentingnya menyelaraskan dengan kebutuhan Anggota.
Pada akhir RUA, ada tiga hal yang diputuskan. Pertama, menerima laporan tahunan 2020 pengurus Koalisi Seni. Kedua, menyepakati Rencana Kerja Koalisi Seni tahun 2021. Ketiga, menyepakati penetapan Kode Etik.
Meski virtual, RUA berlangsung secara hangat. Peserta rapat juga diajak menjelajahi studio di Yogyakarta milik perupa yang kerap menyuarakan isu-isu sosial, FX Harsono. Setelah itu, Nova Ruth mengenalkan studio, rumah, panggung pertunjukan, dan kargo budaya di atas kapal Arka Kinari yang telah berlayar dari Eropa ke Indonesia menyuarakan isu perubahan iklim. Desiran angin laut dari Sanur menambah kesegaran dan semangat berjuang bersama. (Trianingsih)