/   Kabar Seni

Tak sedikit perempuan adalah pegiat seni, bahkan jumlahnya kian hari kian bertambah. Sayangnya, bias dan diskriminasi gender masih dapat kita jumpai dalam ekosistem seni. Podcast RUU kali ini membahas gambaran umum perihal kondisi terkini terkait ketimpangan gender dalam seni. Novelis Erni Aladjai, Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriani, dan Ayu Maulani dari Girls Pay The Bills berbagi pandangan serta pengalaman mereka soal upaya penghapusan diskriminasi gender dalam seni.

Jika tak sempat mendengarkan secara penuh, simak transkrip yang dibuat oleh Dinita Amanda berikut ini:

Waktu Transkrip
00:00— 1:13 Naomi:

Nggak sedikit perempuan yang berkarya di bidang seni bahkan jumlahnya terus bertambah seiring berkembangnya era, tapi sayangnya bias dan diskriminasi gender masih bisa kita sering jumpai dalam ekosistem seni. Forum kesenian, diskusi kebudayaan, maupun kompetisi dan pemberian penghargaan seni dan kebudayaan masih kerap all-male panels yang melanggengkan dominasi laki-laki sebagai suara otoritatif dan pembuat keputusan. Tentu dong, perempuan tidak tinggal diam tapi bersiasat untuk mengubah keadaan tersebut.

Podcast RUU kali ini bertajuk Seni dan Gender, akan memberikan gambaran umum perihal kondisi terkait ketimpangan gender dalam seni, pengalaman pribadi para seniman perempuan, dan juga siasat yang sudah dan perlu dilakukan untuk mengatasinya. Saya tidak sendiri, karena bersama novelist Mbak Erni Aladjai ada juga Mbak Andy Yentriyani Ketua Komnas Perempuan.

1:13- 1:16 Erni:

Halo Mbak Naomi, apa kabar?

1:16-1:28 Andy:

Halo sore semua! Salam sehat, salam nusantara.

1:28-1:40 Naomi:

Mbak Erni bagaimana pengalaman pribadi dalam menghadapi bias dan diskriminasi gender dalam seni, khususnya sastra?

1:40-4:30 Erni:

Pengalaman pribadi menghadapi situasi di kerja pengarangan dari sisi sebagai pembaca, saya kerap menemukan narasi-narasi yang masih memposisikan perempuan di dalam teks kesastraan timpang atau bias. Biasanya perempuan masih disoroti di sastra adalah perempuan masih diposisikan sosok yang pasif dan pelengkap, kalaupun ditulis menghadapi kemelut-kemelut dalam kehidupan, biasanya ditulis sebagai korban atau sosok yang kalah.

Ini kegelisahan bagi saya sebagai penulis perempuan karena perempuan acap kali digambarkan sebagai korban, barangkali itu bentuk empati pengarang dengan menunjukan keberpihakan terhadap perempuan misal dalam korban pelecehan seksual, tapi sayang tidak dibarengi dengan upaya-upaya perempuan itu melawan kemelut-kemelut penindakan yang ia alami. Karena saya percaya manusia apapun jenis kelaminnya memiliki upaya-upaya perlawanan, tetapi dalam teks-teks sastra masih saya jumpai perempuan hanya ditulis sebagai sosok korban tidak berdaya, atau sebagai pelengkap. Anatomi ketubuhan yang dijadikan komoditas dalam teks-teks sastra, itu dari pengalaman pembacaan.

Kalau dari pengalaman ruang-ruang publik sastra, sayembara sastra atau kritik sastra tidak ada yang khusus perempuan. di Yayasan menemukan hibah seni untuk perempuan atau kemarin yang diadakan Cipta Media Ekspresi, tapi sastra belum ada khusus pengarang perempuan. Kita mengalami proses memproduksi teks-teks sastra, saya yakin berbeda dengan yang dialami oleh laki-laki. Perempuan menghadapi tantangan berlapis seperti pengasuhan, dan perawatan perempuan masih dibebankan perempuan dan juga perempuan ini harus memproduksi karya. Seolah-olah sudah setara padahal dibaliknya belum.

