/   Kabar Seni

Koalisi Seni mencatat ada 33 pelanggaran kebebasan berkesenian sepanjang tahun lalu. Korbannya tak hanya dari kalangan seniman.

Jakarta – Situasi kebebasan berkesenian di Indonesia masih jauh dari ideal. Dalam riset “Stop Stigmatisasi Seni Terus: Situasi Kebebasan Berkesenian 2022 ”, Koalisi Seni mencatat ada 33 peristiwa pelanggaran kebebasan berkesenian di Indonesia sepanjang 2022. Pelanggaran ini terjadi paling banyak pada bidang seni musik (21 peristiwa), diikuti tari (11 peristiwa), teater (5 peristiwa), seni rupa (4 peristiwa), film (2 peristiwa), dan sastra (1 peristiwa). Satu peristiwa dapat terjadi pada lebih dari satu bidang seni. 

Tingginya angka pelanggaran pada bidang seni musik diduga terjadi karena antusiasme penyelenggaraan acara musik meningkat setelah pemerintah memperbolehkan acara diadakan lagi di ruang fisik.  Namun di tengah tingginya antusiasme acara seni luring ini, 12 peristiwa pelarangan seni dilatarbelakangi stigma. “Lewat pemantauan media sepanjang 2022, kami mendapati seni sering dilarang karena dianggap memicu tindakan yang bertentangan dengan moralitas dan norma yang berlaku di masyarakat,” ujar Manajer Advokasi Koalisi Seni Hafez Gumay di Jakarta, 14 Juli 2023.

Koalisi Seni sejak 2020 meluncurkan laporan pemantauan kebebasan berkesenian secara berkala. Dari pemantauan media, tercatat ada 107 kasus pelanggaran kebebasan berkesenian pada 2010-2021 dari berbagai disiplin seni seperti tari, musik, teater, dan film. Adapun laporan 2021 menitikberatkan pada temuan Covid-19 sebagai dalih baru opresi. Angka pelanggaran kebebasan berkesenian ini bisa diakses publik di situs kebebasanberkesenian.id. Selain menjadi basis data peristiwa pelanggaran, situs tersebut juga berfungsi sebagai layanan aduan kebebasan berkesenian.

Menurut analisis Koalisi Seni terhadap situasi kebebasan berkesenian pada 2022,  seni didukung untuk berperan memulihkan perekonomian pascapandemi. Koordinator Penelitian Koalisi Seni Ratri Ninditya atau Ninin menjelaskan, pascapandemi tak sedikit pejabat negara yang secara eksplisit mendukung bangkitnya sektor seni. Namun dukungan ini tidak dirasakan secara merata oleh para pelaku seni. “Masih ada stigma yang mengusik seni. Di beberapa wilayah, seni dianggap sebagai hal yang berpotensi mengundang maksiat,” kata Ninin.

Ninin mengungkapkan, dari 12 peristiwa pelanggaran kebebasan berkesenian karena stigma, 7 di antaranya karena seni dianggap memicu penggunaan napza. Adapun 5 peristiwa lainnya karena seni dianggap vulgar dan/atau melibatkan kelompok LGBTIQ. 

Stigma seni sebagai pemicu penggunaan napza salah satunya terjadi di Provinsi Sumatera Selatan. Kebijakan daerah di Sumsel mengatur larangan organ tunggal memainkan aliran musik elektro atau remix. Alasannya, acara yang menyuguhkan penampilan tersebut rentan dijadikan tempat tindak penyalahgunaan napza, dan tak sedikit berujung keributan hingga menelan korban jiwa.

Salah satu peraturan daerah di Sumsel yang mengatur soal itu adalah Perda Kabupaten Muara Enim No.06/2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat pasal 10 ayat 1. Ada pula Perda Kab. Lahat No.1/2020 yang menyatakan musik organ tunggal dan remix harus izin dan dilaksanakan hanya sampai jam 18.00. Perkembangan kebijakan ini menunjukkan bahwa stigma terhadap seni sudah berlangsung secara sistemik, dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis dan berpotensi mengkriminalisasi seni itu sendiri.

Selain karena stigma, Covid-19 masih menjadi dalih pelarangan seni pada 2022 dengan catatan 10 peristiwa. “Seperti pada 2021, pelarangan ini sebagian besar terjadi atas seni yang ditampilkan sebagai bagian dari hajatan atau perayaan warga, seperti pentas kuda lumping dan barongsai. Acara seni itu dianggap memicu kerumunan,” terang Ninin. Adanya pelarangan ini membuat 10 korban berupa individu dan kelompok gagal mendapat hak atas dukungan, jalur distribusi, dan remunerasi, tanpa mendapat alternatif pemenuhan hak dengan cara lainnya. Korban ini, sebagian besar, bermata pencaharian utama sebagai seniman. “Sehingga larangan untuk berkesenian ini menyebabkan hilangnya hak seniman untuk menafkahi dirinya.”

Dari 33 pelanggaran kebebasan berkesenian sepanjang 2022, tercatat ada 45 korban, 7 di antaranya bukan seniman. Ketujuh korban itu ada yang berprofesi sebagai promotor acara, mahasiswa, pekerja radio, dan buruh harian. Ninin menjelaskan, dalam metode pencatatan ini, korban bisa berupa individu atau kelompok sehingga 1 satuan hitung korban tidak selalu mencerminkan 1 orang, tapi bisa jadi 1 kelompok individu.

Seperti metode pencatatan korban, pelaku bisa berupa individu atau kelompok. Koalisi Seni mencatat ada 45 total pelaku, dari entitas pemerintah dan nonpemerintah, individu/kelompok yang memiliki kekuasaan, dan organisasi komersial. Entitas pemerintah terdiri atas polisi, satuan tugas, dan pemerintah lokal. Sedangkan entitas nonpemerintah terdiri atas organisasi kemasyarakatan dan kumpulan sipil. Adapun pelaku individu/kelompok yang memiliki kekuasaan terdiri atas administrator sekolah, guru, dan individu/kelompok yang memiliki kekuasaan di tempat kerja. Sementara itu pelaku organisasi komersial terdiri atas korporasi lokal/nasional, dan lainnya. 

Sayangnya, hampir tidak ada penindakan terhadap pelaku. Dari 45 pelaku, hanya 2 yang ditindak. Keduanya adalah individu pelaku kekerasan seksual.  Sementara pelaku lain yang berasal dari pemerintah, organisasi masyarakat, pejabat kampus, dan perusahaan, tidak ditindak. Hal ini menunjukkan pelanggaran kebebasan berkesenian masih dianggap hal wajar dan tidak dikategorisasi sebagai pelanggaran hukum. “Kurangnya pemahaman mengenai kebebasan berkesenian di kalangan aparat penegak hukum, pemerintah, dan masyarakat membuat seniman, pekerja seni, dan penyelenggara acara seni, justru lebih sering dianggap sebagai pelaku pelanggaran,” jelas Hafez. 

Karenanya, Hafez menambahkan, perlu upaya sosialisasi ke pemangku kepentingan, baik itu pemerintah maupun aparat penegak hukum di tingkat pusat dan daerah soal kebebasan berkesenian. Upaya itu perlu dibarengi tinjauan atas peraturan tingkat daerah karena larangan terhadap seni sering mengacu pada pasal-pasal karet di dalamnya.

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.