Eduard Lazarus, Peneliti Kebijakan Seni Budaya Koalisi Seni
Mungkin Anda, seperti saya, sudah memiliki ancang-ancang dalam menyambut Hari Film Nasional yang jatuh pada 30 Maret silam. Target saya sendiri tahun ini tidak muluk-muluk: menonton Impian Kemarau (2004) besutan sutradara Ravi Bharwani yang dianggap monumental oleh kawan-kawan sinefil saya pada perhelatan Bulan Film Nasional oleh Kineforum. Rencana ini, seperti halnya banyak rencana lain, terpaksa buyar.
Apabila merefleksi, pandemi COVID-19 adalah masalah kemanusiaan: yang tengah kita hadapi adalah perkara hidup, mati, dan derita umat manusia. Namun, pandemi ini juga memaksa kita untuk menengok ulang berbagai sistem—atau ekosistem—yang dibangun untuk menjamin hidup dan kebahagiaan umat manusia di waktu non-krisis. Hal ini termasuk ekosistem perfilman, yang terdiri dari industri perfilman hingga berbagai komunitas film yang bergerak secara independen di seluruh Indonesia. Bagaimana mereka menghadapi ancaman krisis, terutama krisis finansial, yang disebabkan oleh pandemi ini?
Membayangkan dampak COVID-19 terhadap industri perfilman barangkali lebih mudah mengingat adanya rantai industri dari produksi hingga penayangan yang relatif saklek. Ancaman utamanya adalah sumber pemasukan yang tidak stabil: produser dan anggota Koalisi Seni Edwin Nazir sempat menyatakan bahwa pekerja film umumnya dikontrak berbasis proyek. Meski tingkat bayaran tiap pekerja film jelas berbeda, mereka semua sama-sama terancam untuk tidak mendapat pemasukan sampai sistem produksi bermula kembali.
Guncangan yang diakibatkan COVID-19 terhadap industri perfilman Indonesia sendiri berlangsung secara bertahap. Per 17 Maret 2020, misalnya, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan imbauan kepada pelaku film untuk melakukan pembatasan sosial dengan mengurangi kegiatan yang melibatkan banyak orang.
Di hari yang sama, Indonesian Cinematographers Society (ICS) dan Persatuan Karyawan Film dan Televisi (KFT) sudah mengeluarkan surat edaran untuk memastikan keamanan pada proses pengambilan gambar. Hal ini meliputi memastikan ketersediaan alat pembersih untuk kru, pemain dan perangkat produksi dan memastikan seluruh orang yang terlibat dalam pengambilan gambar untuk mengisi formulir swa-penilaian (self-assessment form). Selain itu, rumah produksi juga diharapkan memastikan asuransi kesehatan bagi pekerja film hingga 14 hari setelah pengambilan gambar—sesuai dengan periode maksimal inkubasi virus COVID-19.
Seiring memburuknya situasi, imbauan ini menjadi kian serius. Pada 26 Maret 2020, Kepolisian Negara Republik Indonesia mengirimkan surat kepada 70 pimpinan rumah produksi untuk menghentikan total aktivitas pengambilan gambar hingga batas waktu yang belum ditentukan—dengan sanksi berdasarkan Undang-undang yang berlaku bagi pelanggar. Sejumlah rumah produksi, seperti Sinemart, diketahui telah menghentikan pengambilan gambar dan berjanji untuk melunasi gaji bulanan kru serta menanggung honor pemain.
Selain mandeknya produksi di bagian hulu, penayangan film sebagai hilir industri perfilman pun terhenti. Usai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan surat edaran untuk memberhentikan seluruh kegiatan operasional usaha hiburan dan rekreasi dari 23 Maret hingga 5 April 2020, jaringan bioskop Cinema XXI menghentikan pula aktivitas penayangan film di 17 kota lain yang antara lain mencakup Depok, Surabaya, Denpasar, Balikpapan, Jayapura hingga Manado. Saat ini, masa darurat COVID-19 di Jakarta telah diperpanjang hingga 19 April, dan keputusan sama dapat diambil di daerah lain pula. Pihak Cinema XXI menyebut situasi ini sebagai “kondisi terburuk yang pernah dialami sejak perusahaan berdiri”, dan menyiasatinya dengan memangkas remunerasi untuk jajaran Komisaris dan Direksi hingga situasi normal guna menutup pengeluaran gaji karyawan—sebuah keputusan yang perlu diapresiasi.