4:31-4:38 Naomi:

Jadi perempuan bukan jadi tokoh utama karena masih menjadi sosok korban ya Mbak Erni?

4:38-5:00 Erni:

Iya, walaupun dijadikan tokoh pada peristiwa kekerasan seksual misal, yang ditulis hanya ia menjadi korban, tidak ditulis upaya-upayanya melawan. Saya tidak apa-apa, wajar jika ditulis sebagai korban, tapi ditulis juga seimbang mengenai upaya-upaya perlawannya.

5:00-5:04 Naomi:

Dengan adanya seperti itu apa yang anda lakukan untuk mengatasinya?

5:04-5:55 Erni:

Salah satu yang bisa dilakukan dari dunia pengarangan adalah memposisikan perempuan tidak sekedar pelengkap karena diluar sana banyak sosok-sosok perempuan yang kerja di sektor publik yang sangat berpengaruh.

Saya pernah membaca kisah perempuan di Papua menyelamatkan harimau yang terluka di hutan dari pemburu gelap. Kisah heroik seperti ini jarang ditemui di teks-teks sastra, tapi kita mendapati perempuan-perempuan yang saya gambarkan masih dalam keadaan dilemahkan, tidak berdaya, masih dalam kacamata maskulinitas.

5:55-6:01 Naomi:

Bagaimana anda memotret pengalaman dan masalah perempuan dalam cerpen dan novel anda?

6:01-8:10 Erni:

Kebetulan saya tumbuh di desa di sebuah pulau terluar jadi secara akses pengetahuan susah menjangkau kepulauan ini. Dari kecil saya menyaksikan kekerasan-kekerasan yang dialami oleh perempuan. Ketika ada satu rumah tangga bertengkar dan perempuan itu dipukuli di jalan, orang menonton nggak ada yang menolong karena itu dianggap masalah keluarga. Hal-hal seperti ini saya angkat ke dalam karya sastra, tapi saya menulis juga apa yang dia lakukan untuk melawan situasi seperti itu. Jadi tidak sekedar dilemahkan posisinya yang kadang memang membuat orang tidak berdaya tapi selalu ada perlawanan.

Baru-baru ini saya menonton film lama ditulis dan disutradarai oleh Yang Lee penulis Cina, saya sering mengambil referensi-referensi dari Cina karena kadang-kadang memiliki kedekatan konsep permasalahan di masyarakat nyaris serupa. Di China ini ada satu perempuan desa pelosok masyarakatnya belum tersentuh akses pengetahuan yang baik, perempuan ini korban penjualan perempuan ke desa. Karena di desa ini prianya masih membeli istri. Bagaimana Yang Lee sebagai penulis laki-laki, menulis 19 kali perlawanan perempuan dalam situasi seperti itu. Dia lari ke hutan, masyarakat menangkap dia, kemudian ia berlari sampai ke kota. Usaha-usaha ini yang harus dipotret di dalam kesusastraan kita, agar narasi-narasi perempuan yang dilemahkan kesusastraan tidak menciptakan kesan terpinggirkan.

8:10-8:25 Naomi:

Mbak Andy kalau di tahun 2018, Anda adalah salah satu juri Cipta Media Ekspresi, hibah seni dan budaya untuk perempuan. Apa pembelajaran atau insight penting yang Anda dapat selama proses seleksi tersebut?

8:25-12:56 Andy:

Pertanyaan yang membuat saya berefleksi ulang ya setelah 2 tahun, apa yang saya bawa selama ini pembelajaran dari proses penjurian.

Pertama adalah pentingnya kolaborasi lintas sektor, karena jurinya beragam, saya sendiri juga bukan dari jurusan seni, selama ini keterikatan saya dengan teman-teman seni itu ada dari kampanye-kampanye kekerasan terhadap perempuan. Saya tahu sedikit bagaimana marginalisasi perempuan di dalam seni, seperti yang disampaikan oleh Erni, tapi tidak betul-betul mendalaminya memang ruang untuk mendalaminya tidak sempat. Karena dari tahun 2000 saya di Komnas Perempuan dan dengan kasus kekerasan terhadap perempuan. Jadi itu perjumpaan paling intensif dengan teman-teman langsung berkarya tidak secara spesifik isu yang saya kenali secara langsung, tapi saya merasakan proses dialog kolaborasi lintas sektor baik itu antara juri dan peserta yang kami menjadi mentor untuk beberapa rekan-rekan adalah proses belajar yang luar biasa buat saya.

