/   Kabar Seni

Kebebasan berkesenian terkait erat dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) yang secara luas masih tersendat, bahkan memburuk di beberapa tahun terakhir. Pada 2020, Koalisi Seni didukung UNESCO melalui skema Funds-In-Trust Korea melakukan studi pustaka terkait kasus pelanggaran kebebasan berkesenian pada tahun 2010 hingga 2020. Kajian ini menemukan semangat reformasi justru menajamkan politik identitas, yang sering dijadikan alat negara mengontrol warganya.

Mengapa kebebasan berkesenian itu penting? Dan seperti apa sebenarnya kondisi kebebasan berkesenian di Indonesia? Ruang Publik KBR pada 4 November 2020 membahasnya bersama Ratri Ninditya (Koordinator Peneliti Kebijakan Seni dan Budaya, Koalisi Seni) dan Damar Juniarto (Direktur Eksekutif, SAFEnet).

Berikut rekaman video perbincangan tersebut. Versi audio talkshow ini juga diunggah ke podcast Ruang Usik-usik Koalisi Seni. Adapun transkrip bincang-bincang ini dapat dibaca di bawah video.

Ines Nirmala

Halo selamat pagi di Ruang Publik KBR, ada saya Ines Nirmala yang akan menemani kalian. Kita akan ngobrolin bersama Koalisi Seni seputar tema kita yaitu Potret Kebebasan Berkesenian. Ruang Publik kali ini dipersembahkan Koalisi Seni, kerja sama hasil riset bersama UNESCO.

Kita ngobrolin kesenian yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia, tapi sayangnya kebebasan berkesenian masih isu pelik di Indonesia. Sering kita dengar juga berita pembubaran atau pelarangan sebuah pameran seni dan kebebasan berkesenian juga terkait erat dengan pemenuhan HAM atau hak secara luas yang masih tersendat. Bahkan hal ini memburuk di beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2020 ini Koalisi Seni dan UNESCO melakukan studi pustaka mengenai kasus kebebasan berkesenian pada tahun 2010 hingga 2020. Kajian ini menemukan semangat reformasi justru menajamkan politik identitas yang sering dijadikan alat negara mengontrol warganya. Terutama yang digunakan melarang kegiatan seni itu misalnya adalah komunisme, agama, atau LGBT. Ini menunjukkan dinamika sosio-politik Indonesia di mana seni menjadi media ekspresi, politik, individu, dan kelompok. Situasi ini mempengaruhi cara seni disikapi dan dalam sejarah Indonesia, seni merupakan alat yang penting untuk mengekspresikan identitas politik. Maka, seni rentan diserang dan patut dapat perlindungan.

Mengapa kebebasan berkesenian itu penting dan seperti apa kondisi kebebasan berkesenian di Indonesia? Kita akan bergabung dengan narasumber kita. Ratri Ninditya adalah Koordinator Kebijakan Seni dan Budaya dari Koalisi Seni. Narasumber selanjutnya adalah Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto.

Kita ngobrolin tema kita seputar Kebebasan Berkesenian dan mengapa kebebasan berkesenian itu penting, bisa dijelaskan Mbak Ratri?

Ratri Ninditya

Definisinya Kebebasan Berkesenian itu dari UNESCO, kebebasan itu adalah untuk membayangkan, menciptakan, dan mendistribusikan berbagai ekspresi budaya bebas dari pemerintah, intervensi politik, atau tekanan dari aktor-aktor negara. Hak berkesenian ini bukan yang berdiri sendiri karena terdapat beberapa hak dasar yang harus terjamin perlindungan dan pemenuhan terlebih dahulu sebelum orang menikmati seni secara bebas. UNESCO membagi kebebasan berkesenian ini menjadi 6 komponen utama.

Ines Nirmala

Kita ke Mas Damar dulu yang merupakan Eksekutif Direktur Eksekutif SAFEnet atau Southeast Asia Freedom of Expression Networks dan memang kerjaan Mas Damar membela hak-hak di bidang digital dan kebebasan berekspresi.

