Sebagai orang yang malang-melintang dalam dunia administrasi kesenian, Setyo Harwanto, mengingat betul pengalaman ‘traumatisnya’ dengan aplikasi Microsoft Excel. Saat itu, Managing Director Sumonar ini harus memelototi jajaran tabel-tabel berisi huruf dan angka, demi kelancaran pemeriksaan suatu acara seni dengan anggaran jumbo dan ribuan item barang maupun jasa.
Bukan hanya di depan komputer, Setyo yang akrab dipanggil Tyo juga kerap mendatangi kantor Badan Pemeriksa Keuangan untuk menjalani pemeriksaan.
Namun, dari pengalaman itulah Tyo belajar. “Ini bukan hal yang remeh-temeh. Kerja administrasi itu harus disadari penting bagi suatu lembaga, khususnya seni dan budaya,” katanya dalam diskusi ‘Administrasi, Bukan Hanya Stempel dan Excel’ dalam Festival Gugus Bagong di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yogyakarta, pertengahan November lalu.
Di dunia kesenian, aspek administrasi acap kali dipandang sebelah mata. Bahkan ada stigma bahwa urusan ini tak lebih penting dibandingkan aspek estetika. Tyo pun berusaha mematahkan anggapan itu.
Administrasi, kata Tyo, adalah pekerjaan yang tak terpisahkan dari sektor kesenian, melintang dari hulu ke hilir suatu kegiatan maupun acara. Misalnya, sejak perencanaan, tim administrasi sudah terlibat untuk menyesuaikan gagasan-gagasan tim kreatif dengan anggaran yang ada.
Sementara, saat berlangsungnya kegiatan atau festival kesenian, pekerja administrasi bertugas memantau dan melaporkan lalu-lintas anggaran, hingga barang dan jasa agar semuanya berjalan lancar. Semakin detail dan berkala suatu laporan, maka semakin cepat solusi yang diputuskan untuk memecahkan suatu kendala.
Ketika acara selesai, tugas pekerja administrasi belum surut. Masih ada pekerjaan seperti membuat kompilasi laporan dari setiap divisi, menyusun evaluasi manajemen, dan sebagainya. Nah, seringkali dalam urusan pascaacara, banyak divisi yang ogah-ogahan mengurus laporan. Hingga akhirnya pekerja administrasi harus berjibaku ‘menjemput bola’ agar laporan bisa dievaluasi secara internal, ataupun diserahkan ke para mitra tepat waktu.
“Kebanyakan (divisi) tidak menyusun (laporan), lalu sekret (sekretariat) ‘ambruk’ dan anak-anak sekret yang harus mengumpulkan database dan breakdown kebutuhan untuk penyusunan laporan itu,” tutur Tyo yang juga pengurus Asosiasi Jogja Festival.
Bukan hanya masa sibuk yang panjang, urusan administrasi juga sangat luas. Aspek ini membutuhkan sumber daya manusia dengan kompetensi berbagai bidang, mulai dari manajemen administrasi, manajemen keuangan, manajemen pemasaran, personalia, hukum, hingga etika bisnis.
Sayangnya, banyak orang di sektor kesenian merasa ‘ogah ribet’ alias tidak mau belajar. Padahal, menurut Tyo, kunci dari memahami administrasi adalah kemauan untuk belajar.
Ketua Pengurus Koalisi Seni Kusen Alipah Hadi juga mengamini adanya stigma negatif bahwa urusan administrasi hanyalah perkara ‘kelas dua’. Ini dialaminya sejak dulu, saat bergabung dalam kelompok teater.
Kusen, yang merasa skill-nya tak bagus-bagus amat, akhirnya diminta untuk berperan ganda mengurus administrasi. Namun, urusan administrasi apa yang mesti diurus? Ini juga hal yang abstrak, karena tak ada batasan yang jelas.
“Atau yg lebih celaka, pas kumpul-kumpul, muncul pertanyaan: ‘Yang mengurus administrasi siapa? Yang perempuan dong. Kan lebih rajin’,” kata dia.
Stigma di atas, menurut Kusen, semestinya diruntuhkan. Sebab, Kusen menilai administrasi kesenian termasuk dalam kerja-kerja kebudayaan yang sebangun dengan kerja-kerja estetika. Pelaksanaannya pun membutuhkan imajinasi dan strategi.
Dia mencontohkan kerja Koalisi Seni yang mengadvokasi kebijakan Dana Abadi Kebudayaan yang dianggap menjadi bagian dalam urusan ‘excel dan stempel’. Saat beraudiensi dengan DPR pun, persoalan anggaran juga jauh dari perkara filosofis. Parlemen lebih banyak menyoroti aspek administratif seperti berapa anggaran yang dibutuhkan, jumlah seniman sasaran, dan sebagainya.
Selain diremehkan, urusan administrasi juga dianggap Kusen sebagai perkara yang gelap dan tersembunyi. Sebagian kelompok enggan mengumbar urusan administrasi mereka lantaran merasa itu adalah perkara ‘dapur’.
Kusen mencontohkan informasi administrasi kelompok musik Soneta baru bisa didapatkan oleh antropolog Lono Simatupang melalui studi doktoralnya yang panjang. “Kalau kita pemula mengundang penyanyi atau dalang, sulitnya minta ampun. Bagaimana sih (tarifnya), kalau Rp 50 juta mahal enggak? Tak ada pengetahuan soal itu,” ujar Kusen.
Namun begitu, dia mengingatkan tidak ada bentuk administrasi yang tunggal dalam kerja-kerja kesenian. Tak semuanya pula memiliki bentuk yang kaku dan tertulis. Misalnya, perayaan Tabuik yang dilakukan masyarakat Pariaman di Sumatera Barat sejak abad ke-19 belum tentu memiliki laporan kegiatan atau catatan tertulis. Namun, itu tak bisa dijadikan dasar kegiatan Tabuik tak beradministrasi. Salah-salah, jika dipaksa untuk mengikuti bentuk administrasi yang kaku, maka kegiatan ini berisiko berhenti.
“Kalau masih membayangkan manajemen (administrasi) itu tunggal, dimiliki oleh suatu lembaga, saya jamin akan trauma. Tidak menyenangkan, tidak imajinatif,” kata dia.
Moyang Kasih Dewimerdeka