Kembali seperti yang ditegaskan Erni, bagaimana perempuan menjadi marginal dalam panggung seni sendiri. Kalau kita ingat di awal reformasi seolah-olah tumbuh subur banyak rekan-rekan perempuan penulis, tapi langsung dilemahkan dengan stigma sastrawan. Seolah-olah ketika perempuan muncul ia mendapatkan penilikkan yang lebih keras dibanding laki-laki sehingga sosok perempuan dalam semua panggung tidak hanya sastra, tetapi juga produk karya-karya lainnya, baik visual, audio, gerak, dan lainnya, ternyata tidak banyak suara dan sosok yang tampil.

Saya belajar pada akhirnya ada stereotip peneguhan pada peran dan posisi-posisi gender pada perempuan dan laki-laki di dalam narasi-narasi yang diciptakan. Secara bersamaan hegemoni patriarki merasuk tidak hanya laki-laki ke karya seni, tapi juga kepada perempuan. Dengan proses tersebut, saya juga belajar banyak tentang memaknai ulang dan mengembangkan langkah afirmasi. Bukan saja dalam menyikapi tantangan berlapis yang dihadapi oleh perempuan, tetapi juga peran perempuan yang harus menghadapi peran gender dalam keluarga, misalnya pengasuhan sehingga ketika ingin berkarya lukis harus mengurus anak, suami dan lain-lain. Tapi juga bagaimana membangun suasana belajar bersama ketika kita bisa memantik ulang pikiran-pikiran kritis, mempertanyakan ulang hegemoni dari patriarki, maupun ruang-ruang kuasa lainnya yang kita anggap apa adanya.

Memantik cara baru bereproduksi yang memungkinkan kita menampilkan suara perempuan yang beragam dalam identitas dan perannya, tapi juga pemaknaannya dalam konteks persoalan yang dihadapi oleh perempuan sebagai individu, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota masyarakat, dan juga sebagai warga negara. Ini adalah proses pembelajaran luar biasa yang saya pelajari lalui bersama Cipta Media Ekspresi dan mendapat teman baru dan idola baru. Karena ada perjumpaan lintas generasi, lintas isu, lintas wilayah, dan lain-lain.

12:56-13:09 Naomi:

Makassar International Writers Festival (MIWF) telah berkomitmen tidak akan ada all male panels lagi dalam acaranya. Bagaimana pendapat Mbak Andy?

13:09-14:00 Andy:

Saya pikir ini langkah baik yang harus diikuti sektor lain selain sektor seni, terlalu banyak kita melihat bagaimana ruang publik yang sebetulnya ada perempuan ahli di sana, tapi karena pengambilan posisi tidak semerta-merta gampang dapat diraih oleh perempuan pada akhirnya pengakuan pada keahlian itu juga tidak ada.

Yang bisa dilakukan dalam upaya itu adalah memastikan suara perempuan ada sehingga all male panelis, menurut saya sebuah praktek yang tidak baik, tapi itu juga akan mengukuhkan marginalisasi kelompok tertentu.

14:00-14:33 Naomi:

Sebelum melanjutkan obrolan, saya juga ingin mendengar dari Ayu Maulani soal kolektif seninya Girls Pay The Bills, yang mempromosikan ide soal perempuan independen.

 

Dibentuk pada 2018, Girls Pay The Bills berfokus mengenai kampanye perempuan khususnya terkait seksualitas dan gender. Mereka ini memulai praktiknya dengan turun ke jalan, dan mengkampanyekan isu gender dengan mural, wet paste, sticker slap dan sebagainya.

 

Lebih jelasnya seperti apa? kita simak cerita dari Ayu Maulani berikut ini.

