Koalisi Seni menyambut baik aturan Kementerian Tenaga Kerja yang mewajibkan perusahaan membentuk satuan tugas (satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja. Aturan itu adalah implementasi Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 88 Tahun 2023 yang ditandatangani Menaker Ida Fauziyah 29 Mei 2023. Unsur satgas bisa diwakilkan perusahaan maupun dari pekerja.
Menurut Koordinator Penelitian Koalisi Seni Ratri Ninditya, kepmen itu positif karena mengimbau pengusaha di Indonesia untuk menghilangkan segala bentuk kekerasan seksual di tempat kerja. “Walau bentuknya panduan, ini bisa diadopsi di seluruh tempat kerja, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak,” ujarnya dalam siniar dengan KBR, 15 Juni lalu.
Di bidang seni, khususnya, bentuk kerja maupun status tempat kerjanya beragam. Ada lembaga seni yang berbadan hukum, tetapi ada pula yang belum. Ada juga yang bekerja berdasarkan kontrak maupun tidak. Bagaimanapun modelnya, aturan pembentukan satgas tetap bisa diadaptasikan ke dalamnya.
Koalisi Seni sendiri memiliki perangkat Kode Etik dan Dewan Etik sebagai acuan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkup internal (anggota). Bila Kode Etik mencakup sistem norma dan nilai, Dewan Etik menjadi instrumen penegaknya.
Yang terpenting, kata Ratri, adalah perusahaan memiliki aturan internal yang memuat mekanisme yang jelas, mulai dari tahap pelaporan, penanganan, hingga perlindungan korban kekerasan seksual. Peraturan itu bisa tersemat di kontrak kerja, maupun di Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga lembaga/perusahaan. Tentunya, aturan tersebut harus berperspektif korban, mulai dari tahap penanganan aduan hingga pemulihan. “Penanganan kasus dan pemulihan korban idealnya sederhana dan tidak ribet, agar aduan yang masuk bisa ditindak cepat,” kata Ratri.
Terkait aturan penanganan kasus kekerasan seksual di tempat kerja, Ratri menggarisbawahi sejumlah poin. Pertama, ada pada ketegasan lembaga terhadap pelaku. Ini penting karena menjadi preseden untuk penanganan kasus di lembaga maupun jejaring lain, bahwa setiap pelaku kekerasan seksual bisa mendapat sanksi berat.
Yang kedua, lembaga juga perlu memiliki pendanaan darurat karena mungkin penanganan kasus kekerasan seksual membutuhkan biaya, terlebih bila berlanjut ke proses litigasi. Ketiga, adanya program pencegahan kekerasan seksual, misalnya dalam bentuk pelatihan ke seluruh pegawai atau anggota lembaga. Pelatihan itu untuk meningkatkan kesadaran akan bentuk-bentuk kekerasan seksual, serta memberi pemahaman bahwa pelakunya akan ditindak berat.
“Sebenarnya tujuan akhir dari aturan ini adalah adanya ruang aman di tempat kerja. Dengan adanya aturan yang jelas dan berperspektif korban, korban akan merasa aman untuk melapor. Sebab selama ini, banyak kasus yang tidak dilaporkan karena korban tidak merasa aman,” Ratri menjelaskan.
Adapun soal komposisi anggota satgas, Ratri menyebut idealnya ada keterwakilan dari perusahaan dan representasi pekerja. Tentunya pemilihan anggota satgas juga harus mempertimbangkan rasio gender, serta pengalaman menangani kasus kekerasan seksual setidaknya sekali. Ihwal efektivitas keberadaan satgas dalam memberangus kekerasan seksual, itu bergantung pada seberapa kuat kebijakan internal dan implementasinya. “Ini balik lagi ke intensi lembaganya dalam kasus kekerasan seksual.”
Isma Savitri