Damar Juniarto

Iya betul, SAFEnet organisasi regional yang fokus membela hak-hak digital di Asia Tenggara. Indonesia menjadi salah satu fokus perhatian karena pendirinya banyak orang Indonesia, salah satunya saya. Kita melihat kacamata bagaimana warganet memiliki hak yang sama seperti kita sehari-hari. Jadi harus ada jaminan perlindungan terhadap hak akses, hak berekspresi, hak rasa aman di internet.

Ines Nirmala

Kalau di bidang online ranah daring kalau dikaitkan dengan kebebasan berkesenian, seperti apa pelanggaran kebebasan berkesenian yang dipantau oleh SAFEnet?

Damar Juniarto

Fondasi dasar seperti negara demokrasi seperti Indonesia membentuk sistem suatu perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia. Kalau di Indonesia konstitusi kita sudah menjamin itu dengan baik misal di pasal 28 turunannya dalam UU Hak Asasi Manusia diatur tentang kebebasan berekspresi. Kaitannya dengan seni, ekspresi artistik atau seni adalah satu hal yang penting bagi semua orang digunakan untuk membangun mengekspresikan kemanusian. Dalam hal ini kita bisa melihat fungsi seni lekat dengan fungsi ritual, seperti aspek religius, ekspresi seni, atau identitas kultural.

Aku mengatakan bahwa yang dikatakan oleh Ratri penting, tentang pengakuan atas kebebasan artistik bagian dari yang kita anggap penting untuk kita jaga di dalam internet. Kami memasukan itu adalah hak untuk berekspresi. Karena apabila internet tidak menjadi ruang subur untuk ekspresi keberagamaan, maka kita akan mendapati internet yang monoton, semua orang ngomongnya sama, atau semua bentuk kesenian yang boleh hanya jenis tertentu, jadi ada pendiskriminasian terhadap seni yang lain. Kalau kita bicara ini harus dilakukan sama lalu ada keberpihakan terhadap keberagaman konten maka harus ada mekanisme perlindungan terhadap bentuk-bentuk ekspresi kesenian, ekspresi artistik.

Sayangnya, bicara soal Indonesia kita menghadapi tantangan yang cukup besar yang paling kami soroti adalah keberadaan peraturan-peraturan dan regulasi yang akan menjadi hambatan serius kalau kita tidak memperbaiki. Contoh Indonesia ada UU ITE pasal 27 ayat 1 yang mengatur tentang tidak boleh mengisi konten dengan hal yang asusila, itu turunannya dari UU Pornografi. Ada persoalan soal pelebaran makna, makna pornogafi menjadi asusila, karena kalau seperti itu akan punya implikasi ekspresi artistik. Seperti kasus yang pernah terjadi di tahun sebelumnya Natasha Tontey ia pernah buat pameran seni Makan Mayit, sebuah pameran pertunjukan seni lewat digital, lalu ia mendapat penghakiman di media sosial yang cukup serius sampai harus berhadapan dengan hukum. Jadi dituntut karena mengandung kesusilaan, ini kasus yang SAFEnet dampingi dan menurut saya penting untuk jadi perhatian karena yang dilakukan Tontey adalah ekspresi artistik jadi tidak ada masalah kesusilaan. Karena yang melihatnya tidak memahami pesan yang hendak disampaikan oleh Tontey jadi mereka hanya dilihat dari judulnya saja yang provokatif.

Film seperti Kucumbu Tubuh Indahku mendapat pelarangan dan pencekalan yang sangat serius dari beberapa Pemkot mendapat surat pelarangan dan ada penggerebekan pemutaran film di sejumlah tempat oleh kelompok massa. Ini menjadi satu tabrakan yang cukup serius kalau kita bicara bagaimana Indonesia seharusnya menghormati kebebasan artistik tetapi berhadapan dengan sistem hukum yang ternyata tidak luwes atas konteks karya seni yang hadir. Yang jadi persoalan, kalau kami dianggap pro kebebasan bahwa “Kamu nggak liat budaya Indonesia itu budaya timur,” persoalannya kita berpegangan pada selama ekspresi tersebut berpegang pada hak-hak yang berbasis pada fakta dan pesan yang penting dan tidak bertabrakan dengan rumusan hukum internasional seperti menganjurkan perang, diskriminasi orang sampai tidak menjadi manusia, itu masih diperbolehkan. Hal yang menjadi hitam dan putih kalau kita bicara tentang seni harus memahami konteksnya. Sayangnya kita berhadapan dengan hukum yang sudah lebih dulu ada dan hukum itu didorong oleh banyak lembaga.