14:33-15:58 Ayu:

Girls Pay The Bills pada mulanya memang memiliki keinginan kuat untuk membebaskan diri. Khususnya bebas untuk berekspresi, bebas untuk mencari dan mendapatkan peluang dalam berkreasi, dan juga bebas untuk bersuara, itu mutlak. Pencarian kebebasan ini tentu saja kami mulai dengan cara-cara yang menjunjung tinggi kebebasan juga, artinya disini kami tidak membatasi dengan cara apa Girls Pay The Bills mempromosikan ide soal perempuan independen. Namun karena Girls Pay The Bills pada dasarnya kolektif seni tentunya medium yang tepat menurut kami adalah seni.

Kami berangkat dari seni rupa sebagai medium ekspresi, seperti mural, wet paste, dan stencil art yang kami lakukan di beberapa tempat pada permulaan pembentukan Girl Pay The Bills dan pada akhirnya karya kami terus berkembang beriringan dengan teman-teman perempuan lain yang turut bergabung dan memiliki latar belakang seni yang beragam. Beberapa diantaranya adalah penari, filmmaker, tattoo artist, dan seniman teater.

Jadi dengan banyaknya kepala di dalam kolektif ini pekerjaan seni yang dihasilkan pun sangat beragam. Kami sadar memiliki kesamaan yaitu kebanggaan kami sebagai perempuan independen yang bebas yang disamping banyaknya tantangan yang dihadapi sebagai kolektif seni perempuan, so far kami sangat enjoy dan menjadikan kolektif ini sebagai kekuatan.

215:58-16:04 Naomi

Sebelum kita lanjut lagi berbagai upaya membuat seni menjadi ramah gender kita mesti break dulu.

Break
16:28-16:58 Naomi:

Hello we are back, kamu masih mendengarkan podcast Ruang Usik Usik. Podcast ini diproduksi Koalisi Seni dan KBR dan akan disiarkan di streaming spotify dan kbrprime.id, saya Naomi Lyandra.

Kita masih ngomongin soal seni dan gender bareng seorang novelis Mbak Erni Aladjai dan juga Mbak Andy Yentriyani Ketua Komnas Perempuan.

Mbak Erni, bagaimana pekerja seni perempuan dirugikan dari ketidakadilan gender dari cerita Mbak Erni?

16:58-18:37 Erni:

Membahas pekerja seni secara luas saya tidak bisa meraba pengalaman kawan-kawan lain, tetapi dari pengalaman saya sendiri di kampung. Ketika saya menulis cerita pendek, lalu beranjak dari tema-tema diri atau keakuan, tapi misal korupsi pemerintah desa, langsung mendapat ancaman, dicekal di kampung sendiri.

Ketika saya membagikan buku cerpen saya ke perpustakaan di desa, pemerintah desa mencekal, beliau merasa tersinggung dengan isu korupsi dana desa di cerita pendek saya. Dia sampai marah mengembalikan buku cerpen saya dan memobilisasi masyarakat untuk membungkam, saya dibenci sekali di kampung saya karena sering menulis isu-isu di sekolah, koran lokal. Masalahnya yang saya lihat itu timpang, ketika laki-laki bicara isu itu dibiarkan, tapi ketika perempuan berpikir kritis di publik dicekal. Jadi itu hal-hal yang saya hadapi

18:37-18:40 Naomi:

Lalu resiko seperti apa jika kondisi ini dibiarkan?

18:40-19:40 Erni:

Memang harus ada gerakan bersama, saya pikir dalam wacana pembebasan perempuan harus menyentuh masuk ke desa-desa dan ini sejalan dengan upaya-upaya aktivitas literasi. Mereka membawa, menggerakan, dan menggunakan buku ke pelosok-pelosok desa yang susah akses ilmu pengetahuan.

Saya pikir itu salah satu upaya untuk menegaskan wacana-wacana ini yang mungkin itu bukan salah mereka karena akses ilmu pengetahuan wacana, misal pembebasan perempuan belum diperoleh sehingga situasi-situasi seperti ini belum ada penyelesaiannya. Saya pikir yang bisa dilakukan oleh pegiat buku menggerakan perpustakaan ke pelosok.

19:40-19:45 Naomi:

Siapa saja menurut Anda yang memperbaiki keadaan, selain yang anda sebutkan?

