/   Kabar Seni

Jakarta – Diskusi mengenai sejarah musik Indonesia relatif jarang terjadi, padahal ia adalah pijakan penting untuk mengkaji pengembangan musik pada masa mendatang. Merayakan Hari Musik Nasional, Kami Musik Indonesia (KAMI) – inisiatif bersama Koalisi Seni dan Yayasan Ruma Beta – membahas tonggak sejarah tersebut. Para pembicara membagikan sudut pandangnya tentang sejarah dan pengembangan musik Indonesia dalam diskusi yang berlangsung pada 10 Maret 2020.

Fotografer Oscar Motuloh memulai diskusi dengan membahas sejumlah foto dan dokumen tentang politik musik dan pergerakan kemerdekaan Indonesia. “Lagu Indonesia Raya dimuat pertama kali di koran Sinpo pada tahun 1928. Otoritas Belanda minta kata ‘merdeka’ dihapus. Tetapi, tetap tidak boleh dinyanyikan,” ujarnya sembari menunjukkan pindaian koran Sinpo edisi 10 November 1928.

Sementara itu, Nyak Ina Raseuki, etnomusikolog dan anggota Koalisi Seni, membicarakan keanekaragaman jenis dan sejarah musik Indonesia. Ubiet, begitu ia kerap disapa, juga membahas keterkaitan dan keterikatan sejarah itu dengan musik kini. Perbedaan sejarah musik di daerah-daerah Indonesia membuat ragam musik di negeri ini begitu kaya. Direktur program pascasarjana Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu lantas memantik diskusi dengan bertanya, “Kalau kita bicara tentang kemajuan kebudayaan musik Indonesia, apa bentuk revolusioner yang kita inginkan? Bagaimana kita bersama-sama memikirkan bahwa musik etnis itu adalah Indonesia, dan keanekaragaman adalah sumber penting inspirasi para seniman musik Indonesia?”

Dari pemerintah, Ahmad Mahendra selaku Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan komitmennya untuk pemajuan dan pengembangan musik di Indonesia. Ia menjelaskan fokus pemerintah ke depan untuk pengembangan musik mencakup sejumlah hal. Yakni, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pendataan dan pengarsipan musik, peningkatan literasi musik, dan advokasi hak cipta. Mahendra meminta pegiat musik memberikan masukannya sebanyak mungkin. “Kita terbuka sekali dengan masukan-masukan, supaya pemerintah bisa jalankan dengan benar dan tidak sok tahu,” ucapnya.

Menanggapi pernyataan Mahendra, Ubiet menegaskan seniman itu kreatif, sehingga akan tumbuh dan berdaya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Adapun Wendi Putranto dari M Bloc Space menyarankan pemerintah tak hanya membangun infrastruktur musik, tapi juga nyawa musik Indonesia.

Menutup diskusi, musisi Candra Darusman selaku moderator menyarankan ini saatnya memadukan upaya “ABG” alias arts (seni), business (swasta), dan government (pemerintah) untuk memajukan musik Indonesia. (Dinita Amanda, pemagang Sekretariat Koalisi Seni)

Simak notula lengkap diskusi tonggak sejarah musik Indonesia melalui tautan ini. Presentasi dan berkas terkait lainnya juga tersedia di bit.ly/harimusik2020.

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.