Ines Nirmala

Kita kembali ke Mbak Ratri yang sempat terputus ketika menjelaskan kebebasan berkesenian, jadi bagaimana Mbak Ratri?

Ratri Ninditya

Ada beberapa hak yang perlu dipenuhi, hak tentang kebebasan sosial dan ekonomi, perlindungan sosial dan ekonomi, terakhir adalah hak keikutsertaan terhadap kehidupan kebudayaan. Aspek yang terakhir ini penting karena ini tidak berkenaan dengan senimannya saja, tapi gimana kita semua sebagai warga negara berhak untuk mengalami kesenian sebagai bagian dari kebudayaan.

Ines Nirmala

Seputar kebebasan berkesenian, kenapa ini penting buat kita?

Ratri Ninditya

Tadi sudah disinggung dengan Mas Damar, ada 3 hal yang menurutku relevan dengan hari ini yang saling berkaitan. Pertama di situasi pandemi ruang berkesenian semakin terbatas, ada peralihan banyak praktik berkesenian ke ruang digital yang membuat seniman jadi semakin rentan, monetisasi karya jadi sulit, resiko dibajak atau penyalahgunaan hak cipta tinggi, dan ketidakmerataan akses internet di Indonesia. Kasus film Ucu Agustin misalnya menyorot kedua hal dalam 6 aspek kebebasan berkesenian yaitu tentang sensor dan tentang pengupahan atas balas jasa atas karya.

Kedua ada perhatian yang sangat minim terhadap seniman. Bayangin di negara yang masih mengabaikan HAM dan kita kondisinya seperti ini dan ditambah nempatin seniman sebagai prioritas terakhir itu sudah paket komplit banget. Terakhir yang sangat penting adalah ketimpangan terhadap kelompok-kelompok marginal dari berbagai terlibatan panas yang terjadi di sosial media akhir-akhir ini ada satu hal yang ditekankan bahwa ekosistem seni dominasi oleh segelintir orang terutama laki-laki, hetero, dan dari pulau Jawa. Lalu betapa sulitnya perempuan untuk diakui kerja-kerja keseniannya terlepas dari begitu banyak karya yang telah dihasilkan. Itu terjadi di sebelumnya dan setelah pandemi.

Ines Nirmala

Kita akan lanjutkan obrolan kita seputar potret kebebasan berkesenian, kita akan kembali ke Ruang Publik KBR setelah jeda.

Anda masih mendengarkan Ruang Publik KBR yang dipersembahkan Koalisi Seni yang merupakan hasil riset kebebasan berkesenian bersama UNESCO yang bertema Kebebeasan Berkesenian. Kembali bersama narasumber kita yang sudah terhubung secara online. Ada Ratri Ninditya dari Koalisi Seni dan ada Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet.

Di sesi sebelumnya saya sudah mengobrol bersama Mas Damar, (kasus yang) dilanggar dan itu dipantau oleh SAFEnet. Kalau dari Koalisi Seni bagaimana melihat kondisi berkesenian sampai saat ini dan apa yang menjadi keprihatinan atau kekhawatiran sampai saat ini dan prihatin dalam kebebasan berkesenian?

Ratri Ninditya

Kalau dari yang disebutkan bahwa seni masih belum mendapatkan tempat yang penting dari perspektif buat para kebijakan. Padahal seni ekspresi sebagai identitas yang penting bagi individu dan kelompok terutama yang marginal dalam menunjuk ketidakadilan. Negara sudah memiliki perangkat hukum untuk melindungi tapi masih banyak celah dan peraturan lain yang bisa digunakan alasan untuk melarang, sayangnya. Seperti itu kalau bicara kondisinya.

Ines Nirmala

Oke, sekarang kita terhubung dengan penelpon kita yang bergabung, ada Nisa dari Cakung. Hallo selamat pagi Nisa? Nisa dari Cakung punya pertanyaan atau komentar apa seputar ini?

Nisa

Selamat pagi! Aku ada pertanyaan, teman aku punya karya karikatur yang diperjualkan dan untuk sementara ia jualan dengan online. Ada salah satu pelanggannya minta price, pas dikasih price malah menjelek-jelekan hasil karya. Apa karena orang Indonesia tidak menghargai seni?