19:45-20:00 Erni:

Siapapun dan semua sektor maupun di dunia buku, termasuk penulis harus memiliki perspektif feminis dalam melihat isu dalam konteks masyarakat.

20:00-20:05 Naomi:

Dukungan apa dan dari siapa saja yang diperlukan agar seni ramah gender?

20:05-21:24 Erni:

Dukungan pemerintah, lembaga kebudayaan juga penting untuk meretas ketimpangan gender yang masih terjadi hingga hari ini. Kalau harapan saya secara spesifik kepenulisan dan pengarangan berharap kedepannya baik itu penulis laki-laki atau perempuan punya perspektif feminis dalam menulis sosok perempuan di sastra.

Di sastra harus ada semacam ruang-ruang publik dalam membicarakan dan mengapresiasi karya-karya perempuan. Karena kita mengalami proses yang berbeda seperti yang mbak Andy bilang, perempuan dalam memproduksi karya mengalami hal-hal yang berlapis, seperti harus mengasuh anak, ketika mengetik anak naik ke laptop, jadi itu tekanan seperti itu barangkali tidak diperoleh lelaki. Perspektif feminis kan sebenarnya keadilan untuk manusia

21:24-21:28 Naomi:

Jadi menurut harapan anda lebih ke penulis punya perspektif feminisme ya di dalamnya?

21:28-21:33 Erni:

Iya perspektif feminis sebetulnya keadilan bagi manusia.

21:33-21:40 Naomi:

Kalau Mbak Andy menurut anda, mengapa penting bagi ekosistem seni adil bagi semua gender?

21:40-23:22 Andy:

Saya penikmat ya, tidak terlibat langsung dalam proses seni budaya ekspresi karya. Yang saya pahami karya-karya seni dalam berbagai bentuk adalah mozaik dari kehidupan itu sendiri. Semakin ia mampu menawarkan keberagaman suara, keberagaman sosok, keberagaman cara pandang yang berakar dari pengalaman-pengalaman individu, para pengkarya, dan komunitas yang memang beragam, maka semakin utuh, semakin lengkap kita mengenali dunia. Dunia yang bukan hanya komunikasi antar negara, tapi peradaban kemanusiaan itu sendiri.

Mengapa saya jatuh cinta semua teman-teman yang berkarya di Cipta Media Ekspresi termasuk yang tidak terpilih. Karena mereka menawarkan cara pandang yang berbeda, membuat saya lebih tahu tentang Indonesia dan pergulatan yang ada di dalam. Itu mengapa penting proses memunculkan ruang berkarya, termasuk lewat penghargaan-penghargaan dan panggung-panggung lainnya untuk memastikan ada langkah-langkah afirmasi, dan langkah-langkah suara yang terpinggirkan, cara pikir yang kritis bisa tampil di ruang terbuka.

23:22-23:26 Naomi:

Menurut Mbak Andy, bisa nggak keadilan itu dicapai?

23:26-24:12 Andy:

Menurutku rumusnya, kita nggak ada privilege atau keistimewaan untuk pesimis. Karena kalau kita pesimis dan apatis kita tidak akan melakukan apa-apa. Tapi disaat bersamaan kita melihat pergulatan yang dilakukan oleh kelompok perempuan dan juga gerakan sosial di Indonesia, kita juga mendapatkan banyak capaian di dalam era reformasi ini.

Sekalipun tidak sebanyak dan secepat yang kita mau. Sekalipun kita tahu bahwa mungkin capaian kita rapuh karena tantangannya banyak, tapi kita susah lihat banyak perubahannya karena itu pasti bisa kita raih.

24:12-24:16 Naomi:

Kalau ngomongin capaian tadi, apa saja yang diperlukan untuk mencapai itu?

24:16-25:21 Andy:

Kalau kita belajar dari gerak reformasi dalam 22 tahun. Kekuatan itu ada pada satu pemahaman yang harus dimiliki dan kesadaran diri semua orang yang ingin terlibat perubahan sosial tentang ketimpangan-ketimpangan yang ingin dia koreksi, kalau ia tidak memahami ketimpangan itu maka kita status-quo terus. Dengan pemahaman itu dalam ruang-ruang yang berbeda, peluang-peluang kewenangan kita yang beragam, kita ciptakan momentum untuk perubahan itu.

