Pandemi Covid-19 membuat panggung pertunjukan kosong. Tak ada lakon, tak ada antrean penonton. Mudah dipastikan, pemasukan seniman pertunjukan ikut terdampak. Kekosongan ini membuat puluhan pegiat teater dari berbagai daerah berefleksi serta memikirkan ulang masa depan teater dan relasinya dengan berbagai pihak, di luar perkara artistik.
Koneksi internet yang tersendat dan perbedaan zona waktu tak menyurutkan antusiasme puluhan pegiat teater, termasuk sejumlah anggota Koalisi Seni, berkumpul di ruang maya pada 22 Juli 2020. Dalam pertemuan itu, mereka merespon program Konsolidasi Umum Masyarakat dan Himpunan Budaya (KuMaHa) dari Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan (PTLK), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Awalnya, KuMaHa membahas rencana sertifikasi. Namun, dalam perjalanannya, banyak aspirasi penting para pegiat teater yang perlu ditindaklanjuti. Antara lain, minimnya fasilitas gedung pertunjukan, terhambatnya kebebasan berekspresi, serta kurangnya akses pengetahuan dan kesempatan berteater di luar Jawa. Setelah belasan pertemuan daring, mereka sepakat menyatukan aspirasi dalam Perkumpulan Nasional Teater Indonesia (Penastri) pada Oktober 2020.
“Kami merasa perlu perkumpulan bersama untuk membicarakan kebutuhan teater dan relasinya dengan pemerintah pusat dan daerah. Semua aspirasi kami tampung untuk diidentifikasi lebih lanjut,” kata Shinta Febriany, sutradara Kala Teater yang terpilih jadi Ketua Umum Penastri periode 2020-2023.
Di Penastri, aspirasi disarikan dalam tiga program. Yakni, pemerataan distribusi pengetahuan teater, khususnya di daerah dengan akses terbatas; pengembangan kemitraan dengan pemangku kepentingan terkait, dan advokasi kebijakan yang berangkat dari kebutuhan pegiat teater.
“Kami menyoroti hak-hak yang harus direbut dan dibuka aksesnya agar egaliter dan merata ke seluruh Indonesia, karena Penastri berskala nasional,” ucap Shinta.
Berkumpul dalam satu payung asosiasi menjadi penting untuk mengambil langkah konkret dalam mewujudkan ekosistem teater yang egaliter, demokratis, dan transparan. Sebab, teater dan kesenian lainnya sering dianggap hobi dan minat semata. Sehingga, regulasi tentang hak-hak pekerja seni seperti upah layak, keselamatan kerja, dan jaminan kebebasan berkarya belum diatur dengan sistematis. Penastri sebagai asosiasi yang telah berbadan hukum menjadi langkah awal pegiat teater untuk membenahi ekosistem teater di Indonesia.
Sejarah teater mencatat, asosiasi seperti Penastri bukan yang pertama di negeri ini. Yudi Ahmad Tajudin, sutradara Teater Garasi, mengamati beberapa asosiasi teater yang pernah didirikan. Yakni, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MPSPI) pada 1992, Federasi Teater Indonesia (FTI) tahun 2004, dan berbagai forum pertemuan teater berbagai daerah yang didokumentasikan buku “Pertemuan Teater” terbitan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 2000.
“Kita bisa ambil pelajaran dari upaya sebelumnya. Pertama, perlu ada prinsip kebersamaan. Kedua, perkembangannya organik, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan seni teater di Indonesia. Ketiga, ada kesetaraan teater dalam hal daerah, gender, dan akses, agar tidak hanya di Pulau Jawa,” tuturnya.
Menurut Yudi, ketiga hal itu penting untuk menguatkan langkah Penastri mengupayakan kesetaraan akses pengetahuan. Nominator Pemeran Pendukung Pria Terbaik Piala Citra 2020 ini berpendapat hadirnya Penastri menjadi harapan baru untuk menghimpun para pegiat teater di Indonesia. Yudi berpesan agar Penastri segera menentukan target dan prioritas utamanya.
“Tidak harus semua dikerjakan. Penastri perlu menetapkan target dan prioritas fundamental sebagai pijakan untuk pengorganisasian dengan nafas lebih panjang,” ujarnya.
Sementara itu, Bambang Prihadi, Ketua Komite Teater DKJ 2020-2023 dan sutradara Lab Teater Ciputat, menyoroti pentingnya kehadiran Penastri. Ia berujar bahwa Penastri penting untuk mengajak pegiat teater yang terlalu fokus pada kerja artistiknya agar berkontribusi langsung untuk ekosistemnya. Ia berharap Penastri akan terus membangun semangat dan optimisme para pegiat teater untuk bersama membenahi ekosistem teater Indonesia.
“Semoga jarak jauh tak membuat pengurus kerepotan dan merasa terbatas. Perlu ada strategi untuk membuat percakapan intensif terjadi dalam organisasi, agar program terealisasi dan menjadi milik anggota dan masyarakat,” katanya mengakhiri percakapan. (Dian Putri)