Sistem kerja di industri film dinilai belum aman dari kekerasan seksual. Mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual menjadi salah satu langkah menciptakan ruang aman.
Jakarta – Terciptanya ruang aman dari kekerasan seksual di perfilman terus didorong oleh banyak pihak, utamanya para pekerja di industri ini. Awal tahun ini, Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI) merilis buku panduan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang bisa diakses publik di situs resmi mereka. Panduan yang disusun para produser film itu berangkat dari sejumlah kasus yang pernah terjadi dalam produksi sinema.
Produser sekaligus anggota APROFI Gina S. Noer menjelaskan, panduan antikekerasan seksual ini sudah mulai diproses organisasinya sejak 2018. Salah satu yang memantik adalah kampanye Sinematik Gak Harus Toksik (SGHT) yang membuka aduan atas kekerasan seksual di industri film. “Di industri ini, ada yang menjadi korban kasus kekerasan seksual, atau ‘minimal’ di-catcalling. Korbannya pun lintas struktural,” ujar Gina saat hadir secara virtual sebagai pembicara diskusi “Ruang Aman dalam Ruang Penciptaan: Penanganan Kekerasan Seksual di Perfilman Kita” yang digelar Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki, 18 Juli 2023.
Gina sendiri pernah mendapati kasus kekerasan seksual (KS) terjadi di lingkup produksi filmnya. Pada 2019, tiga bulan setelah rampung memproduksi sebuah serial, Gina mengetahui ada pelecehan seksual yang dilakukan seorang kru terhadap pekerja magang. Oleh karena itu, menurut Gina, penting sekali ada sosialisasi kekerasan seksual, serta pakta integritas yang diteken semua pihak sebelum berlangsungnya produksi sinema. “Kami sadar, menandatangani pakta integritas tidak cukup bila seseorang tidak memahami definisi kekerasan seksual,” kata dia.
Selain sosialisasi, adanya acuan seperti buku panduan pencegahan dan penanganan KS juga penting untuk menciptakan ruang aman di perfilman. Gina menyebut, panduan yang disusun APROFI mencakup seluruh aspek kegiatan dan berfokus pada keberpihakan terhadap korban. Buku Panduan APROFI memuat penjelasan soal hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan sejak terjadi kasus KS. Korban juga berhak menyetujui dan menyepakati bentuk tindak lanjut penanganan aduan.
Koordinator Penelitian Koalisi Seni Ratri Ninditya atau Ninin menjelaskan, tujuan akhir dari mekanisme pencegahan dan penanganan kasus KS adalah menciptakan ruang aman. Berbeda dari kasus tindak pidana lainnya yang bertujuan menghukum pelaku, prinsip dalam penanganan tindak pidana kekerasan seksual adalah kepentingan terbaik bagi korban. “Dalam mekanisme penanganan, korban mendapat penjelasan soal risiko atas langkah yang ditempuh, sehingga dia bisa memutuskan sendiri secara sadar, tindakan yang ingin dilakukan,” kata Ninin.
Ninin menilai pakta integritas serta buku panduan yang digagas APROFI adalah contoh baik yang bisa menjadi rujukan pencegahan dan penanganan kasus KS. Yang juga perlu diperhatikan dalam pencegahan dan penanganan kasus KS ini adalah prinsip keadilan untuk korban, kesetaraan, aksesibilitas, akuntabilitas yang berarti seluruh aduan yang masuk mesti dicatat dan didokumentasikan dengan menjaga kerahasiaan korban, independensi, kehati-hatian, konsistensi, dan jaminan ketidakberulangan.
Seluruh prinsip itu mesti mendasari mekanisme pencegahan dan penanganan kasus KS di sebuah organisasi. Dalam mekanisme itu, ada sejumlah komponen yang harus disiapkan, yakni panduan tertulis yang jelas, kanal aduan, serta petugasnya.
Untuk satuan tugas yang menangani kasus KS, diharapkan mengacu pada standar keterwakilan perempuan sebanyak minimal dua per tiga dari seluruh anggota, jumlahnya harus ganjil, dan lebih dari separuhnya adalah pihak yang punya relasi kuasa lebih kecil di sebuah lembaga. Satgas juga semestinya sudah mendapat bekal pelatihan dasar penanganan kasus, dan tidak pernah terbukti melakukan KS.
Sedangkan untuk aturan tertulisnya, bisa berupa kode etik. Sanksi bagi pelaku yang diterapkan di sebuah perkumpulan berbasis keanggotaan ini bisa mencakup pemecatan dari keanggotaan. “Koalisi Seni baru saja mengesahkan Kode Etiknya tahun lalu,” ujarnya.
Selain memperkuat komponen internal, Ninin menganggap penguatan eksternal juga sebaiknya dilakukan lembaga. Misalnya, menjalin kerja sama dengan pihak yang ahli dalam penanganan kasus, seperti Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH-APIK), Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG), Taskforce Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), dan lain sebagainya. Bentuk kemitraan semacam ini dinilai Ninin bisa membantu lembaga yang mengalami keterbatasan sumber daya.Bentuk kerja samanya bisa berupa pelatihan tentang isu KS hingga menjadi rujukan jika terjadi kasus.
APROFI sendiri berkonsultasi pada sejumlah pihak, seperti Komisi Nasional untuk Perempuan dan Aliansi Laki-laki Baru untuk menyusun buku panduan dan sosialisasi ke produser film. Adapun dengan perusahaan layanan over-the-top (OTT), Gina menjelaskan, kerja sama dibentuk untuk pengadaan intimacy coordinator dalam produksi film.
Anggota Komite Film DKJ Shuri Mariasih Gietty Tambunan menggarisbawahi bahwa membangun kesadaran soal KS dan ruang aman di ekosistem seni menjadi pekerjaan rumah bersama. Ia menilai, sebagian pekerja seni bisa jadi belum memiliki pengetahuan cukup soal KS. Begitu pun Ninin, mengingatkan pentingnya ruang aman dalam seni. “Jangan menganggap ini sebagai sesuatu yang rumit. Sambil jalan, kita bisa menyempurnakan sistemnya. Yang penting, dimulai saja dulu,” ujarnya.
Isma Savitri