Penerapan aturan mengenai kekayaan intelektual sebagai objek jaminan utang masih sarat masalah. Koalisi Seni mengimbau pemerintah untuk mengevaluasi skema, utamanya terkait hak cipta.
Jakarta – Pengesahan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif (PP Ekraf) membuka jalan terang bagi pelaku ekonomi kreatif dan seniman. Sebabnya, aturan itu mengatur produk kekayaan intelektual (KI) seperti lagu maupun film, dapat menjadi objek jaminan utang ke lembaga keuangan bank maupun nonbank. Namun, Koalisi Seni mencatat masih ada masalah struktural yang dapat merintangi penerapan PP Ekraf.
Wakil Ketua Koalisi Seni Kartika Jahja mengungkapkan, pemerintah mesti melakukan evaluasi agar nantinya tak ada yang menghambat karya seni dan ekonomi kreatif menjadi jaminan utang. “Terkait hal itu, Koalisi Seni merekomendasikan sejumlah poin yang bisa dijadikan acuan evaluasi,” ujarnya di Jakarta, 25 Agustus 2022.
Pertama, Pemerintah harus memastikan empat pilar KI yakni penciptaan, perlindungan, penegakan hukum, dan komersialisasi, sudah terbentuk dengan mapan di ekosistem hak cipta. Empat pilar itu juga mesti bisa melindungi hak pelaku seni secara luas.
Peneliti kebijakan seni Koalisi Seni, Aicha Grade Rebecca menilai, penerapan skema jaminan utang bisa sia-sia jika masih banyak pelaku seni yang belum mempunyai pengetahuan memadai soal KI. Baik itu secara umum, komersial, hingga tata cara mendaftarkan produk KI. Pemerintah juga mesti memperhatikan tata kelola KI, khususnya hak cipta, yang masih abu-abu. “Hal ini penting untuk menegakan hukum jika terjadi pelanggaran,” kata dia.
Rekomendasi kedua, pemerintah mesti mengkaji kemungkinan untuk merancang peta transisi terkait jaminan utang KI. Kita bisa mencontoh Singapura yang meneken rencana induk 10 tahun penerapan pembiayaan berbasis hak KI. Strategi itu bisa diterapkan di Indonesia untuk menyempurnakan skema pembiayaan utang berbasis KI. “Bila diterapkan di Indonesia, strategi itu akan memperkuat infrastruktur KI secara simultan,” kata Aicha.
Ketiga, Koalisi Seni merekomendasikan pemerintah untuk mempertimbangkan anggaran subsidi dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah/Negara (APBN/APBD), atau memberi insentif finansial pada lembaga pembiayaan milik negara dalam bentuk hibah. Sebab pada awal praktik penerapan skema, negaralah yang seringnya menanggung risiko kredit bersama lembaga pembiayaan.
Aicha mencontohkan pemerintah India yang memberi insentif finansial bagi bank melalui CIPAM. Sedangkan pemerintah Singapura dan Malaysia, menganggarkan subsidi untuk proses garansi, valuasi, dan kredit secara keseluruhan. Strategi itu diterapkan demi meyakinkan lembaga pembiayaan untuk berpartisipasi dalam skema jaminan utang. “Taktik tersebut juga mengundang segmentasi debitur yang lebih inklusif,” ujarnya.
UU No 7 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah mengatur dua jalur dukungan finansial kepada lembaga pembiayaan dan debitur utang KI. Pasal 24 UU itu menyebut, pemerintah dapat memberikan hibah kepada perusahaan milik negara dan daerah dengan persetujuan DPR. Tentunya, penerapan anggaran jaminan utang melalui APBN/APBD juga dapat dilakukan. Namun metode hibah lebih direkomendasikan karena skema itu akan mulai diterapkan tahun depan, sementara APBN/APBD untuk tahun 2023 telah mulai disusun pertengahan tahun ini.
Sebelumnya, Koalisi Seni memetakan masalah struktural yang bisa menghambat penerapan PP Ekraf. Pertama, sistem KI yang ada saat ini, belum memadai untuk melindungi hak para pencipta. Selain persoalan sistem KI, masalah lainnya terkait akses pelaku ekonomi kreatif terhadap jaminan utang.
Pemerintah Indonesia, menurut Aicha, memiliki visi besar dalam membangkitkan kreativitas nasional dengan menggunakan objek KI sebagai jaminan utang. Namun, ketimbang buru-buru merealisasikannya, lebih baik bila menyempurnakan dulu metodenya. Akan sangat disayangkan jika metode ini telah berjalan, tanpa pondasi kekayaan intelektual yang kuat pada akarnya. “Akan sangat disayangkan juga bila metode ini nantinya dimanfaatkan segelintir pihak saja,” kata dia.