/   Kabar Seni

Jakarta – Perempuan yang bekerja dalam sektor seni dan kreatif rentan mengalami berbagai tantangan berlapis karena gender dan kelas sosialnya. Kerentanan ini makin besar bagi perempuan yang bekerja di balik layar seni dan kreatif.

“Sebab, pekerjaan di balik layar ini seringkali tidak tampak sehingga minim pelindungan atas berbagai risikonya. Risiko ini tidak hanya kepada fisik mereka, tapi juga mentalnya,” ujar Koordinator Peneliti Kebijakan Koalisi Seni, Ratri Ninditya, pada Minggu, 7 November 2021.

Menurut Ratri, dalam survei daring yang dilakukan Koalisi Seni pada Juli 2021 terhadap 202 pekerja seni perempuan, dari tujuh dimensi kerja yang diteliti, kondisi paling buruk ada pada dimensi intensitas kerja dan aspek kerja emosional. Survei juga menemukan lebih dari 50% responden bekerja tanpa kontrak tertulis, lebih dari 25% pernah mengalami kekerasan dalam setahun terakhir, lebih dari 80% tidak berserikat, hampir 70% tidak mendapatkan pembekalan untuk peningkatan kapasitas, dan 41% mendapat upah di bawah UMR. Meskipun demikian, hampir seluruh responden bekerja atas keinginan pribadi. Motivasi kerja tinggi yang tidak didukung kondisi kerja memadai bisa berdampak pada pemakluman hingga pelanggengan eksploitasi serta pensiun dini.

Ratri memaparkan secara umum, pelanggengan eksploitasi pekerja seni – apa pun gendernya – terjadi karena tiadanya ruang lingkup khusus dalam kebijakan Indonesia mengenai mereka dan haknya. Undang-Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan mengidentifikasi seniman sebagai “Sumber Daya Manusia Kebudayaan” namun belum spesifik mengatur perlindungan kerjanya. Dalam UU Ekonomi Kreatif, jika seniman ingin dilindungi, ia harus menjelma jadi pihak lain dengan definisi dalam peraturan terkait, yang mungkin tak sepenuhnya mengakomodasi kekhasan bentuk dan cara kerjanya. Dalam hubungan kerja formal, pekerja seni dilindungi peraturan ketenagakerjaan yang bersifat umum. Sementara itu, kerja seni informal kerap luput dari perlindungan UU Ketenagakerjaan.

Namun, perempuan harus menghadapi tantangan lebih besar lagi ketimbang kolega lelakinya, seperti kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. “Di dalam sistem kerja patriarkis, perlindungan hukum tidak memadai, dan ilusi akan fleksibilitas kerja seni dan kreatif, eksploitasi dilanggengkan,” kata Ratri.

Musisi dan aktivis Kartika Jahja berpendapat kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja yang muncul di permukaan hanyalah puncak gunung es. “Normalisasi tindak kekerasan di kalangan seni, aparat hukum yang tidak berpihak pada korban, dan risiko penghakiman publik terhadap korban menyebabkan pelaku dibiarkan bebas sementara korban menanggung trauma jangka panjang sendirian,” tuturnya.

Peneliti dan musisi Rara Sekar mengatakan riset Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) pada 2020 menemukan pekerja kreatif mengalami eksploitasi dengan ilusi kerja fleksibel, atau kerap disebut flexploitation. Pekerja di sektor industri kreatif digadang-gadang memiliki fleksibilitas ruang dan waktu sehingga bisa bekerja di mana pun dan kapan pun, tapi faktanya mereka harus menghadapi jam kerja panjang serta batasan antara waktu kerja dan istirahat yang kabur.

“Kondisi ini hampir selalu dibarengi dengan fleksibilitas upah seperti tidak mendapatkan upah yang layak dibandingkan beban kerjanya, sehingga mereka harus mengambil beberapa pekerjaan sekaligus. Seringkali mereka juga bekerja tanpa jaminan sosial. Kondisi kerja fleksibel yang eksploitatif ini berdampak pada kesehatan fisik dan mental para pekerja,” ucapnya.

Berdasar temuan survei, Koalisi Seni menyusun sejumlah rekomendasi kebijakan. Antara lain, Pemerintah diminta mencantumkan pelindungan hak pekerja seni, serta memantau kebebasan berkesenian dengan fokus pada kekerasan berbasis gender dalam kerja seni. Pemberi kerja pun harus membuat kebijakan pencegahan dan penanggulangan kekerasan di tempat kerja. Sementara itu, pekerja seni perlu bergabung dalam serikat untuk memperkuat posisi tawarnya. Rekomendasi selengkapnya ada pada tabel di bawah.

Untuk membahasnya lebih lanjut, Koalisi Seni mengadakan diskusi virtual “Kerentanan Pekerja Perempuan di Sektor Seni dan Kreatif: Sudahkah Dilindungi?” pada Senin, 8 November 2021, pukul 15.00 WIB. Diadakan sebagai rangkaian kegiatan Indonesia Contemporary Art and Design (ICAD), acara tersebut mengundang Angela Tanoesoedibjo sebagai penanggap utama. Ratri Ninditya, Kartika Jahja, dan Rara Sekar menjadi pembicara, sedangkan Dian Arumningtyas bertindak sebagai moderator. Peserta dapat bergabung melalui tautan arturaicad.com.

Survei daring Koalisi Seni merupakan bagian riset kerja emosional perempuan dalam sektor seni, yang segera diluncurkan. Riset ini merupakan kegiatan advokasi Koalisi Seni untuk keadilan gender dalam seni.

 

Rekomendasi Koalisi Seni untuk Pelindungan Pekerja Seni Perempuan

Pemangku Kepentingan Rekomendasi
Pemerintah 1.      Mencantumkan pelindungan terhadap hak-hak pekerja seni, termasuk mekanisme penanggulangan risiko kerja dalam peraturan turunan UU Pemajuan Kebudayaan dan UU Ekonomi Kreatif.

2.      Penguatan jaring pengaman untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan berbasis gender dengan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

3.      Melaksanakan pemantauan kebebasan berkesenian dengan fokus pada kekerasan berbasis gender dalam kerja seni.

Pemberi kerja 1.      Membuat kebijakan untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan di tempat kerja. Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja berdasarkan Surat Edaran Menteri SE.03/MEN/IV/2011 dapat menjadi panduan. Pedoman tersebut mencakup pembuatan standar prosedur penanganan serta mekanisme pemantauan dan pengaduan.

2.      Mengakui kerja emosional sebagai bentuk kerja berisiko dan menerapkan mekanisme penanggulangan seperti:

a.      Memberi waktu istirahat cukup

b.      Merotasi staf untuk pekerjaan yang membutuhkan komunikasi intensif dengan publik

c.       Memberi durasi kerja tetap sesuai kesepakatan dua belah pihak

d.      Menjamin biaya perawatan kesehatan mental pekerja

3. Menciptakan tempat kerja lebih demokratis melalui:

a.      Forum rutin sebagai wadah aspirasi pekerja

b.      Desentralisasi proses pengambilan keputusan

c.       Bagi lembaga seni berbentuk perkumpulan, dapat merotasi pengawas, pengurus, dan staf harian secara berkala

Pekerja seni Bergabung dalam serikat.
Serikat pekerja seni dan kreatif Memperkuat dan memperluas cakupannya.
Lembaga pendonor Memantau praktik kerja penerima dana agar selalu bebas dari misogini, seksisme, dan transfobia dan memberikan mekanisme penanggulangan implikasi kerja emosional
Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.