Penghargaan sastra di Indonesia sudah berlangsung sejak 1952 dan berlanjut menjadi tradisi prestisius sampai hari ini. Berbagai lembaga bergantian memberi anugerah pada karya bermutu dengan aneka kategori, mulai dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN), Majalah Horison, Rancage, Badan Bahasa, Kusala Sastra Khatulistiwa, hingga Dewan Kesenian Jakarta. Dari sekian penghargaan dengan tradisi sepanjang itu, seberapa banyak nama perempuan muncul?
Berdasarkan data tim peneliti Koalisi Seni, terjadi ketimpangan gender dalam sejumlah penghargaan sastra. Misalnya, Sayembara Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2019 menetapkan 9 pemenang kategori novel, tapi hanya 3 di antaranya perempuan. Penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2020 mengumumkan 10 nomine kategori puisi, tapi cuma 3 yang perempuan. Pada tahun 2020, Penghargaan Sastra Badan Bahasa mengumumkan nominasi dari 5 Kategori Penghargaan Sastra yang seluruhnya laki-laki. Tidak hanya dari sisi nomine dan pemenang, ketimpangan gender pun terlihat pada komposisi juri. Pada penghargaan Lima Besar Buku Sastra Tempo 2020, misalnya. Dari 3 juri, seluruhnya laki-laki. Kondisi ini tentu menjadi sorotan publik.
Obrolan kami pada September 2021 dengan tiga Anggota Koalisi Seni pegiat ekosistem sastra mengungkap ada tabir yang harus dibuka untuk memahami ketimpangan dalam penghargaan sastra. Ketimpangan inilah penyebab kerja perempuan penulis kurang mendapatkan kesempatan untuk diapresiasi.
Bagi Eliza Vitri Handayani, penulis novel From Now on Everything Will Be Different, ada banyak penyebab ketimpangan pada penghargaan sastra. “Di antaranya, bias gender pada standar penilaian. Bias-bias ini tidak hanya merujuk pada para juri, namun juga cara publik secara luas mengapresiasi sebuah karya sastra. Hal lain yang perlu pula disoroti adalah proses penulisan karya sastra, penerbit, dan panitia pengelola” tuturnya.
Penerbit punya pengaruh apabila penghargaan sastra memberikan keleluasaan pendaftaran karya di tangan penerbit. Artinya, penerbit menyeleksi karya secara internal untuk memilih karya yang akan didaftarkan ke ajang penghargaan sastra. Jika penerbit tidak memiliki kesadaran gender, ia menjadi tangan pertama yang menutup kesempatan perempuan penulis ikut andil dalam penghargaan.
Panitia juga berperan dalam penghargaan sastra. Beberapa penghargaan sastra memposisikan panitia untuk ikut menyeleksi karya yang masuk sebelum diletakkan di meja juri. Jika panitia memiliki bias dalam menilai dan menomorduakan karya sastra perempuan, mereka jadi tangan kedua yang menutup kesempatan perempuan penulis dalam penghargaan sastra. Disamping itu, panitia memiliki otoritas untuk memilih nama-nama juri yang akan mengambil peran dalam setiap tahapan seleksi. Seperangkat peraturan bagi dewan juri juga berasal dari panitia. Ketika peraturan tersebut tidak berperspektif gender, karya perempuan penulis akan semakin terpinggirkan dari meja penilaian.
Dalam proses penulisan karya pun terdapat banyak ketimpangan gender. Kesulitan perempuan terhadap akses pendidikan dan waktu akibat budaya patriarki turut mempengaruhi kemampuan mereka menciptakan karya yang sesuai dengan standar arus utama. Perempuan kerap kali dibebani tugas domestik, sehingga waktu untuk menulis jadi lebih sempit ketimbang lelaki. Padahal, proses penulisan bukanlah pekerjaan sampingan yang bisa dianggap enteng, sehingga memerlukan waktu memadai.
Kalaupun karya sudah berhasil diciptakan, muncul hambatan lain seperti adanya editor tak sensitif gender di perusahaan penerbitan besar. Dampaknya, penulis lebih memilih penerbitan skala kecil yang lebih progresif dan komunikatif, namun pemasaran karya jadi terbatas. Selain itu, berdasarkan pengalaman Eliza sewaktu mencoba mencari mentor dalam skena sastra, respon yang didapatkan dari upaya tersebut justru berwujud seksisme, seperti lontaran “Ini ada perempuan baru, siapa nih yang mau ngajarin?” atau “Iya Cantik, jadi kita nanti mau ketemu di mana?”. Ini menunjukkan normalisasi tindak objektifikasi pada perempuan dalam sastra.
Bagi Dewi Noviami, penggagas Ruang Perempuan dan Tulisan (RPdT), pertanyaan “Apakah karya perempuan berpeluang menang anugerah sastra?” mengingatkannya pada awal terbentuknya kelompok riset tersebut. Upaya penelusuran perempuan penulis cukup sulit dilakukan karena minimnya data dan arsip karya mereka. Ajang penghargaan sebenarnya bisa berkontribusi dalam upaya pendataan dan pengarsipan perempuan penulis dengan cara mengarsipkan karya yang masuk meja seleksi, sehingga karya perempuan penulis dapat diakses publik demi kepentingan riset.
