/   Kabar Seni

Pekerja seni perempuan semestinya memiliki hak kebebasan berkesenian yang setara dengan laki-laki. Hak ini memiliki enam turunan yaitu hak untuk berkarya tanpa sensor atau intimidasi; hak untuk mendapatkan dukungan, jalur distribusi, dan balas jasa atas karya; hak atas kebebasan berpindah tempat; hak atas kebebasan berserikat; hak atas perlindungan hak sosial dan ekonomi; serta hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan.

Sayangnya, di Indonesia, kondisi ini belum terpenuhi. Menurut Koordinator Riset Koalisi Seni, Ratri Ninditya, hal itu disebabkan pekerja seni perempuan mengalami invisibilitas ganda. Pekerja seni perempuan dianggap tak terlihat karena ekosistem seni masih didominasi laki-laki. Ditambah lagi, perempuan kebanyakan bekerja di sektor-sektor balik layar seperti manajer ataupun liaison officer (LO).

Situasi tersebut diperparah dengan aturan-aturan ketenagakerjaan di sektor seni yang belum melindungi perempuan. Ratri mengatakan, berbeda dengan perusahaan-perusahaan besar, pekerja seni kerap mencari penghasilan di lingkup komunitas maupun kolektif dengan relasi kerja yang kabur. Akibatnya pekerja perempuan kerap menjadi korban eksploitasi. Mereka juga sukar meminta kontrak tertulis, menggugat besaran upah, ataupun mempertanyakan perintah-perintah kerja atasannya. 

“Kita jadi susah menentukan batas-batas kapan kerjaannya lebih dari waktu yang seharusnya,” ujar Ratri dalam webinar ‘Hari HAM Sedunia 2022: Kebebasan dan Hadirnya Ruang Aman dalam Berkesenian’ yang dihelat organisasi Rumpun Indonesia, 18 Desember 2022.

Ini terbukti dalam hasil survei Koalisi Seni berjudul Merawat Seni dengan Hati: Kondisi Kerja Emosional Perempuan. Penelitian ini turut merekam 41% pekerja seni perempuan yang berpenghasilan di bawah upah minimum regional (UMR). Meski banyak kerja-kerja seni yang dilakukan sebagai pekerjaan sampingan, tetap saja laporan ini membuktikan seni belum bisa menghidupi pekerjanya.

Survei berbasiskan kuesioner dari 202 responden (pekerja seni perempuan maupun transpuan) dan wawancara mendalam ini juga menemukan sekitar 49% organisasi ataupun lembaga tidak mengadakan pertemuan rutin untuk menyampaikan pendapat. Angka ini amat disayangkan karena, menurut Ratri, pertemuan ini semestinya menjadi ruang aman bagi perempuan untuk bersuara terkait tempat kerjanya.

Koalisi Seni, dalam survei yang sama, turut mencatat 55 responden yang mengaku mengalami kekerasan selama setahun terakhir (survei berlangsung selama 2020-2021). Ada tiga kekerasan yang kerap dialami mereka: kekerasan fisik, pelecehan seksual, ataupun perundungan (bullying). Sekitar 25% di antaranya bahkan mengalaminya lebih dari sekali.

Ratri merasakan, belakangan ini, semakin banyak orang yang sadar untuk bersikap lebih hati-hati, maupun lebih menghormati perempuan di tempat kerjanya. Namun tetap saja, “Kadang muncul yang sifatnya subtle misalnya candaan yang seksis, catcall, ataupun kesempatan yang tidak sama (dengan laki-laki),” kata dia.

Selain perempuan pekerja seni, dia juga menganggap perempuan pegiat seni lainnya seperti peneliti seni, penikmat seni, penggemar kelompok seni, juga berhak memperoleh hak kebebasan berkesenian, khususnya hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan. Namun, pemenuhan hak ini masih terkendala karena sulitnya menciptakan ruang kesenian yang aman bagi perempuan.

Hal ini diakui perempuan pegiat musik hardcore dan punk, sekaligus sutradara Hera Mary. Kehadiran perempuan dalam skena musik ini sangat sedikit karena mereka merasa tidak aman berada dalam ruang yang didominasi laki-laki.

“Masih banyak perempuan yang merasa terancam padahal seharusnya kami di hardcore dan punk semua menjunjung rasa aman dan nyaman bersama,” kata Hera dalam webinar yang sama.

Tak hanya persoalan ruang aman, perempuan pun kerap mendapat intimidasi sehingga mereka tak bisa bebas berkumpul dan berekspresi. Dia masih mengingat kejadian pada 2016, saat acara kesenian Ladyfast di Bantul, Yogyakarta, yang turut dikerjakannya, dibubarkan oleh organisasi masyarakat karena dianggap terlalu vulgar.  

“Entah apa yang dimaksud terlalu vulgar kami pun belum terlalu paham. Padahal di acara manapun , show apapun, kita berhak dapat ruang yang sama, aman, nyaman, perasaan dan ekspresi yang sama. Tapi ternyata kita enggak dapat,” tutur dia.

Moyang Kasih Dewimerdeka

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.