Photo Credit: UNESCO Secretariat of the 2005 Convention
Ratri Ninditya, Koordinator Penelitian Koalisi Seni, diundang sebagai pembicara dalam panel diskusi pada acara Celebrating 20 Years of Empowering Creativity yang diselenggarakan UNESCO Headquarters di Paris. Diskusi ini berfokus pada isu kebebasan berkesenian dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Sebagai salah satu organisasi di Indonesia yang secara sistematis memantau dan mendokumentasikan pelanggaran terhadap kebebasan berkesenian, Koalisi Seni berperan penting dalam advokasi ekosistem seni yang inklusif. Dalam forum tersebut, Ratri membagikan situasi dan tantangan yang dihadapi para seniman di Indonesia, yang banyak di antaranya masih belum terlihat secara kasat mata.
“Tantangan terbesar di Indonesia adalah bahwa bentuk-bentuk represi sering kali tidak terlihat,” jelas Ratri. “Penekanan terjadi secara perlahan dan sistematis, melalui regulasi yang tidak konsisten, penegakan hukum yang tebang pilih, serta kurangnya komitmen negara untuk melindungi dan memenuhi hak-hak seniman.”
Ia menyoroti bahwa meskipun Indonesia tampil sebagai negara demokrasi, kenyataannya banyak seniman hidup dalam situasi yang ia sebut sebagai “politik ketakutan”. Hal ini melahirkan budaya sensor diri yang sangat kuat, warisan dari masa otoritarianisme 1965-1998 yang ditandai oleh kekerasan budaya. Harapan reformasi pasca-1998, menurutnya, perlahan memudar akibat konsolidasi kekuasaan yang semakin kuat.
Lebih lanjut, Ratri mengangkat tantangan ganda yang dihadapi komunitas seniman dari kelompok ragam gender. “Bagi seniman ragam gender, situasinya sangat paradoks. Di satu sisi ada peningkatan visibilitas, namun di sisi lain, sentimen anti-ragam gender juga semakin menguat,” ujarnya. Banyak dari mereka terpinggirkan, baik secara geografis, sosial, maupun ekonomi. Padahal, dalam sejarah Indonesia sebelum kolonialisme, komunitas ragam gender memegang peran penting dalam kehidupan budaya masyarakat. Ia menekankan bahwa norma-norma diskriminatif yang ada saat ini bukan berasal dari tradisi lokal, melainkan dibawa oleh kolonialisme Barat yang menggunakan heteronormativitas sebagai alat kontrol sosial.
Menghadapi berbagai tantangan tersebut, Koalisi Seni membangun strategi pemantauan dan advokasi berbasis data. Sejak tahun 2020, Koalisi Seni mengembangkan platform daring kebebasanberkesenian.id, yang berfungsi sebagai pusat data pemantauan pelanggaran kebebasan berkesenian dan sebagai saluran pelaporan kasus bagi para pelaku seni. Platform ini juga menghubungkan korban pelanggaran dengan lembaga pendamping dan dukungan yang relevan.
“Kami sangat bergantung pada media dalam proses pemantauan, sehingga kami akan menyelenggarakan pelatihan bagi jurnalis agar mereka dapat melaporkan isu kebebasan berkesenian dengan penggunaan istilah yang tepat,” ungkap Ratri. “Kami juga melatih seniman dalam mitigasi risiko, menerbitkan panduan praktis, serta mendorong kolaborasi lintas komunitas.”
Salah satu capaian penting adalah masuknya data pemantauan Koalisi Seni dalam laporan resmi Indonesia untuk Laporan Empat Tahunan Konvensi 2005 UNESCO , yang meningkatkan eksistensi isu kebebasan berkesenian dalam diskursus hak asasi manusia tingkat global.
Ke depan, Ratri menyerukan penguatan sistem perlindungan sosial dan ekonomi bagi pelaku seni terutama kelompok yang rentan dan ragam gender. “Kami mendorong adanya mekanisme perlindungan yang lebih inklusif dan transparan, berbasis aksi afirmatif. Undang-undang anti-diskriminasi sangat dibutuhkan. Kita juga harus menghapus semua bentuk sensor dan kekerasan berbasis gender.”
Sebagai penutup, Ratri mengajak komunitas seni untuk membangun ekosistem dukungan yang kuat. “Mari kita fokus pada pembangunan jaringan solidaritas dan perawatan, pengarusutamaan gender di serikat pekerja seni, serta kolaborasi antara institusi dan organisasi ragam gender.”
Ratri juga mendorong para seniman dan pekerja budaya untuk membaca laporan dan penelitian Koalisi Seni sebagai alat refleksi, advokasi, dan aksi kolektif lintas negara.
Photo Credit: ASEF LinkUp 2025
Sebagai mitra utama kebebasan berkesenian di Indonesia, Koalisi Seni diundang untuk berpartisipasi dalam ASEF LinkUp 2025: Asia-Europe Cultural Diplomacy Lab. Program ini diselenggarakan oleh Asia-Europe Foundation (ASEF) bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, serta didukung oleh Keraton Yogyakarta, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Museum Sonobudoyo, Festival ArtJog, UNESCO Jakarta, dan jaringan Eropa untuk manajemen dan kebijakan budaya, ENCATC.
Edisi tahun ini yang diselenggarakan di Yogyakarta mengangkat tema “Rethinking Cultural Diplomacy Together” mempertemukan delapan perwakilan sektor seni dari Brunei Darussalam, Kamboja, India, Indonesia, Italia, Swiss, dan Inggris, bersama sembilan perwakilan pemerintah dari negara-negara Asia dan Eropa. Para peserta membawa perspektif dari praktik kerja dan wilayah masing-masing, serta mendiskusikan tantangan dan peluang diplomasi budaya kolektif. Indonesia menjadi sorotan dalam forum ini karena ekosistem seni yang beragam. Namun masih ada berbagai hambatan, terutama dalam kerja sama budaya internasional.
Peserta dari Indonesia menyoroti bahwa minimnya pengakuan terhadap kebebasan berkesenian menjadi hambatan struktural dalam diplomasi budaya. Sebagaimana didefinisikan oleh UNESCO, kebebasan berkesenian mencakup hak untuk berkarya tanpa sensor dan intimidasi, serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya secara bebas.
“Agar diplomasi budaya benar-benar berdampak, ia harus melampaui representasi simbolik dan mendorong perubahan struktural dengan memperkuat suara para pelaku budaya, menjamin hak-hak mereka, dan menyelaraskan narasi nasional dengan realitas hidup mereka yang menopang ekosistem budaya,” ujar Oming Putri, Manajer Pengembangan Organisasi dan Kemitraan Koalisi Seni.
Kurangnya pengakuan terhadap kebebasan berkesenian sebagai kebutuhan dasar sering kali menghasilkan kebijakan publik yang mengabaikan hak kebebasan berkesenian. Hal ini berisiko melemahkan keragaman ekspresi budaya serta membatasi potensi transformatif diplomasi budaya.
Dalam era yang penuh percepatan dan ketidakpastian, para peserta ASEF LinkUp 2025 secara kolektif menekankan pentingnya keterlibatan komunitas lokal dan kelompok yang kurang terwakili, kerangka kerja yang mengakui dan melindungi kebebasan berkesenian, dan jejaring pendukung yang mendorong kerja sama budaya jangka panjang yang berkelanjutan.
Dengan membagikan tantangan bersama dan perhatian kontekstual dari tiap negara, forum ASEF LinkUp 2025 membuka ruang untuk dialog bermakna antara sektor seni dan pemerintah menuju kerja sama budaya lintas negara yang lebih terkoordinasi, inklusif, dan adil.