Ines Nirmala

Mbak Ratri mungkin bisa menanggapi bagaimana orang Indonesia apakah bisa menghargai atau tidak?

Ratri Ninditya

Melihat dari kasus tadi pasti ada serangan verbal terhadap seniman dan bisa dimasukan ke dalam pelanggaran. Terkait sama harga yang ia hasil karyanya, itu sudah termasuk pelanggaran. Kalau soal orang Indonesia menghargai atau nggak itu relatif, cuma yang ingin aku tekankan adalah masa di mana semua bentuk kesenian harus beralih ke digital, seniman semakin rentan karena karyanya jadi sulit dimonetisasi, serangan terhadap seniman di ranah digital semakin mengerikan.

Ines Nirmala

Mas Damar mau menambahkan juga?

Damar Juniarto

Kalau Nisa bicara tentang temannya, kami ada cerita pernah mendampingi seorang graphic designer yang bekerja dengan tekun menurut saya, menghasilkan karya-karya yang bagus. Suatu hari karyanya dia dicuri oleh orang terkenal diakui sebagai karya pencuri itu dan si graphic designer ini otomatis marah di sosial media “Aku susah payah buat karya itu anda harus bayar karena memakai karya saya.” Namun yang terjadi setelah itu, graphic designer itu menghadapi tuntutan diplomasi pencemaran nama baik.

Ratri menekankan soal kerentanan, saya menggarisbawahi bahwa sama sekali tidak ada perlindungan yang baik buat pekerja seni. Ia sudah berkarya dan memasarkan nggak laku, malah diambil orang terus ia dituntut untuk hak dirinya sendiri, ia malah mendapatkan serangan hukum dengan bentuk penuntutan. Ya itu menurut saya bukti bahwa kita sudah mendesak, harus ada perlindungan yang baik bagi para pekerja seni. Kita bukan bicara tentang hak cipta saja tetapi bagaimana undang-undang yang ada justru tidak memberi kelayakan pelindungan yang memadai yang seharusnya dimiliki oleh pekerja seni.

Ines Nirmala

Koalisi Seni ini bersama UNESCO sudah melakukan riset soal kebebasan berkesenian, Mbak Ratri mungkin bisa dijelaskan apa risetnya dan bagaimana hasil temuannya?

Ratri Ninditya

Kami mengumpulkan kasus-kasus pelanggaran selama 10 tahun terakhir yang diberitakan dan dilaporkan saja dan kita mencarinya melalui media internet. SAFEnet jadi salah satu sumber rujukan kita juga. Kita kemarin merasa upaya mengumpulkan atau memantau kasus-kasus pelanggaran ini memang sudah banyak dilakukan oleh lembaga HAM, tapi belum ada yang melakukannya dalam spesifik kebebasan berkesenian.

Maka gambaran awal kondisi kebebasan berkesenian di Indonesia perlu ada upaya awal untuk mengumpulkannya. Kami menganalisanya dari 6 hak tadi yang dilanggar dan bagaimana tindakan negara terhadap kasus tersebut untuk pemenuhan kebebasan berkesenian apakah melakukan pembiaran atau melanggar langsung.

Kami juga menemukan ada beberapa isu menjadi sensitif dan sering jadi alasan pelarangan misal isu 65, isu komunisme, isu LGBT, dan isu agama itulah yang menurut kami paling prioritas yang harus disasar dan fokuskan pemantauannya. Selama 10 tahun kami menemukan ada 45 kasus pelanggaran yang tercatat dan dilaporkan kasus pelanggaran. Yang paling banyak terjadi adalah pemutaran film, pelarangan pembatasan pada seni yang terkait isu-itu tersebut, itu garis besar yang kami temukan.

Ines Nirmala

Penelpon selanjutnya ada Angga di Krukut, Angga punya komentar atau pertanyaan soal potret isu kebebasan berkesenian?

Angga

Selamat pagi, saya pernah mendengar suatu berita yang mana anak itu melukis di tembok. Apakah melukis di tembok diperbolehkan di dalam seni?

Ini kan temanya seni, kalau membajak, dulu saya sempat membajak kaset apakah cara orang membajak kaset apakah itu sesuatu yang melanggar hak cipta seni?