Jadi menurut saya, dua daya itu yang paling utama; daya pengetahuan dan daya peluang. Karena banyak sekali sebetulnya, seperti kita harus reformasi kebijakan, itu tidak akan terjadi tanpa dua hal tersebut; kesadaran kritis dan keyakinan. Kesadaran kritis  lahir dari pemahaman yang baik dan menciptakan momentum untuk perubahan.

25:21-25:24 Naomi:

Kalau rekomendasi menurut Mbak Andy?

25:24-26:04 Andy:

Karena kita bicara ruang seni, menurut saya yang memiliki ruang menciptakan proses berkarya harus membayangkan sebuah proses yang memungkinkan kita memantik pemahaman kritis tersebut hadir bagi para pembuat karya. Tapi pembuat karya punya punya seluruh momentum untuk menciptakan karya yang punya daya dorong perubahan sosial.

Jadi kita harus kerja sama, kolaborasi lintas sektor untuk saling menguatkan daya gerak kita untuk perubahan menuju keadilan dan kesetaraan substansi.

26:04-26:12 Naomi:

Luar biasa!

Berbicara soal dukungan ekosistem seni supaya ramah bagi semua gender, Girl Pay The Bills juga punya pandangannya sendiri. Seperti apa? Kita simak ya berikut ini.

26:12-27:30 Ayu:

Pertama-tama dukungan perlu ada dari komunitas seni itu sendiri. Lingkaran seni menurut saya memiliki ikatan yang sangat kuat sehingga jika ring terdekat saya sudah mendukung, akan mudah menciptakan ekosistem seni ramah semua gender. Misalnya seperti yang saya ketahui dukungan hal-hal tersebut seperti mulai diterapkannya konsep ruang aman, pada event-event seni berikut dengan protokol-protokol keamanan yang terus dikampanyekan. Seperti SOS jika terjadi pelecehan atau kekerasan seksual ketika berlangsungnya kegiatan seni dan sebagainya.

Namun tentu saja untuk mencapai hal itu masih banyak tantangan karena ketimpangan kuantitas berdasarkan gender pada ruang seni masih terasa menurut saya. Peluang-peluang perempuan untuk menduduki peran penting di ruang seni masih sedikit, menurut saya ini dikarenakan kebiasaan penempatan ruang sektoral baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki. Oleh karena itu perlu ada kesadaran dari semua pihak mengenai peran yang adil terkait ruang seni itu sendiri.

Setelah komunitas seni memiliki kesadaran, mengenai kesetaraan gender, dukungan dari instansi pemerintah dan publik yang lebih luas itu sangat kami harapkan. Kurang lebih seperti itu menurut saya dukungan yang diperlukan ekosistem seni yang ramah semua gender.

27:30-28:00 Naomi

Itu dia kata Ayu Maulani dari Girl Pay The Bills kolektif beranggotakan 10 orang seni dengan latar belakang seni beragam mulai dari pelukis, muralis, penari, pembuat film, artis tato hingga pegiat teater. Mereka percaya perempuan berhak memiliki kebebasan dalam hidupnya.

Demikian obrolan podcast RUU episode kali ini yang mengingatkan pentingnya menjunjung keadilan gender dalam seni.

Terima kasih Kak Erni Aladjai, Mbak Andy Yentriyani, dan Mbak Ayu Maulani untuk ceritanya.

28:00-28:03 Andy

Thank you Mbak Naomi

28:03-28:09 Erni:

Sama-sama sehat selalu.

28:08-28:28 Naomi

Kamu suka podcast Ruang Usik Usik ini? Kami tunggu ya masukannya di kbrprime.id Podcast ini juga bisa didengarkan di Spotify, google podcast dan platform mendengarkan podcast lainnya. Ikuti juga @koalisiseni di Instagram dan twitter untuk update kebijakan seni di Indonesia.

Simak juga transkrip rekaman penuhnya di tautan ini.

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.