/   Kabar Seni

Sumber: Koran Tempo hal 7, 20 Oktober 2020

Seni pertunjukan teater, musik, dan tari lebih sulit beralih ke versi virtual.

JAKARTA – Pameran tunggal berjudul Sayur, Seni, Segar menjadi pentas perdana komunitas seni fotografi Ruang MES 56 sejak pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) melanda Tanah Air. Pertunjukan itu dihelat di Jalan Mangkuyudan, Mantrijeron, Yogyakarta, selama dua pekan pada 23 September hingga 6 Oktober lalu.

Panitia kegiatan sudah menyiapkan sejumlah syarat protokol kesehatan dalam penyelenggaraan pameran. Misalnya, panitia menyediakan tempat cuci tangan, sabun, dan cairan pembersih tangan yang ditempatkan di beranda ruangan pameran.

Panitia juga menyertakan papan informasi tentang protokol kesehatan di lokasi pameran. Selain itu, panitia membatasi jumlah pengunjung yang datang ke lokasi pameran, maksimal sepuluh orang. Tujuannya, agar pengunjung bisa menjaga jarak fisik.

“Ini pameran uji coba, selama masa pandemi dengan memperhatikan protokol kesehatan,” kata Direktur Ruang MES 45, Anang Saptoto, kemarin.

Anang memamerkan sejumlah karyanya dalam pameran kali ini. Karya-karyanya bertema kegiatan petani perempuan pada masa pandemi. Kedisplinan terhadap protokol kesehatan juga menjadi tema dalam sejumlah foto karya Anang.

Setelah kegiatan pameran ini, Anang dan komunitasnya tengah menyiapkan pameran lanjutan di studio terbuka. Pameran itu akan ditata di rumah Ketua Kelompok Wanita Tani Langgeng Makmur, Sri Harini, di Kecamatan Lendah, Kulon Progo, Yogyakarta.

Di tengah ketidakpastian akibat pandemi, seniman di Yogyakarta tetap menggelar pameran dengan cara bersiasat. Pameran seni kontemporer Artjog termasuk yang sukses berpameran dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Panitia bersiasat dengan cara menggelar pameran secara daring dan kunjungan langsung dengan jumlah peserta yang terbatas dan wajib mengikuti protokol kesehatan.

Artjog menggelar pameran di ruang pameran Jogja National Museum pada 8 Agustus hingga 10 Oktober lalu. Jumlah pengunjung ke lokasi pameran dibatasi. Panitia menerapkan sistem kunjungan langsung dalam tiga sesi setiap harinya. Lalu setiap sesi hanya tersedia untuk 60 orang. Pengunjung akan menikmati karya 78 seniman berupa lukisan, patung, dan seni instalasi.

Lalu panitia memberi syarat khusus bagi pengunjung yang datang dari luar Yogyakarta. Mereka harus melengkapi diri dengan surat keterangan kesehatan dengan hasil tes non-reaktif maupun swab negatif Covid-19 saat proses check-in. “Semua sesuai dengan protokol kesehatan dan kami aktif berkomunikasi dengan Satgas Covid,” kata pendiri Artjog, Heri Pemad.

Koordinator peneliti kebijakan seni dan budaya dari Koalisi Seni, Ratri Ninditya, mengatakan bukan perkara mudah mengkonversi kegiatan seni dari tatap muka ke bentuk virtual. Sebagai contoh, kata dia, seni sastra yang paling mudah pindah ke digital saja sulit bertahan. “Sejumlah toko buku indie atau kecil terancam gulung tikar,” kata Ratri, kemarin.

Menurut Ratri, seni pertunjukan teater, musik, dan tari cenderung lebih sulit beralih ke versi virtual. Ratri menyebutkan bahwa para pelaku pertunjukan teater dan lainnya masih resisten dengan media digital.

“Mereka merasa interaksi penonton-penampil tidak bisa dicapai jika secara virtual,” katanya.

Untuk menyiasati hal tersebut, sejumlah kelompok teater akan membuat perkumpulan melalui daring. Cara lainnya, kata Ratri, sejumlah seniman, khususnya seni musik, menemukan panggung atau materi penampilan baru dalam situasi pandemi. “Seniman mau tidak mau dibuat lebih sensitif merespons masalah sosial aktual di sekitarnya,” ujar Ratri.

SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)/INDRA WIJAYA

 

Skenario Seni di Masa Wabah

PANDEMI Coronavirus Disease 2019 memaksa kegiatan kesenian ikut bergeser dari tatap muka ke dunia digital. Berikut ini empat skenario kegiatan seni pada masa pandemi menurut Koalisi Seni.

Seniman Konten Prekariat

Skenario ini membayangkan interaksi antar-pelaku di ruang virtual, dengan motif ekonomi menjadi relasi utama. Dalam kondisi ini, seniman akan sibuk di depan layar. Mereka terobsesi dengan pembuatan konten sensasional setiap hari. Tapi jumlah penonton nol karena semua orang telah menjadi seniman siaran langsung. Akan muncul generasi prekariat atau pekerja rentan seiring dengan kesempatan berkarya yang semakin sempit.

Gerakan Seni Virtual

Ketika interaksi utama terjadi di ruang virtual dan relasi sifatnya afektif, akan muncul berbagai komunitas yang keterikatannya tumbuh dari sebelum masa pandemi. Mereka akan menyiasati mahalnya biaya akses Internet dengan membangun jaringan Internet sendiri. Lewat berbagai platform media sosial, komunitas ini memperluas jaringan, memobilisasi sumber daya, dan melibatkan diri dalam jejaring serta gerakan tagar tingkat dunia. Komunitas saling terhubung di media sosial karena kesamaan ide.

Seni sebagai Keseharian

Ketika interaksi hanya dimungkinkan di ruang fisik dan relasi antar pihak yang dominan bersifat afektif, desa menjadi unit yang paling subsisten. Di perkotaan, seni berkumpul dalam jumlah kecil untuk mendiskusikan estetika baru.

Hiburan Warga

Kesulitan mengakses Internet sekaligus hasrat interaksi fisik yang tak bisa tergantikan membuat orang menghibur diri dengan pertunjukan berbayar dari masyarakat sekitar. Penyanyi kafe, kelompok orkes dangdut, dan pengamen relatif diuntungkan dengan sistem transaksi ini. Tenaga teknis juga akan terpakai keahliannya untuk membangun panggung pertunjukan berskala kecil. Perupa mungkin mendapat pekerjaan komisi untuk menunjang unit usaha kecil dan menengah, seperti melukis mural di warung kopi atau menghias panggung seni warga.

TEKS: INDRA WIJAYA

Liputan media ini diketik ulang oleh Margaret Megan, pemagang komunikasi Koalisi Seni

Ilustrasi oleh Alexandra_Koch via Pixabay

Tulisan Terbaru

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.