Ines Nirmala

Terima kasih Angga di Grogot. Bagaimana Mbak Ratri mau menanggapi?

Ratri Ninditya

Aku ketika diceritain anak-anak yang melukis di tembok kukira tembok umum, di sini ada hal yang ingin aku tekankan bahwa memang kita sangat kekurangan ruang publik untuk berkesenian. Jadi seharusnya anak atau siapapun bisa-bisa saja disediakan tempat untuk melukis itu kalau ruang umum, namun kalau ruang pribadi ya terserah yang punya. Kalau di tempat umum seharusnya negara bisa kasih space yang lebih banyak untuk anak kecil atau siapapun menggambar.

Ines Nirmala

Tanggapan berikutnya kita bahas setelah jeda. Kita akan kembali lagi di ruang publik KBR.

Mbak Ratri ada pertanyaan yang masuk sebelum kita jeda adalah seputar pembajakan kaset. Apakah termasuk pelanggaran seni? Ini mungkin bisa diperjelas lagi ya Mbak Ratri.

Ratri Ninditya

Termasuk pelanggaran seni iya, itu pembajakan.

Ines Nirmala

Iya, pakai banget, pakai bold, tulisannya dikasih underline.

Ada pertanyaan juga dari live chat Youtube dari Yenny ia bertanya, adakah seputar kebijakan pemerintah sudah bisa melindungi pekerja seni terutama pada masa pandemi ini yang menyebabkan semuanya beralih online. Mas Damar bisa menjelaskan?

Damar Juniarto

Saya pikir itu Ratri yang bisa menjelaskan.

Ratri Ninditya

Untuk memfasilitasi perpindahan ke digital sebenarnya Ditjenbud punya program juga salah satunya Budaya Saya, di sana disiarkan seniman-seniman ke wahana internet, tapi sebenarnya masalah utamanya adalah jaringan internet kita belum memadai dan merata di seluruh Indonesia dan itu PR negara buat memperbaikinya.

Tentunya kebutuhan internet tidak sama di tiap daerah sehingga perlu dipertanyakan ulang perlukah setiap bentuk kesenian ke digital, sering sekali perdebatannya soal itu. Kalau bagaimana pemerintah memfasilitasi masih kurang masih perlu perbaikan, ada banyak program, dan kebudayaan juga, tapi belum bisa melihat hasilnya.

Ines Nirmala

Kita membahas soal kebebasan berkesenian di negara kita ini yang masih banyak tantangannya. Kalau dari Koalisi Seni seperti apa idealnya kebebasan berkesenian ini?

Ratri Ninditya

Idealnya perlu dipenuhi keenam hak tersebut, kalau boleh merekomendasi kita perlu punya sistem pemantauan yang terpadu yang dikumpulkan dari berbagai macam upaya pemantauan yang mengakar rumput dari berbagai komunitas Indonesia, dan perlu pelaporan yang aman transparansi dan perlu juga beraliansi dengan penggiat HAM untuk mengkampanyekan kesadaran kebebasan berkesenian spesifik, perlu mengembangkan sistem pemantauan pelanggaran berkesenian di ranah daring yang sudah dilakukan oleh Mas Damar.

Ines Nirmala

Bersama Mas Damar dari SAFEnet kita ngobrolin kalau SAFEnet merilis laporan terkait hak digital di Indonesia dan di tahun ini ada peningkatan yang tajam seputar pelanggaran hak digital, boleh diceritakan Mas Damar dan apakah ini terjadi pada seniman dalam kebebasan berkesenian?

Damar Juniarto

Kami memang difokuskan di hak digital, di hak digital yang pertama kita soroti adalah hak akses, kedua hak berekspresi, dan ketiga hak untuk merasa aman. Dalam 3 hak ini kita mulai merosot jauh sekali dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada 2019 kami melihat dalam hal akses ada hal serius dari sensor online. ada yang disebut pembatasan akses jaringan dalam internet dipadamkan atau shutdown. Ini menambahkan cerita Ratri mengenai kesenjangan digital, namun begitu ada akses di putus kan persoalan baru. Kedua dalam hak berekspresi kita melihat makin banyak orang terutama aktivis dan jurnalis jadi target pembatasan hak berekspresi, mereka yang tadinya dilindungi UU Pers dan UU Perlindungan Pembela HAM tapi malah berhadapan dengan hukum.