Dari sudut pandang pelaku industri, pandemi ini merupakan pukulan keras. Apalagi setidaknya di atas kertas, perkembangan industri film Indonesia saat ini tampak cukup mengesankan. Data dari laman filmindonesia menunjukkan bahwa pada akhir Desember 2019. Indonesia sudah memiliki 508 bioskop dengan 2.100 layar; sebagai perbandingan, pada tahun 2012 kita hanya memiliki 145 bioskop serta 609 layar. Selain itu, Filmindonesia juga mencatat bahwa terdapat 129 judul film yang rilis sepanjang 2019, dengan angka penonton sebanyak 51.901.745. Ketua Badan Perfilman Indonesia (BPI), Chand Parwez, bahkan sempat memperkirakan bahwa angka penonton pada 2020 akan mencapai 60 juta.
Tentu angka-angka ini bukanlah indikator tunggal kemajuan perfilman Indonesia. Terpisah dari data dan konteks lainnya, mereka tidak dapat berbicara banyak mengenai kesejahteraan pekerja film, sama sekali tidak menjelaskan geliat komunitas dan pegiat film independen yang tersebar di berbagai kota, serta berada di dunia yang sama sekali berbeda dengan urusan pencapaian artistik.
Namun, bertumbuhnya sebuah industri seringkali juga berarti penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak. Dalam konteks ini, memangkas pemasukan direksi untuk gaji pegawai tentu bukan siasat yang berkelanjutan, apalagi dengan kebutuhan untuk menghidupkan kembali industri yang terancam mandek satu tahun ke depan. Padahal, industri perfilman tengah berada di fase nyaris lepas landas dan mulai memperoleh banyak investasi dalam jumlah besar.
Sementara itu, kita sulit memperkirakan dengan pasti dampak COVID-19 terhadap komunitas perfilman di daerah, yang seringkali bergerak secara independen dan sporadis. Berdasarkan pemahaman saya pribadi, setidaknya, komunitas seni yang bergerak di daerah jarang memfokuskan diri pada satu bidang; mereka menggelar pemutaran film dan diskusi hingga menyelenggarakan pameran serta perhelatan seni performans. Di satu sisi, keluwesan ruang gerak ini dapat berarti bahwa pembatasan sosial skala besar akibat Covid-19 bisa diakali dengan memfokuskan diri ke kegiatan dan pengkaryaan berorientasi daring. Di sisi lain, asumsi yang cukup realistis adalah mereka tidak memiliki jaring pengaman seperti halnya pekerja industri yang dilindungi oleh regulasi, dan karenanya dapat lebih rentan secara finansial.
Apabila memandang ekosistem perfilman secara holistik, berbagai komunitas ini memiliki peran penting yang seringkali tidak tersentuh oleh industri film, yakni memutarkan dan menghadirkan konteks bagi film-film nasional di wilayah masing-masing. Praktik dan produksi wacana alternatif ini, sebagai gantinya, memberi umpan balik bagi industri perfilman dengan membuka kemungkinan genre, penceritaan, dan teknik baru—apa yang bermula sebagai subkultur kemudian menjelma populer, dan roda kebudayaan pun berputar terus. Dalam skenario terburuk, bubarnya komunitas-komunitas akibat pandemi Covid-19 adalah kehilangan besar bagi ekosistem seni Indonesia, termasuk ekosistem perfilman.
Singkat kata: kerentanan bagi pegiat film selama pandemi COVID-19 adalah masalah nyata, baik di ranah industri maupun komunitas. Bagaimana cara yang tepat untuk mengatasinya?
