Oleh: Rahma Safira S., Peneliti Kebijakan Koalisi Seni
Sudah lebih dari dua puluh tahun sejak amanat pembentukan Dewan Kesenian lahir pada 1993. Sayangnya, masih sangat sedikit perempuan yang ada di posisi pengambil keputusan. Hal tersebut tercermin dalam tata kelembagaan Dewan Kesenian daerah.
Koalisi Seni menemukan dari 61 Dewan Kesenian di tingkat kabupaten/kota dan provinsi, hanya 4 Dewan Kesenian (6,55%) yang diketuai perempuan. Keempatnya adalah Dewan Kesenian Tanah Papua Kabupaten Jayapura, Dewan Kesenian Kabupaten Pesisir Barat, Dewan Kesenian Kota Lubuklinggau, dan Dewan Kesenian Provinsi Sulawesi Utara. Namun, para perempuan pengisi posisi Ketua di Dewan Kesenian daerah tidak memiliki latar belakang sebagai seniman maupun pengalaman kerja dalam lingkup kebijakan seni budaya. Keempatnya adalah istri kepala daerah setempat serta kerap bergelut pada isu pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga.
Padahal, adanya perempuan dalam kepemimpinan Dewan Kesenian daerah sangatlah penting. Sebab, kepemimpinan perempuan dapat mendorong program-program yang lebih berpihak pada seniman perempuan dan lebih responsif merespon permasalahan yang dihadapi perempuan. Maka, penting bagi Dewan Kesenian untuk mendorong dan mendukung keterlibatan perempuan secara aktif, terutama dalam level pengambil keputusan.
Lantas, apa penyebab minimnya keterlibatan perempuan ini? Bagaimana Dewan Kesenian daerah bisa mendorong keterlibatan perempuan dalam posisi tersebut?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari melihat arti penting Dewan Kesenian di daerah. Sebagai negara dengan seni dan budaya yang beragam, Indonesia memerlukan lembaga mitra pemerintah untuk mendorong pertumbuhan potensi dan jati diri seni dan budaya di lingkungannya. Dewan Kesenian daerah memenuhi kebutuhan tersebut.
Dewan Kesenian pertama di Indonesia adalah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang dibentuk seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 7 Juni 1968. Berdirinya DKJ kemudian memicu dan mengawali pendirian berbagai dewan kesenian di daerah-daerah lain. Posisi strategis Dewan Kesenian daerah sebagai mitra pemerintah yang tersebar secara luas dan sistematis di seluruh penjuru nusantara membuat lembaga tersebut dipandang sebagai “penjaga gerbang” keberlangsungan seni dan budaya di daerahnya.
Sayangnya, tak banyak perempuan mengepalai Dewan Kesenian daerah. Kita tahu, seniman perempuan sesungguhnya berada dalam posisi rentan. Sebab, bukan saja profesi ini tak mudah menyejahterakan secara finansial, tetapi perempuan punya ruang gerak sempit untuk menempati posisi strategis dalam tata kelola seni. Kondisi ini didukung kentalnya budaya patriarki di Indonesia yang menuntut perempuan menjadi pengikut dan menormalisasi figur laki-laki sebagai pemimpin. Perempuan pun kerap dituntut menjadi pengurus hal domestik yang bergulat dengan sumur, dapur, dan kasur.
Pandangan ini juga sering diterjemahkan secara paralel dalam tata kelola seni, dengan menempatkan perempuan pada posisi “dapur” lembaga seperti sekretaris dan bendahara. Hal yang sama juga ditemukan pada organisasi seni secara umum. Perempuan lebih banyak diberi porsi di belakang layar, ketimbang laki-laki yang terlibat dan terlihat di garda depan.