Kita bisa melihat bagaimana koten makin seragam dan hal tidak seragam tidak seragam akan dibatasi sebagai moral publik. Lalu yang ketiga hak rasa aman, kita merasakan was-was kalau menggunakan internet. Mulai dari penipuan online tapi yang paling terasa adalah adanya serangan sistematis terhadap kelompok rentan, yaitu minoritas gender, jurnalis, pembela HAM, aktivis kesenian juga salah satu kategori kritis dalam serangan-serangan digital ini. Tiga hal ini kami anggap penting sebagai komponen target dan serangan digital 3 hal ini sebagai bentuk bangkitnya otoritas digital. Kalau ini tidak buru-buru di stop nanti digital kita sangat represif akan semakin rentan dengan kebebasan berpendapat. Tidak hanya pada kelompok kritis tapi juga fondasi demokrasi Indonesia.

Tahun ini sayangnya indikasinya semakin buruk, kita tidak tahu lagi apakah kita sudah siaga satu atau di tahun depan naik lagi pondasi ke siaga dua, ini harus kita waspadai bersama sebagai sebuah negara demokrasi kita ingin ada penghormatan hak-hak warga. Kaitannya dengan seni adalah salah satu hal saya amati dan anggap penting dari kesenian kita upaya perlindungan di UU no. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Ada upaya kita untuk memajukan seni terutama ragam seni yang beragam, lisan, manuskrip, bahasa, adat istiadat, seni, bahasa permainan yang kita harus akui bahwa seni kita lebih tua umurnya lebih jauh, tapi kita berhadapan kondisi ketika ada Pemajuan Kebudayaan harus berhadapan kelompok yang mengatakan bahwa ini melanggar moral kesusilaan, misal kebudayaan Bugis yang kaya adat menurut saya. Mereka punya kebudayaan yang melibatkan minoritas gender tapi ketika buat acara mereka harus dibubarkan, karena melanggar moral publik. Ada gesekan yang sangat serius, apakah cukup upaya perlindungan itu dengan bermodal undang-undang dari iklim nyatanya sendiri kita masih punya persoalan soal kelompok-kelompok yang mengatasnamakan publik.

Ratri dan teman-teman di KBR, kita sebetulnya di ranah digital atau daring representasi dari persoalan kita senyatanya. Kita tidak melihat ini menjadi bagian terpisah apalagi di tengah pandemi ini soal digital itulah gambaran persoalan lebih besar di Indonesia bahwa resi kesenian itu terjadi di ranah daring artinya represi kesenian juga terjadi di dalam keseharian kita, itu adalah satu perhatian yang serius.

Ines Nirmala

Kita akan break, sebelumnya kita akan mengangkat penelpon Bapak Helon dari Sumba Timur. Selamat pagi Pak Helon punya pertanyaan apa?

Pak Helon

Sebagai negara demokratis seperti apa proteksi pemerintah terhadap pelaku seni?

Ines Nirmala

Terima kasih Pak Helon, jawabannya akan diberikan oleh narasumber kita setelah jeda.

Kita kembali bersama Mbak Ratri Ninditya, Koordinator Kebijakan Seni dari Koalisi Seni, serta Damar Juniarto Direktur SAFEnet. Mbak Ratri, bagaimana proteksi negara kita terhadap pelaku seni di negara kita yang disebut negara demokratis?

Ratri Ninditya

Negara belum bisa melindungi kebebasan berkesenian warga negaranya. Dari sisi peraturan perundangan, walaupun ada beberapa peraturan yang mendukung dan melindungi kebebasan berkesenian seperti UU Pemajuan Kebudayaan, tapi kita masih punya beberapa Undang-Undang lain seperti contoh, UU Pornografi, UU no. 32 tentang Penyiaran yang membiarkan negara menyensor isi dan konten siaran di radio, dan UU Perfilman dimana Lembaga Sensor Film diberikan kekuasaan yang cukup besar untuk menyensor beberapa hal, meski sifat penyensoran dalam dialog dengan sutradara nya. Tapi, penyiaran secara nyatanya masih banyak penyensoran.