Menurut Dewi, perlu perspektif luas dan mendalam untuk memahami ketimpangan gender dalam penghargaan sastra.. Ia berpendapat, “Ketika laki-laki tanpa kesadaran gender menjadi pengelola penghargaan, ia akan merasa, ‘Ya inilah sastra, yang terbaik itulah yang dipilih’. Berbeda ketika pengelola penghargaan adalah perempuan atau individu yang punya kesadaran gender. Mereka melihat sastra sebagai bukti konkret fenomena gunung es. Karya yang muncul di permukaan merupakan representasi sebuah sistem kerja yang tidak diketahui kebanyakan orang. Keadaan itulah yang perlu digeledah ulang, banyak permasalahan mendasar harus ditinjau.”
Ia menambahkan, tak jarang juri sebenarnya sudah memiliki pemahaman gender. Pertanyaannya, bagaimana kesadaran tersebut dapat berperan dalam sistem? Juri sesungguhnya punya otoritas menolak menilai atau bertanya kepada panitia jika karya perempuan penulis tak muncul di meja penilaian.
Dewi memaparkan sederet hal lain yang perlu diperhatikan agar penghargaan sastra lebih adil. Misalnya, pentingnya pengarusutamaan gender serta upaya mengenali dan memahami karya-karya sastra dari luar Pulau Jawa. Di sisi lain, penghargaan sastra dan kritik sastra saling mempengaruhi. Kritik sastra akan mempengaruhi karya-karya yang dianggap layak untuk dikirimkan. Sebaliknya, penghargaan sastra dapat mempengaruhi pemasaran karya sastra yang berujung pada pembentukan pengetahuan dan kemampuan kritis pembaca. Sementara itu, pendidikan adalah faktor lain yang harus diperbaiki. Ia menilai anak tidak akan mengerti soal buku yang bagus apabila tidak dikenalkan sejak kecil tentang cara mengkaji sebuah karya. Kemampuan mengkaji itu yang pada akhirnya akan berpengaruh pada minat baca dan menulis karya sastra.
“Penghargaan sastra akan menjadi mercusuar yang menerima banyak serangan ketika ia berjalan sendiri,” ucapnya. Dewi yakin penghargaan sastra bisa jadi lebih baik dan berkontribusi mengatasi ketimpangan gender apabila mampu merangkul kritik sastra dan merasuk ke lini pendidikan. Dari sisi penulis, ketimpangan gender dapat ditangani dengan memenuhi kebutuhan perempuan penulis, seperti meningkatkan akses terhadap buku-buku bacaan dan residensi sastra. Sebab, proses penulisan juga meliputi kerja riset.
Upaya lain yang dapat dilakukan penulis dalam menumpas ketimpangan gender adalah dengan berkumpul, berjejaring, mengidentifikasi sistem pendukung yang dibutuhkan, membuat target, serta bekerja sama meraih target itu. Misalnya, dengan menginisiasi atau bergabung dengan organisasi maupun kolektif, seperti Peretas (Perempuan Lintas Batas), Blogger Perempuan Network, IIDN (Ibu-Ibu Doyan Nulis), dan banyak lainnya.
Menghapus ketimpangan gender tidak dapat dilakukan sendirian. Dengan bersama-sama, upaya advokasi untuk keadilan gender memiliki peluang keberhasilan lebih besar. Asmayani Kusrini, penulis novel Siri’, menambahkan upaya menumpas ketimpangan gender harus dilakukan secara sistematis, dari tingkat terkecil yaitu keluarga, hingga institusi pendidikan dan pemerintah. Seluruh kalangan juga harus terus membicarakannya dalam berbagai kesempatan, baik di acara formal maupun non formal, untuk meningkatkan kesadaran tentang adanya ketimpangan gender yang harus diubah, termasuk dalam penghargaan sastra.
Sebab, bagi Rini, “Penghargaan sastra itu semacam rambu penunjuk arah yang dipasang sepanjang jalan sebagai titik referensi, penanda zaman, dan diharapkan membantu pemakai jalan pada masa mendatang.” Maka, tak heran bila pengaruh penghargaan sastra cukup besar bagi masyarakat maupun sastrawan.
Menurut Rini, penghargaan sastra menciptakan barisan karya-karya yang dianggap penting dibaca. Proses ini tentu mempengaruhi persepsi publik dalam mengonsumsi pengetahuan melalui karya sastra. Bila penghargaan sastra terus didominasi laki-laki, buku-buku karya perempuan bakal terjebak di rak-rak belakang yang tersembunyi. Padahal, semakin banyak penghargaan sastra diberikan kepada perempuan, makin beragam pula representasi gender, cara pandang, dan gaya estetika perempuan yang bisa mendapat sorotan. Sehingga, pembaca maupun calon penulis dapat membuka wawasannya dan mendapatkan inspirasi. (Diva Oktaviana)