Secara khusus, tuntutan tinggi atas pejabat Ketua Dewan Kesenian daerah menjadi faktor utama minimnya figur perempuan pada posisi ini. Pengemban posisi ini dituntut punya lebih dari pengetahuan dan pengalaman berkecimpung dalam dunia kesenian, tetapi juga pengetahuan hukum, politik, dan kebijakan publik. Ini hal yang tidak selalu dimiliki seniman. Belum lagi, tanggung jawab yang besar sebagai Ketua Dewan Kesenian daerah terkadang tidak diiringi dengan manfaat ekonomi yang sepadan. Untuk banyak perempuan, tuntutan pengetahuan dan tanggung jawab tersebut masih pula ditambah dengan keharusan mengelola kehidupan domestik.
Dampak perbedaan metode pemilihan
Dalam menjelajahi keterlibatan perempuan pada posisi kepemimpinan Dewan Kesenian daerah, kita perlu pula mempertanyakan tata kelola kelembagaan Dewan Kesenian daerah. Terdapat tiga metode pemilihan dalam kepengurusan Dewan Kesenian daerah.
Pertama, pengusulan dan seleksi Pengurus Harian oleh Akademi, seperti yang dilakukan Dewan Kesenian Lampung. Sejak kepengurusan 2020-2024, DKL bersama Akademi Lampung (AL) dan Yayasan Kesenian Lampung (YKL) menjadi bagian dari Pusat Kesenian Lampung. Pemilihan Pengurus Harian DKL dilakukan dalam sebuah Rapat Pleno, forum di mana AL mengajukan kandidat Pengurus Harian. Nama-nama kandidat itu berasal dari susunan Pengurus Harian DKL periode sebelumnya maupun figur-figur baru. Selanjutnya, AL melakukan pemilihan Pengurus Harian dengan pemungutan suara.
Metode pemilihan ini berpengaruh terhadap keterlibatan perempuan di DKL, karena proses musyawarah hanya dihadiri pengurus lama yang nyaris semuanya lelaki. Perempuan sulit mendapat kesempatan terpilih menjadi Pengurus Harian karena seleksi bergantung pada preferensi dan perspektif pengurus lama.
Kedua, seleksi Pengurus Harian melalui forum musyawarah daerah tahunan, yang sekaligus membahas laporan pertanggungjawaban tahunan kepengurusan periode sebelumnya. Ini diterapkan Dewan Kesenian Jakarta. Pemilihan susunan Pengurus Harian di DKJ dilakukan melalui Rapat Pleno yang dihadiri oleh Anggota DKJ. Pada forum itu dipaparkan peran DKJ serta pertanggungjawaban program periode sebelumnya. Setelah itu, akan dibacakan kriteria Pengurus Harian menurut AD/ART DKJ. Kandidat Pengurus Harian serta ketua enam komite DKJ dapat mencalonkan diri sendiri atau dicalonkan, lantas dipilih melalui metode pemungutan suara.
Dari segi jumlah, dinamika keterlibatan perempuan dalam susunan Pengurus Harian dan Komite di DKJ sudah cukup seimbang, dan hampir sepenuhnya berasal dari kalangan praktisi kesenian. Tetapi, sangat sedikit perempuan menjadi Ketua Umum di DKJ masih cenderung minim, meski dalam sejarahnya ada figur perempuan yang pernah menduduki posisi itu, seperti Ratna Sarumpaet pada 2003-2006. Selain itu, DKJ memiliki sifat kolegial sehingga berimplikasi pada tidak adanya mekanisme penilaian kinerja (performance appraisal) Pengurus Harian. Hal ini memicu rendahnya minat perempuan untuk mengisi posisi strategis di DKJ, sebab jabatan yang diemban menjadi bergantung pada tanggung jawab moral dan etika pribadi, sehingga terdapat kecenderungan memprioritaskan pekerjaan yang lain.
Sedangkan metode ketiga adalah seleksi Pengurus Harian dengan penunjukan langsung oleh Kepala Daerah atau secara aklamasi dalam musyawarah daerah. Metode aklamasi digunakan dalam pemilihan Ketua Dewan Kesenian Kota Lubuklinggau 2019-2024, yang merupakan petahana Ketua dari periode sebelumnya. Penggunaan metode ini dalam pemilihan ketua Dewan Kesenian cenderung kental dengan motif politis, dan figur yang sama berpeluang dipilih berulang kali.