Di luar penegaknya, peraturan-peraturannya tidak konsisten karena dari berbagai macam kasus yang ditemukan sikap negara melalui aparat militer, polisi, ataupun pejabat negara lebih banyak berpihak kepada yang menuntut yang menghalangi kegiatan seni tersebut tanpa memberi kesempatan kedua pihak yang menyelenggarakan acara dan yang menuntut acara dibatalkan untuk berdialog secara demokratis. Dari banyak kasus yang kita temukan, mereka cari jalan pintas untuk dibatalkan, dibubarkan, atau berpihak ke misal aktor non-negara, ormas berbasis militer atau agama maka aparat negara mengambil pihak mendukung ormasnya. Beberapa hal sedikit kasus memang aparat polisi misal berusaha melindungi acara itu terjadi, tapi masih banyak banget kejadian yang sebaliknya.

Ines Nirmala

Seputar kebebasan berkesenian, Koalisi Seni akan meluncurkan kajian secara resmi yang dilangsungkan lewat webinar tanggal 10 November 2020 ini. Bagaimana pendengar kita kalau mau ikut berpartisipasi dalam peluncuran kebebasan berkesenian ini?

Ratri Ninditya

Gampangnya follow terus Instagram Koalisi Seni nanti ada info lebih lengkap disitu, link yang dituju kalau ingin menonton secara online atau daftar langsung ke Zoom. Untuk dua cara itu semua bisa berinteraksi. Di Jam 2 siang, 10 November.

Ines Nirmala

Kita ke Mas Damar dari SAFEnet sepertinya punya banyak hal yang perlu disampaikan ke pendengar kita. Mas Damar apalagi yang mau disampaikan seputar kebebasan berkesenian ini?

Damar Juniarto

Poin penting di banyak kelompok sedang ada pembicaraan bagaimana kita push back tekanan terhadap menyempitnya ruang demokrasi, ruang kesenian. Kita sadar dengan kondisinya dan sekarang sedang ada pembicaraan bagaimana kita sama-sama menekan jangan sampai kita kehilangan sama sekali.

Saya rasa disini poin penting melibatkan teman-teman yang bergerak di bidang kesenian, pekerja seni, termasuk juga organisasi seperti Koalisi Seni Untuk bergandengan tangan bagaimana kita punya langkah bersama untuk menekan jangan sampai kita kehilangan ruang yang kita perlukan ini. Karena kita bisa membayangkan kalau tidak ada kesenian betapa sepinya dan hambarnya kehidupan ini. Kita juga tidak ada satu mekanisme atau satu cara penyampaian pendapat yang bisa jadi menyenangkan untuk diingat. Sekalipun disampaikan dalam bentuk satir, dalam bentuk karikatur, tapi ketika itu disampaikan ada orang yang tersinggung maka ia menggunakanlah UU ITE. Bayangkan, pasti para pekerja seni pikir-pikir lagi untuk menggunakan itu.

Kita perlu itu  tetap dipertahankan karena itu jadi satu bagian menjadi demokrasi yang menjadi sehat dan ada wacana yang bisa dibebaskan dibicarakan setiap hari. Yang paling penting di tahap sekarang ini Indonesia usianya lebih muda dari kesenian-kesenian yang ada di Indonesia, itu salah satu yang perlu diperhatikan oleh para pembuat kebijakan dan aparatnya adalah nilai-nilai yang ada di masyarakat kita perhatikan jangan sampai kita menerapkan konsep moral publik hanya membatasi pada satu tradisi satu kelompok saja kita perlu mendengar dari berbagai kelompok dan jangan menjadikan moral itu sebagai pembatasan kebebasan ekspresi artistik.

Ini saya rasa yang didorong tidak hanya UU tapi juga edukasi. Pembicaraan hari ini edukasi penting kalau bisa didengar oleh aparat penegak hukum karena mereka yang akan menekankan moral yang ditekankan ke kelompok lain.

Ines Nirmala

Terima kasih Mas Damar dan Mbak Ratri sudah memberikan pandangannya seputar kebebasan berkesenian, semoga kita bisa ngobrol di kesempatan selanjutnya. Terima kasih untuk pendengar kita mendengar sampai saat ini. Sampai jumpa!

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.