Jakarta – Pembajakan karya seni adalah kejahatan yang amat mudah terjadi. Kita pasti sering mendengar upaya-upaya untuk mengunduh film atau serial lewat kanal ilegal, maupun upaya penyebarluasannya untuk kepentingan komersial. Atau grafis dan foto di Internet yang kerap dicomot begitu saja tanpa izin pada pemiliknya. Buku pun seringkali menjadi objek yang direproduksi, dan dijual dengan harga jauh lebih murah. Pelanggaran hak cipta ini bisa jadi belum disadari oleh banyak pencipta.
Koordinator Riset Koalisi Seni Ratri Ninditya mengatakan, yang membedakan pembajakan dengan pelanggaran hak cipta lainnya adalah, pembajakan merupakan bentuk penggandaan dan pendistribusian yang tidak sah untuk kepentingan komersial. “Kalau pelanggaran hak cipta, di Indonesia ada hak cipta dan hak terkait. Yang mempunyai hak cipta adalah pencipta, sementara yang memiliki hak terkait, salah satunya adalah pelaku pertunjukan,” ujar Ratri dalam diskusi daring “Pembajakan, Bentuk Pelanggaran Hak Cipta, dan Langkah Hukum yang Tersedia” pada 27 Desember 2022.
Lebih lanjut Ninin menjelaskan, regulasi soal hak cipta di Indonesia disebut belum mengakomodasi secara komprehensif berbagai praktik di industri musik digital. Aturan soal platform dan aggregator, misalnya, belum termaktub di Undang-undang Hak Cipta No.28 Tahun 2014. UU itu juga dianggap masih berfokus pada seni musik, belum membahas lebih dalam ragam seni lainnya. “Seni rupa, sastra, teater, belum dijangkau di UU yang ada,” kata dia.
Dalam acara yang sama, seniman asal Bali, Kuncir Sathya Viku, mengaku belum pernah tersandung kasus pelanggaran hak cipta dan pembajakan. Adapun kontrak kerjanya dengan pihak lain selama ini dianggap Kuncir sudah cukup melindungi masalah terkait hak cipta. Namun ia teringat seorang seniman kenalannya yang gambarnya dipakai untuk tujuan komersial di sebuah kafe. “Saat itu ada pemahaman di diri saya bahwa terjadi penjiplakan karya di situ,” ujarnya.
Jurnalis Hukumonline.com Hamalatul Qurani alias Mala mengatakan, jika diduga terjadi pelanggaran hak cipta, penyelesaiannya bisa dilakukan di luar persidangan, salah satunya lewat negosiasi antara seniman dengan pihak lainnya. Namun jika koridor nonlitigasi tidak menemui solusi, maka jalur hukum bisa ditempuh. Walau memang, kata dia, sebagian seniman menghindari penyelesaian di pengadilan karena posisi tawarnya yang rendah.
Ratri menambahkan, problem hak cipta akan lebih mudah ditindaklanjuti jika pencipta sudah mencatatkan ciptaannya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sebab pencatatan itu bisa menjadi bukti yang menguatkan hak ekonomi si pencipta, jika terkena kasus pada kemudian hari. Sedangkan untuk melindungi hak moral, pencipta bisa melakukan langkah perlindungan tertentu. Sayangnya, hal ini kurang tersosialisasikan.
Ilustrator misalnya, disebut Mala bisa membubuhkan watermark di foto karyanya yang diunggah ke media sosial. Langkah itu tak ubahnya upaya “mengumumkan” ke publik bahwa karya tersebut adalah kreasi si pencipta. “Hak cipta sejatinya berdasarkan prinsip deklaratif. Jadi perlu diumumkan walau sejatinya hak moral sebagai bagian dari hak cipta otomatis dimiliki pencipta saat karyanya lahir. Beda dengan hak paten yang prinsipnya first to file atau siapa yang mendaftar duluan, dialah yang akan dilindungi haknya,” kata Mala.
Lalu, bagaimana jika kasus dugaan pelanggaran hak cipta itu terjadi di luar negeri? Mala menyebut, kondisi itu bergantung pada kebijakan negara terkait. Jika materi kasusnya dianggap layak ditangani, maka akan dilanjutkan proses litigasinya. Ia menyebut, ada Konvensi Berne yang diratifikasi oleh 176 negara termasuk Indonesia. Konvensi itu melakukan perlindungan terkait hak cipta. “Ada standar nasional dalam penanganan kasus, tetapi yuridiksinya tetap memakai hukum negara pelanggar,” ujar Mala.
Isma Savitri