Perempuan di DKL dan DKJ
Mari menyoroti lebih lanjut soal peran perempuan di Dewan Kesenian Lampung dan Dewan Kesenian Jakarta.
Jabatan Ketua Umum DKL pernah diduduki perempuan, seperti Yustin Ficardo (2015-2019) dan Syafariah Widianti untuk dua periode berturut-turut (2008-2015). Peran Yustin dan Syafariah di kursi Ketua Umum ini kental dengan motif politis karena mereka adalah istri Gubernur. Keputusan menempatkan istri Gubernur sebagai ketua Dewan Kesenian daerah kerap disertai harapan terhadap kemudahan kucuran dana dari Pemerintah Daerah untuk pengembangan kesenian. Riana Sari, Istri Gubernur Provinsi Lampung (2019-2024) sempat ditawari jadi Ketua Umum DKL 2020-2024, namun karena ia menyatakan tak bersedia, posisi tersebut beralih ke lelaki. Adapun jabatan Ketua Harian didapuk dari kalangan seniman yang biasanya adalah laki-laki.
DKL melibatkan perempuan untuk berkesenian dalam program-programnya. Tak hanya perempuan yang berprofesi seniman, tetapi juga non-seniman, seperti ibu rumah tangga. Tujuannya, membangun apresiasi seni yang berkelanjutan di masyarakat, sebagaimana nilai penghayatan dan penghargaan terhadap seni diturunkan dari ibu kepada anak-anaknya.
Sementara itu, DKJ memposisikan seni sebagai platform melayani kepentingan komunitas seni di Jakarta. Fokus utama DKJ ada pada eksperimentasi artistik, sedangkan kegiatan berperspektif gender cenderung sekadar disematkan, tidak diarusutamakan secara programatik. Keberadaan program gender pun sangat tergantung pada perspektif para pimpinan DKJ.
Misalnya, pada periode kepemimpinan Ratna Sarumpaet, perspektif gender secara sadar disorot melalui program yang khusus mengakomodasi seniman perempuan, seperti penyelenggaraan Women Playwrights International Conference 2005 guna membangun jejaring dan komunikasi para perempuan penulis drama dan pegiat teater. Ketika dipimpin laki-laki, contohnya Irawan Karseno (2015-2018), DKJ menghadirkan pula kegiatan yang berhubungan dengan perempuan. Antara lain, Proyek Seni Perupa Perempuan yang bertujuan jadi wadah pengembangan praktik seni rupa kontemporer, serta memetakan dan mendukung perkembangan seniman perempuan Indonesia.
Bagaimanapun, peran perempuan di DKL dan DKJ adalah anomali di tengah praktik yang berlangsung nyaris di seluruh Dewan Kesenian di Indonesia. Keterlibatan perempuan dalam posisi kepemimpinan rentan atas penyangkalan karena mentalitas dan budaya patriarki yang masih mengakar. Ada atau tiadanya perspektif gender pada Dewan Kesenian daerah pun masih bergantung pada prioritas dan tata kelola lembaga masing-masing.
Untuk meningkatkan jumlah dan kualitas perempuan di posisi kepemimpinan di Dewan Kesenian daerah, seniman perempuan perlu membangun kesadaran akan signifikansi posisinya dan aktif mendesak adanya program yang lebih berpihak pada seniman perempuan. Selain itu, perlu pula ada evaluasi mendalam terhadap tata kelola Dewan Kesenian daerah maupun pihak yang menjalankan tata kelola tersebut.
Jika kesetaraan perempuan dan laki-laki telah disuarakan Kartini sejak berabad silam, sekarang tugas kita menerjemahkan perjuangannya di masa kini, tak terkecuali dalam seni. Dengan lebih sensitifnya kesadaran terhadap keterwakilan perempuan dalam tata kelola seni, ekosistem seni Indonesia akan semakin adil bagi semua gender.
Ilustrasi: Leung Cho Pan via Canva