Diskusi Diam-Diam Merugikan, Bongkar Seluk-Beluk Royalti Biar Gak Selalu Rugi”. Foto: Koalisi Seni/Margaret Megan
Jakarta, 31 Mei 2024 – Tahun ini Koalisi Seni kembali menghelat rangkaian diskusi “Diam-Diam Merugikan, Bongkar Seluk-Beluk Royalti Biar Gak Selalu Rugi” di Gudskul, Coffeewar, Kedubes Bekasi, Selasar Sunaryo dan M Bloc.
Melalui rangkaian diskusi tersebut, temuan penelitian Koalisi Seni dikonfirmasi oleh para narasumber dan peserta diskusi. “Zaman dulu 1 juta copy kaset dan cd masih bisa kebeli rumah atau mobil. Jadi profesi penyanyi waktu itu bisa dibilang mapan. Tapi kalau lihat kondisi adik-adik sekarang yang jumlah streaming-nya 100.000 kali lipat dibanding saya dulu—kok nggak semapan saya yang dulu ya?“ ujar Melly Goeslaw, Penyanyi, Pencipta Lagu sekaligus Wakil Ketua Federasi Serikat Musisi Indonesia (FESMI)
Koordinator Penelitian Koalisi Seni, Ratri Ninditya menjelaskan kondisi di Indonesia masih banyak menggunakan platform asing, sehingga hanya dijadikan pangsa pasar saja. Maka dari itu salah satu rekomendasi dari hasil kajian Koalisi Seni adalah untuk mendorong terciptanya platform lokal supaya negara punya daya tawar yang lebih tinggi sama platform asing dan ada batas minimal tarif pemutaran lagu ke platform digital.
Sementara itu menurut Aprilia Sari, Vokalis dan Penulis lagu White Shoes and The Couples Company menambahkan “Seni tanpa bisnis adalah victimization, kalau kita nggak pinter-pinter ngebisnisin talent yang kita punya. Kebalikannya adalah, bisnis tanpa seni adalah nggak ada soul-nya. Jadi dua-duanya harus 50:50.” Hal tersebut disetujui Yovie Widianto, Ketua Umum FESMI, Komposer dan Pencipta lagu mengingatkan bahwa “Indonesia itu ada 270 juta penduduk. Yang muter lagu dari platform musik itu paling banyak di kita. Artinya, secara perputaran ekonomi itu sangat besar. Jangan sampai kita cuman jadi target market, tapi kita harus mendapatkan keuntungan dari semua yang terjadi di situ. Itu yang harus kita perjuangkan.”
Hafez Gumay, Manajer Advokasi Koalisi Seni juga menambahkan isu utama dalam ranah musik digital adalah bagaimana menciptakan sistem tata kelola royalti yang lebih transparan dan berpihak pada musisi. Sistem borongan dalam pungutan royalti oleh LMKN menjadikan pembagian yang bermasalah. Musisi jadi tidak bisa mendeteksi berapa kali lagunya diputar? di mana saja lagunya telah diputar? kenapa dapatnya sekian rupiah?
Banyaknya akar masalah dalam aturan royalti tersebut akhirnya melahirkan kolaborasi Koalisi Seni dengan FESMI untuk menyampaikan kertas kebijakan pada Kementerian Hukum dan HAM dan LMKN. Dalam opini editorial “Aturan Royalti Mesti Direvisi Supaya Musisi Tidak Terus Rugi” Koalisi Seni dan FESMI merekomendasikan: (1) Melakukan perubahan terhadap UU Hak Cipta agar mampu mengakomodasi berbagai perubahan yang muncul dari kehadiran platform digital sebagai wahana distribusi karya. (2) Menyusun standar baku perjanjian lisensi yang berpihak pada musisi. (3) Mendukung pengembangan platform digital dalam negeri. (4) Melibatkan musisi yang lebih luas dalam pembentukan kebijakan hak cipta.
Pekerjaan rumah musisi memang banyak, namun Voice of Baceprot meyakini “Kalau kita ngerti royalti dan segala macem, itu membuat kita sebagai musisi memiliki daya tawar dan tidak terus menerus menjadi pihak yang kalah.”
Lebih lanjut, kamu bisa baca “Diam Diam Merugikan: Situasi Hak Cipta Musik Digital di Indonesia” dan “Semua yang Musisi Perlu Tahu Tentang Hak Cipta Digital” di Academia Koalisi Seni.
Ditulis oleh: Amalia Ikhlasanti