/   Kabar Seni

Jakarta – Belantika musik Indonesia punya banyak bopeng yang setia menunggu dibenahi. Beragam upaya telah dilakukan macam-macam pihak, termasuk Kami Musik Indonesia (KAMI), inisiatif bersama Koalisi Seni dan Yayasan Ruma Beta. Merayakan Hari Musik Nasional pada 9 Maret 2020, KAMI mengadakan tiga diskusi. Salah satunya bertajuk “Memetakan Ekosistem Musik Indonesia”.

Bertempat di kafe Tjikini Lima, M Bloc Space, publik diajak menelaah kembali rupa ekosistem musik Indonesia bersama Dr. Dina Dellyana (musisi HMGNC dan Direktur The Greater Hub SBM ITB) dan Ganjar Ariel Sentosa (manajer Massive Music). Kedua pegiat musik tersebut memaparkan perkembangan dan dinamika dalam industri musik. Ganjar menyorot permasalahan hak cipta dalam industri musik, sementara Dina menjelaskan detail peta ekosistem dari perspektif rekaman lagu. Untuk memahami ekosistem musik, kedua pembicara menekankan kita perlu melihatnya dari hulu ke hilir.

Hulu ekosistem musik, menurut Ganjar, adalah soal hak cipta yang sampai saat ini masih semrawut regulasinya. “Ekosistem musik butuh perhatian soal permasalahan hak cipta. Kalau sudah beres, kita bisa bikin banyak hal soal A-B-C-D,” katanya.

Ganjar memaparkan, hukum di Indonesia mengatur tiap pencipta lagu dapat mengambil hak ekonomi dari karya-karyanya. Industri musik Indonesia biasa menggunakan 4 turunan hak ekonomi yang dipakai para pencipta lagu dalam mengomersialisasi karyanya. Hak-hak tersebut adalah (1) hak reproduksi, (2) hak turunan, (3) hak distribusi, dan (4) hak eksklusif untuk menyiarkan pada publik. Umumnya, 3 jenis pertama diurus music publisher, sementara jenis terakhir kerap dikelola Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) seperti WAMI (Wahana Musik Indonesia).

Sementara itu, Dina menyebutkan rekaman ada di sisi hilir industri musik. Beragam kegiatan dalam proses tersebut setidaknya dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu kreasi, reproduksi, distribusi, dan konsumsi. Ia menyarankan pegiat musik mengarsipkan tiap tahap tersebut, apalagi perkembangan teknologi kini sangat memudahkan untuk melakukan itu.

Perkembangan teknologi juga telah mengubah potret aktor ekosistem musik secara drastis. Sebab, tiap orang dapat memiliki akses untuk melakukan proses-proses di atas. Bahkan, satu orang saja dapat melakukan seluruh proses sendirian, menggantikan pihak-pihak yang dulu lazim menekuninya. Musisi 360°, demikian mereka biasa disebut, bisa berperan jadi produser, pencipta lagu, penulis lirik, pemain alat musik, kreator konten audiovisual, sekaligus manajer.

Dina lantas menyoroti terbukanya peluang di sisi hilir tersebut. Misalnya, “Manajemen kolektif musik, juga ahli kontrak, promosi, dan strategi internasional. Beda negara, publisher-nya juga beda. Kita perlu orang yang mengerti kontrak internasional.”

Selain pembahasan mengenai ekosistem musik, KAMI juga menghelat dua diskusi lain tentang “Bedah Kontrak Konser dan Musisi Horeka (Hotel, Restoran, Kafe)” serta “Menelusuri Sejarah Tonggak Musik Indonesia”. Peringatan hari musik pun dimeriahkan dengan pemutaran film dan pameran foto di M Bloc Space. (Ahmad Bari, pemagang Sekretariat Koalisi Seni)

Simak notula lengkap diskusi pemetaan ekosistem musik Indonesia melalui tautan ini. Presentasi dan berkas terkait lainnya juga tersedia di bit.ly/harimusik2020.

Tulisan Terkait

Tinggalkan komentar

Imajinasi dan daya berpikir kritis adalah kunci perubahan. Karena itu, seni merupakan prasyarat utama terwujudnya demokrasi. Dukung kami untuk mewujudkan kebijakan yang sepenuhnya berpihak pada pelaku seni.