Hingga saat ini, terdapat dua inisiatif berbeda yang tengah dilaksanakan oleh pemerintah. Pada urun rembuk daring bertajuk “Menjaga Nyala Seni Semasa Pandemi” (6 April 2020), Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid menyatakan bahwa pihaknya tengah bekerja sama dengan Kementerian Sosial dan Kementerian Tenaga Kerja untuk menyediakan skema pelindungan sosial bagi pekerja budaya. Skema ini diperuntukkan bagi pekerja yang berpenghasilan di bawah Rp10 juta dan tidak memiliki pekerjaan lain selain di bidang seni; mereka yang belum berkeluarga akan didaftarkan untuk memperoleh Kartu Pra-Kerja (apabila belum terdaftar), sementara mereka yang sudah berkeluarga dan belum mengikuti Program Keluarga Harapan (PKH) akan didaftarkan pada program PKH. Menurut Hilmar, skema yang sama akan dikoordinasikan untuk digunakan pula oleh Pemerintah Daerah.
Sementara itu, inisiatif serupa juga tengah diupayakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) untuk mendaftarkan pekerja sektor ekonomi kreatif yang kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan pendapatan untuk memperoleh fasilitas Kartu Pra-kerja.
Kendala kedua inisiatif ini adalah ketiadaan data terpadu mengenai jumlah pekerja seni, termasuk perfilman, yang membutuhkan skema pelindungan sosial tersebut. Untuk mengakalinya, Ditjenbud telah membuka pendataan pekerja seni yang terdampak pandemi COVID-19, sementara Kemenparekraf membuka jalur pengaduan bagi pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif yang usahanya turut terdampak pandemi.
Untuk mengatasi kebutuhan data ini, pemerintah juga dapat bekerja sama dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang merupakan perwujudan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perfilman berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Berdasarkan dokumen profil BPI pada laman resmi mereka, BPI beranggotakan 44 Organisasi Unsur Film yang terdiri dari sejumlah unsur: lembaga pendidikan perfilman, usaha perfilman, profesi perfilman, dan kegiatan perfilman. Ragam keanggotaan ini, yang mencakup organisasi dari industri hingga komunitas, membuat BPI sebagai mitra paling ideal untuk memperoleh pendataan mengenai pegiat film yang dirugikan oleh pandemi.
Selain bantuan untuk memastikan kesejahteraan pekerja di masa paceklik—yang akan menghemat pengeluaran ketika perputaran uang mandek—industri perfilman tetap membutuhkan bantuan skala besar lainnya. Pada sisi produksi film, insentif yang dibutuhkan adalah sebisa mungkin menekan ongkos pengerjaan film sebelum rilis kembali. Untuk ini, kita bisa mencontoh langkah pemerintah Cina untuk mensubsidi industri perfilmannya setelah pandemi di negara tersebut sedikit reda. Pemerintah Provinsi Zhejiang, misalnya, memberi insentif sebesar 10 juta Yuan (sekitar Rp23 miliar) untuk sewa tempat, alat, serta akomodasi pekerja film yang melakukan kegiatan produksi di daerah tersebut. Selain itu, Kota Xiangshan juga mengambil langkah memotong ongkos sewa gedung, studio dan akomodasi hingga 50 persen, serta memberi diskon 10 hingga 20 persen untuk sewa alat, properti, kostum dan kendaraan.
Di sisi lain, lancarnya produksi perlu diimbangi pula dengan upaya memastikan ketahanan bioskop sebagai kanal penayangan utama film. Seperti yang telah kita bahas, keputusan Cinema XXI untuk menggaji karyawan di masa non-produktif adalah respons terhadap force majeure dan dapat memiliki dampak lebih panjang terhadap keberlangsungan industri bioskop. Sementara itu, untuk memastikan ketahanan bioskop, pemerintah pusat dapat berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memberi keringanan retribusi untuk Pajak Bumi dan Bangunan bagi gedung bioskop, maupun kelonggaran sewa bangunan yang beroperasi dalam pusat perbelanjaan. Pemerintah juga dapat membantu memangkas pengeluaran utilitas bioskop, seperti biaya tagihan listrik.
Namun, hingga saat ini kita belum benar-benar tahu keseluruhan dampak pandemi COVID-19 terhadap perfilman Indonesia. Agar basis data yang tercipta dapat komprehensif, Anda juga dapat membantu Koalisi Seni mengisi formulir pendataan acara seni yang terdampak oleh pandemi pada bit.ly/acarabatal.