Kurikulum 2013 dengan sistem mata pelajaran tematik membuat guru seni budaya dituntut serba bisa menguasai semua bidang seni, meski acap tak sesuai kompetensi. Sementara itu, fasilitas pengajaran belum memadai. Hasilnya mudah ditebak: sikap nirempati, apatis, dan kurang toleran terlihat dalam pergaulan remaja. Realitas inilah yang dihadapi dua anggota Koalisi Seni, Siska Aprisia dan Mari Berbagi Seni, saat terjun langsung ke sekolah-sekolah mengupayakan kesetaraan pendidikan seni.
Pada Januari 2021, Siska bertolak dari Yogyakarta ke Pariaman untuk menghadiri rapat agenda seni dengan pemerintah setempat. Meski kini tinggal di rantau, ia tak berhenti memperhatikan geliat kesenian lokal yang menurutnya punya potensi besar. Secara geografis, Pariaman terlihat kecil, tapi puluhan sanggar seni bertebaran dan mayoritas diisi oleh remaja usia sekolah. Riuhnya sanggar kontras dengan realitas pelajaran seni dalam kurikulum sekolah. Menurut Siska, pelajaran seni masih sebatas teori dengan porsi kecil dibanding IPA, IPS, dan bahasa.
“Ada pelajaran Budaya Adat Minangkabau, tapi hanya dipelajari sampai SD. Seharusnya ini diajarkan sampai SMA agar generasi muda mengerti lebih dalam akar seni budaya sendiri. Jangan langsung ke seni modern, dasarnya tetap tradisi,” ujar lulusan Pascasarjana Penciptaan Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang ini.
Selain tantangan dari segi kurikulum, Siska melihat belum ada sinergi kuat antara pemerintah daerah, seniman, dan institusi pendidikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan seni. Ia berpendapat hal ini berdampak pada rendahnya apresiasi masyarakat dalam melihat seni, sehingga tak ada standar upah layak pegiat seni serta seniman dianggap sekadar hobi, bukan profesi yang menjamin. Menurutnya, pola pikir itu masih laten di masyarakat Pariaman hingga kini.
“Masih kuat pemahaman itu, bahkan dibanding olah raga pun seni masih dipandang rendah. Apalagi kalau anak laki-laki umumnya menolak diajak menari karena takut dianggap seperti perempuan,” katanya.
Dengan kiprahnya sebagai penari yang telah malang melintang di panggung nasional dan internasional, Siska ingin meredam stigma itu. Ranah Batuah, kolektif yang ia bangun bersama seniman Pariaman lainnya, turun ke sekolah dengan program Ranah Batuah Goes to School pada 2019. Enam sekolah, terdiri dari 4 SMA dan 2 SMK, diundang. SMKN 2 Pariaman mengajukan diri sebagai tuan rumah, sementara sekolah lainnya wajib mengirimkan minimal 10 orang pelajar untuk berpartisipasi. Ranah Batuah mengajari pesertanya dengan praktik dan wacana tentang tari dan akar budaya Minangkabau, Ulu Ambek.
“Ini murni inisiatif kami, tanpa bayaran, patungan sendiri untuk memfasilitasi para pelajar. Harus diakui responnya tak selalu menyenangkan, hanya beberapa saja yang benar-benar tertarik,” ucap Siska.
Ikhtiar Siska terus diuji, karena pandemi 2020 membuat program itu terhenti. Seniman lainnya di Ranah Batuah pun sibuk mencari cara untuk bertahan hidup. Namun, ia terus mengupayakan adanya diskusi, menari, dan bercerita lewat Pariaman Bercerita via daring bersama Ranah Batuah dengan beberapa pelajar peserta program Goes to School.
“Semoga pemerintah daerah bisa menggandeng institusi seni dan seniman, dilibatkan ke dalam kerja-kerja kesenian agar tahu seperti apa medan yang dihadapi,” katanya di akhir percakapan.
Satu semangat dengan Siska, Tita Djumaryo, pendiri Mari Berbagi Seni (MBS), punya banyak cerita tentang interaksinya dengan pelajar di berbagai kota di Indonesia. Ia mengidentifikasi korelasi nirempati di kalangan pelajar dengan pendidikan seni di sekolah. Menurutnya, seni adalah pelajaran strategis yang ampuh mengasah rasa, karsa, dan nalar kritis pelajar.
“Seperti tragedi tsunami di Tanjung Lesung 2018 lalu, remaja berswafoto di lokasi reruntuhan, tidak ada empati di situ. Kurangnya pelajaran seni menjadi faktor X dalam hal ini,” ujar lulusan Seni Rupa ITB itu.
Faktor X inilah yang ia bedah bersama MBS. Setelah diidentifikasi, ini disebabkan kurangnya jumlah guru seni, minimnya fasilitas pengajaran, dan kurikulum 2013 yang menuntut guru serba bisa. Tita bahkan pernah menemui guru seni budaya merangkap olahraga.
“Karena itu, MBS hadir sebagai fasilitator pengajar seni, terutama untuk sekolah-sekolah di pelosok yang jauh dari pusat kota,” ujarnya.
Sejak 2017, puluhan sekolah di Jabodetabek, Bandung, Kabupaten Gowa, Ambon, hingga Kalimantan Selatan telah dijajaki MBS. Langkah progresif ini didukung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan kemudahan surat perizinan ke seluruh sekolah di Indonesia.
“Sebelumnya program ini pernah dijalankan lewat ekstrakurikuler (tidak wajib), tapi sepi peminat. Kalau masuk sebagai mata pelajaran, efeknya lebih terasa karena wajib diikuti semua pelajar,” ucap Tita.
Meski pandemi Covid-19 belum usai, MBS terus menjalankan programnya secara daring. Lewat Creative Youth for Tolerance (CREATE), MBS merangkul 21 SMA di enam kota dan tiga provinsi. Tita yakin, upaya menyetarakan kualitas pendidikan seni menjadi kunci melahirkan regenerasi Indonesia unggul. (Dian Putri)
ilustrasi: Needpix