Koalisi Seni didukung oleh UNESCO berkolaborasi dengan Komite Film Dewan Kesenian Jakarta melaksanakan diskusi publik “Filmku Maju, Filmku Terbelenggu” bersama Ratri Ninditya (Koordinator Penelitian Koalisi Seni), Adrian Jonathan (Pendiri Cinema Poetica, peneliti lepas Arts Equator, dan anggota Koalisi Seni), RIri Riza (sutradara dan penulis skenario film dan anggota Koalisi Seni), dan Sugar Nadia (Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta dan anggota Koalisi Seni) dilaksanakan di Wahyu Sihombing, Taman Izmail Marzuki pada Rabu, 20 Maret 2024.
Dalam perjuangan kebebasan berkesenian di Indonesia, kita tidak bisa mengabaikan realita bahwa proses kreatif sering kali terbentur oleh berbagai hambatan. Salah satu hambatan utama adalah praktik sensor, baik yang berasal dari pemerintah maupun tekanan sosial yang muncul dari masyarakat.
Sebagai contoh, ancaman yang terjadi pada film Senyap, Kucumbu Tubuh Indahku, Samin vs. Semen dan lainnya menunjukkan betapa tajamnya tekanan yang dihadapi oleh para pelaku film dalam memproduksi dan mendistribusi karya mereka. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang seberapa efektifnya peraturan-peraturan yang ada dalam melindungi dan mempromosikan kebebasan berkesenian di Indonesia.
Ratri Ninditya, Koordinator Penelitian Koalisi Seni, menjelaskan bahwa implementasi dari peraturan-peraturan tersebut belum selalu berjalan sesuai harapan. Peraturan yang ada mungkin sudah memberikan dasar yang kuat dalam mendukung kebebasan berkesenian, namun pelaksanaannya seringkali masih menimbulkan keraguan. Perlu kerja sama antara pemerintah dan masyarakat untuk memastikan bahwa peraturan-peraturan tersebut tidak hanya berbentuk kertas, tetapi benar-benar dijalankan dengan baik.
Selain itu, ada pula tantangan lain yang dihadapi oleh para sineas muda dalam mengembangkan karyanya. Riri Riza menggarisbawahi dilema yang sering dirasakan oleh para pembuat film, terutama dalam menjaga keseimbangan antara idealisme seni dan kebutuhan komersial. Bagi mereka, menemukan keselarasan antara ekspresi kreatif dan daya tarik pasar menjadi tantangan tersendiri.
Adrian Jonathan, peneliti lepas di Arts Equator, menambahkan pandangan yang menarik tentang pengaruh sejarah praktik sensor dan tekanan politik terhadap bahasa film di Indonesia. Dia menyoroti bagaimana film-film dari negara-negara lain yang menghadapi kendala sensor di negara asalnya berusaha mencari jalan keluar dengan memanfaatkan festival-festival internasional.
Sugar Nadia, Ketua Komite Film DKJ dan Direktur Festival Film Madani, mengalami tantangan serupa dalam proses produksi film. Ia menemukan bahwa self-censorship menjadi sebuah bentuk negosiasi yang diperlukan dengan lembaga sensor agar film dapat memenuhi persyaratan sensor yang ada. Tantangan utamanya adalah bagaimana menjaga pesan dan nilai yang ingin disampaikan melalui film tersebut yang merupakan esensi dari karyanya.
Namun, di tengah semua tantangan tersebut, masih ada harapan. Seiring dengan perkembangan teknologi dan aksesibilitas, para pembuat film memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas. Platform online dan festival internasional dapat menjadi jendela bagi karya yang mungkin terhalang oleh sensor di dalam negeri.
Selain itu, kolaborasi dan solidaritas antara para pembuat film juga menjadi kunci dalam menghadapi tantangan yang ada. Perjalanan kebebasan berkesenian di Indonesia tidaklah mudah. Namun, dengan kesadaran akan pentingnya kebebasan berkesenian dan komitmen untuk terus berjuang, kita dapat memastikan bahwa seni dan budaya Indonesia tetap berkembang dan merayakan keberagaman yang ada.