/   Kabar Seni

Gunarta, CC BY-SA 4.0, via Wikimedia Commons

Museum Dewantara Kirti Griya di Yogyakarta punya ribuan koleksi yang merekam jejak perjuangan Ki Hadjar Dewantara, sang pendiri Taman Siswa. Selama puluhan tahun, untuk dapat melihat peninggalan surat-surat yang ditulis sendiri oleh Ki Hadjar, kita harus datang langsung ke bekas kediamannya itu. Belum tentu semua orang mampu menjangkaunya. Namun, situasi itu berubah pada 2015.

Lewat proyek GLAM (singkatan dari gallery, library, archives, dan museum), korespondensi berharga sang guru kini terbuka bagi siapa saja yang memiliki akses Internet. Inisiatif itu datang dari Wikimedia Commons yang berhasil menyulap tumpukan koleksi fisik di museum menjadi arsip digital yang dapat diakses dari mana saja. Puluhan buku milik Ki Hadjar, foto-foto, dan ratusan surat yang di antaranya dari Menteri Urusan Koloni Pleyte sampai Presiden Sukarno kini tersimpan ‘abadi’ di laman Wikimedia.

Sekretaris Jenderal Wikimedia, Rachmat Wahidi, bercerita inisiatif GLAM tercetus sekitar sepuluh tahun lalu. Awalnya, komunitas penulis Wikipedia terbentur keterbatasan memperoleh buku-buku, kamus, ataupun ensiklopedia untuk dijadikan sumber rujukan dalam menulis artikel. 

Rachmat dan koleganya lantas membeli alat pemindai (scanner) untuk merekam isi dari sejumlah buku referensi. Ada yang dipinjam dari perpustakaan daerah maupun koleksi pribadi anggota. Namun, hasil pindaian itu belum dipublikasikan karena terikat hak cipta. “Hanya dari anggota untuk anggota, tidak boleh disebarkan,” kata Rachmad yang juga merupakan anggota Koalisi Seni saat berbincang pada 28 Oktober 2022.

Para Wikimediawan –sebutan untuk anggota Wikimedia– kemudian menyadari bahwa digitalisasi arsip adalah masa depan. Proyek ini pun digarap makin serius. Sejak 2015, mereka menjajaki kemitraan dengan lembaga-lembaga GLAM untuk membantu digitalisasi dan pengarsipan buku-buku ataupun benda-benda budaya. 

Museum Dewantara Kirti Griya jadi mitra pertama. Proyek pionir ini masih penuh keterbatasan dari segi teknis maupun sumber daya manusia, tapi hasilnya menggembirakan. Selain berhasil membuat arsip digital dari koleksi museum, sukarelawan juga membuat transkripsi dan terjemahan surat-surat Ki Hadjar yang sebagian berbahasa Belanda.  

Karena berbasis sukarelawan, inisiatif ini tak bisa langsung menjangkau semua lembaga GLAM di Indonesia. Sasaran difokuskan pada museum dan perpustakaan yang tidak berorientasi pada laba. “(Kami) menyasar lembaga yang kami anggap masih membutuhkan sumber daya dari luar. Kalau lembaganya sudah mapan, mereka dapat melakukannya sendiri,” ujar Rachmat.

Meski berniat membantu, tak semua lantas langsung menyambut dengan tangan terbuka. Misalnya pada 2017, Pusat Dokumentasi Informasi Kebudayaan Minangkabau sempat mengkhawatirkan proyek digitalisasi justru akan menghilangkan minat pengunjung untuk datang langsung ke tempat mereka. 

Kekhawatiran ini, kata Rachmat, bisa disiasati dengan memilah mana hasil digitalisasi koleksi yang boleh dipublikasikan dan mana yang untuk keperluan penyusunan arsip dan katalog digital. Pihak Pusat Dokumentasi Kebudayaan Minangkabau pun akhirnya terketuk. Saat ini ada sekitar 400 koleksi digital mereka yang bebas diakses publik.

Tantangan lainnya adalah urusan teknis dan logistik. Terkadang, kata Rachmat, ada koleksi yang belum bisa dikonversi ke format digital seperti mikrofilm. Ada juga koleksi yang tidak bisa terbaca karena tak terawat sekian lama. “Kalau mereka tidak bisa reservasi naskah atau direstorasi, kami tidak akan sentuh. Kami hanya sentuh koleksi yang memang masih layak diselamatkan,” ujar dia.

Sejauh ini, proyek GLAM telah bermitra dengan tujuh lembaga. Di antaranya adalah Museum Pasifika di Bali yang menyimpan lukisan Raden Saleh. Koleksi yang dibuat digital pun tak terbatas pada buku dan kertas. Ada koleksi koin emas Kesultanan Makassar sejak abad ke-17, bas betot Kesultanan Deli Serdang, hingga keramik dari masa prasejarah di Waingapu.

Keberadaan akses digital pada koleksi museum dan perpustakaan ternyata membuka pintu pada proses kebudayaan baru. Tak hanya peneliti sejarah yang bisa memanfaatkannya. Dalam Festival Retas Budaya pada November 2020, Wikimedia bekerja sama dengan Goethe Institut mengajak publik untuk “meretas” atau membuat interpretasi baru dari ragam koleksi terbuka di Wikimedia. Karya-karya yang lahir dari acara itu segar-segar. 

Misalnya, berbekal arsip digital Majalah Horison tahun 1966-1990, ada peserta yang menjahit karya penyair lama seperti Chairil Anwar menjadi sajak-sajak baru. Ada pula inisiatif untuk membuat koleksi Museum Uang menjadi bagian dari gim pencarian layaknya Pokemon GO. “Kami sekarang fokus untuk mensosialisasikan bahwa koleksi digital ini sudah ada dan bisa dimanfaatkan publik,” ucap Rachmat.

(Moyang Kasih Dewimerdeka)

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.